Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Tuesday, December 20, 2011

The Delusion (2)

2

Baru hari pertama masuk kerja, tim Spencer sudah berkumpul di dalam sebuah ruangan rapat untuk membicarakan sebuah kasus. Tentunya, Judy juga hadir disana. dia sedikit canggung dengan penampilannya yang paling mencolok diantara 3 orang lainnya.

Judy merasa beruntung ketika teman-teman barunya itu menyapanya, dan yang paling dekat dengannya adalah Hailey South. Wanita yang satu tim dan seusia dengannya juga. Hailey menyadari kalau Judy sedang kesal pada Spencer yang tadi mengejeknya. Hailey bisa melihat mereka berdua tadi melalui meja kerjanya yang letaknya di depan meja Spencer dan Judy.

“Spencer memang menyebalkan.” Hailey setuju saat Judy bercerita tentang Spencer. “tapi dia cukup tampan disini dan beberapa wanita menyukainya. Apa kau berpikiran sama?”

Judy memperhatikan Spencer yang sedang menunggu sisa teman-temannya untuk masuk ke dalam ruangan. Sesekali menyapa beberapa petugas yang lewat di depan ruangan dan memberi mereka sebuah lelucon yang hanya mereka sendiri yang mengerti.

“tidak. menurutku tidak.” jawab Judy tegas.

“kalau perhatikan lagi dengan seksama, kau pasti akan berubah pikiran.” Hailey tersenyum jahil.

“kalau kalian masih ingin terus bergosip, di lantai bawah ada kafe. Lebih baik kalian kesana saja daripada mengganggu rapat ini.” Spencer tahu-tahu sudah duduk di meja untuk memulai rapat. Judy dan Hailey juga sadar kalau ternyata sudah ada 2 orang lagi duduk di meja bundar mereka.

‘’baiklah...’’ Judy dan Hailey pun diam.

“kasus kita buka. Di kota kita yang kecil dan tercinta ini terjadi sebuah kasus pembunuhan yang agak aneh. Seorang pria membunuh istrinya sendiri” Spencer membuka kasus. Dia memunculkan sebuah foto korban pembunuhan yang merupakan seorang wanita ditusuk dengan pisau di dadanya berkali-kali di atas tempat tidur kamar rumahnya sendiri.

“dan yang menarik adalah…” Spencer sengaja membuat teman-teman satu timnya penasaran. “adanya video ini. Anggap saja ini sebagai bonus spesial untuk kasus ini. Video ini didapat dari TKP.” Spencer terkekeh nakal. Dia pun memutar video yang dia maksud. Muncullah sebuah adegan nyata yang direkam oleh seorang pria yang sedang bercinta bersama korban di kamar yang menjadi TKP. Keadaan kamar sangat gelap dan hanya cahaya lampu luar yang tembus dari jendela kamar menerangi ruangan. Mereka melakukannya selama beberapa lama. Setelah mereka selesai, si pria mengambil sebuah pisau dari nightstand dan dengan sadis menusuk si korban.

“apa si pelaku melarikan diri?” tanya Hailey.

“ya. Belum diketahui motif pembunuhan ini karena mereka adalah pasangan yang sangat tertutup, mereka tidak mempunyai anggota keluarga lain. Mereka juga tidak punya anak. Mark, periksa dan teliti lagi video ini, siapa tahu kita akan menemukan petunjuk.” Perintah Spencer pada pria yang duduk di ujung meja.

“siap!” kata Mark sambil terus mengunyah croissant yang dia bawa.

“Hailey, aku ingin kau mewawancarai saksi yang menemukan mayat yang nanti akan datang kesini.” Perintah Spencer lagi. “Sean dan Anna, ikut aku ke TKP.” Spencer menunjuk 2 orang sisanya. “apa kalian sudah mengerti?”

Tidak ada jawaban. Itu berarti mereka siap untuk berangkat. Dengan cepat mereka semua berdiri dan menjalankan tugas masing-masing. Kecuali Judy.

“Spencer!” seru Judy pada pria berambut cokelat itu.

“apa?” Spencer yang ingin keluar dari ruangan berbalik.

“kau sama sekali tidak memberiku tugas.
Apa maksudnya?” Judy protes.

“kau masih baru. Memangnya kau bisa menanganinya?” Spencer meremehkan Judy.

Judy langsung tersinggung. ‘’maksudmu aku tidak mampu mengerjakan ini!?’’

“ya. Bayangkan saja seorang profiler dari New York sepertimu bisa dibuang ke kota kecil seperti ini. Pasti kau ada apa-apa disana, bukan?” Spencer berkata dengan sinis.

Judy menatap tajam pria yang sangat menyebalkan dan ingin dia bunuh ini. Dia tidak ingin menjawab perkataan Spencer barusan karena hanya akan memperkeruh suasana.

“baiklah. begini saja…” Spencer melunak. “analisis saja file kasus ini. Kalau kau bisa memberitahu apa yang tidak kami tahu saat kami kembali, kau boleh terjun ke lapangan.”

“apa kau sedang bertengkar dengan pacarmu atau istrimu?” Judy tiba-tiba bertanya.

‘’bukan urusanmu.’’ Spencer mendengus.

“haha… sudahlah, mengaku saja. baju berantakan dan tampaknya sudah tidak dicuci selama 2-3 hari itu, sikap yang kekanak-kanakan di depan wanita, dan jawabanmu dari pertanyaanku barusan membuatnya semakin jelas.” Sekarang giliran Judy yang sinis.

“kau menantangku, Hunters?” Spencer berdiri dekat sekali di depan Judy sehingga ia bisa memberikan tatapan menusuk pada wanita berambut merah itu.

“tidak juga. Hanya memberikan saran. Kalau kau menusuk seseorang yang akan menjadi orang yang kau butuhkan, jangan menusuknya terlalu dalam sampai ke tulang. Karena pasti akan sangat sakit ketika ia berusaha mencabut pisaunya. Dan ketika dia sudah bisa mencabut pisaunya, kau akan takut dan bertanya-tanya pada dirimu sendiri apakah dia akan mengembalikan pisaunya dengan baik-baik, atau membalas dendam dengan menusukkannya lagi padamu? Apakah tusukannya akan jauh lebih dalam mengenai tulang atau tidak?” Judy memperingatkan Spencer.


Setelah panggilan yang ketiga kalinya dari Aya, Avaron, dan Kai, Yoriko baru kembali ke bumi dari dunia imajinasinya. Sulit baginya untuk tidak membayangkan lagi adegan novel yang dia buat sendiri. Adegan saat Judy memperingatkan Spencer untuk tidak meremehkannya, Spencer yang tampan juga dingin itu akhirnya diam karena ‘tusukan’ dari Judy.

Tampan dan dingin… seperti orang ini…

Setelah semuanya datang, Avaron mengajak mereka berkumpul di ruang makan. Cake ulang tahun, jamuan makan malam, wine dan susu (khusus untuk Yukio) sudah disiapkan. Aya merasa tergiur ketika melihat cake tiramisu berbentuk bulat dan kecil dihiasi oleh lilin yang terukir angka 2. Di depan cake ditaruh kursi bayi sebagai tempat Yukio duduk.

Semua duduk dengan rapi satu-persatu. Yoriko tahu kalau Shou Kohara-lah orang yang duduk paling akhir. Mereka duduk berseberangan di meja makan. Yoriko hanya bisa menatap pria itu tanpa diketahui olehnya. Kalau Shou melihat ke arahnya, dia akan menghindar untuk bertatapan mata dengannya.

Shou mengenakan kaus putih bergambar abstrak yang Yoriko tahu itu adalah logo bandnya, dengan celana jeans, ditambah sebuah kalung perak imitasi berliontin bintang yang sangat manis. Inilah gaya Spencer yang digambarkan Yoriko kalau polisi keras kepala itu sedang bebas tugas. Tapi tidak banyak yang pernah melihatnya.

“terima kasih sudah datang kemari. Khususnya untukmu, Shou. aku tahu Kai pasti merasa kesulitan untuk menarikmu keluar dari studio…” Avaron berdiri di samping kursi bayi dan menatap Shou dengan tatapan menyindir. Shou hanya diam saja, memberikan sebuah senyuman tipis pada Avaron.

Oh Tuhan, senyuman itu… Yoriko bersyukur dia sedang duduk saat ini sehingga dia tidak merasa gemetar ketika melihat senyuman yang benar-benar mirip dengan imajinasi Yoriko.

“kau sudah berkenalan dengan Yoriko Ishihara? Dia teman Aya.” Avaron menunjuk Yoriko menyuruhnya untuk berkenalan dengan Shou.

Shou berdiri dan mengulurkan tangannya untuk Yoriko, mengajak wanita yang sekarang bersikap canggung itu berkenalan lagi. Butuh waktu beberapa detik untuk Yoriko membalas jabatan tangan itu tanpa merasakan gemetar itu lagi.

“Yo… Yoriko…” dia tersenyum gugup.

“Shou.” dia berkata dengan dingin tanpa memberikan senyuman sedikit pun. Yoriko sama sekali tidak merasa heran atau tersinggung karena diperlakukan seperti itu. Memang seperti itu sikap Spencer… eh bukan, Shou...

Mereka berdua duduk kembali dan Avaron mulai membuka acara. “Sebelum kita meniup lilin kuenya, bagaimana kalau kita saling menanyakan kabar?” yang Avaron maksud bukanlah bertanya pada Aya dan Kai bagaimana kabar mereka. Tentu saja, dia kan sudah bertemu dengan 2 orang itu setiap hari di rumah dan di tempat kerja. Tapi demi orang yang sudah lama tidak bertemu dengannya dan orang yang baru pertama kali ia temui, dia melakukannya.

Dan Yoriko mengetahuinya juga.

Tidak ada yang merespon ajakan Avaron kecuali Kai yang tersenyum lebar untuk istrinya dan Yukio yang terlihat sangat tidak sabar ingin menyentuh cake ulang tahun yang ada di depannya. Tampaknya tidak hanya Yoriko saja yang sadar.

‘’oke… aku duluan saja yang mulai. Aku dan Aya kemarin baru saja menerima anjing baru di petshop. Dia jenis Akita jantan. Tapi kami bingung ingin memberinya nama apa. ada ide?’’ tanya Avaron.

Suasana masih hening beberapa lama sebelum Kai angkat bicara, “bagaimana kalau Hachiko? Aku baru saja menonton filmnya.”

“boleh…” Avaron terlihat sedang mempertimbangkan usulan dari suaminya. “bagaimana dengan yang lain? Bagaimana denganmu, Shou?”

“entahlah… aku tidak ada ide…” Shou mengangkat bahunya.

“kalau kau Yoriko?” Avaron melihat ke gadis bergaya gothic rebel itu.

“entahlah…” Yoriko tidak yakin apa nama ini akan mereka sukai atau malah mereka tertawakan. “Alen?” itulah nama yang terlintas di pikirannya.

“Alen? Lucu sekali…” komentar Aya yang duduk di sebelahnya. “aku suka itu…”

“aku baru mendengar ada nama seperti itu. Boleh juga…’’ timpal Kai.

‘’bagaimana menurutmu, Shou?’’ Avaron bertanya pada Shou. Shou hanya memberikan isyarat dengan bahasa tubuh kalau dia setuju-setuju saja.

“baik. Akan kubuat ikat leher untuknya dengan ukiran nama ‘Alen’!” Avaron memutuskan. “oke. Giliranku selesai. Sekarang, giliranmu, sayang…” Avaron menepuk pundak Kai pelan.

“aku tetap sibuk seperti biasa, dan tadi Ruki dan yang lain memberiku ini untuk hadiah Yukio…” Kai mengeluarkan sebuah kotak kado berukuran sangat besar dari bawah meja. “selamat ulang tahun sayang…” Kai berdiri untuk mencium putranya yang air liurnya menetes karena pandangan matanya masih tidak bisa lepas dari tiramisu cake.

“terima… kasih…” tanpa diperintah Yukio mengucapkan kata itu untuk ayahnya dengan perlahan.

“aaw… anak yang baik…” Aya jadi terkesan.

“kalau hadiah dari ayah, sudah menanti di kamarmu. Nanti kita buka, ya.’’ Kata Kai lagi pada Yukio. Yukio mengangguk dengan semangat sebagai jawaban ya.

“lalu, Shou. ceritakan bagaimana kabarmu. Rasanya sudah lama sekali kau tidak ikut berkumpul bersama kami dan bercerita seperti ini.” Avaron meminta Shou untuk bicara.

“ngg… aku…” Shou tampaknya sangat enggan untuk bercerita. Ia hanya menggaruk kepalanya walaupun tidak terasa gatal, ekspresi wajahnya terlihat seperti kalau dia ingin sekali pergi dari sini, dan hanya Yoriko yang bisa melihat ini, Shou terlihat lelah. Dan dari tatapan mata Shou, Yoriko tahu pria itu terlihat tidak menyukai sesuatu. Entah apa itu.

“aku hanya di studio, membuat lagu baru… rekaman… tur…” arah cerita Shou benar-benar tidak jelas.

“kau tahu, Shou yang dulu pasti menceritakannya dengan semangat dan bangga, dibumbui lelucon yang mampu kami tertawa. tapi sekarang kau malah…” Aya berdesis, tidak tahu harus berkata apa lagi saat melihat Shou seperti ini.

“sudahlah. kita lupakan saja soal aku. Bagaimana kalau dia saja yang bercerita?” Shou menunjuk Yoriko dengan kepalanya.

“ya, ya… daripada kita mendengarkan cerita yang membosankan, lebih baik kita dengarkan saja cerita dari Yoriko. Kalian semua pasti belum tahu tentang dia, kan? Ayo, Yoriko. Cerita.” Dengan semangat Aya meminta.

Yoriko melakukan ini hanya demi Aya. “aku baru saja kembali dari Indonesia tadi pagi. Aku sudah pergi ke beberapa negara lain selama hampir 10 tahun.’’

‘’apa? Indonesia? Apa kau pergi ke Bali?’’ Avaron langsung tertarik.

‘’tidak… aku tidak pergi kesana…’’

“wah… berarti kau rugi.” Kai menimpali. ‘’disana pemandangannya indah sekali.’’

‘’aku tahu. Aku pernah membaca buku tentang pulau itu.’’ Jawab Yoriko singkat.

‘’dia mempunyai alasan sendiri kenapa dia tidak pergi kesana, Avaron-san…’’ Aya berkata dengan pelan.

‘’oh… kalau boleh tahu, kenapa?’’ tanya Avaron.

Aya melihat ke arah Yoriko untuk mencari tahu apakah Yoriko ingin menjawabnya atau tidak. Tapi Yoriko menjawab dengan berkata, ‘’seseorang yang kukenal disana berkata padaku, tidak akan senang rasanya kalau pergi ke Bali sendirian. Katanya lebih baik aku kesana bersama dengan seorang yang aku…’’ entah kenapa secara refleks Yoriko melihat ke arah Shou. Padahal dia sama sekali tidak berharap dia akan pergi kesana dengannya. Tentu saja, dia kan baru bertemu pria itu 1 jam yang lalu. ‘’sayangi atau seseorang yang istimewa…’’

‘’kata kenalanmu ada benarnya. Tidak lengkap rasanya pergi ke pulau yang terindah di dunia tanpa dengan orang yang kau cintai…’’ Kai setuju.

‘’jadi aku mengambil kesimpulan lebih baik simpan yang terbaik di bagian terakhir. Aku memang ingin kesana, tapi tidak, tidak dengan…” ingin sekali Yoriko berkata ‘dengan pikiran yang delusional’ agar dia tidak pergi kesana dengan seseorang spesial dari dunia khayalannya sendiri. Atau menurut bahasa Dunia Nyata, sendirian.

“apa?” Avaron menantikan kelanjutannya.

“tidak dengan seorang yang istimewa. Seperti yang kukatakan sebelumnya.” Yoriko berbohong.

“apa keluargamu tidak merindukanmu karena kau bepergian jauh selama itu?” tanya Kai.

Yoriko tidak bisa menjawab. Tidak di depan keluarga yang bahagia seperti ini. Dia bisa merusak segalanya. Jadi dia hanya diam dan menundukkan kepalanya.

“Kai-san…” Aya menatap Kai dengan tajam. Ekspresinya terlihat marah.

“kenapa?” Kai tidak mengerti.

“sudahlah, Aya… tidak apa-apa…” Yoriko menaruh tangannya di pundak Aya agar sahabatnya merasa tenang. “akan kujawab.”

“aku…” Yoriko menghela nafasnya dengan berat. “yatim piatu. Aku besar di panti asuhan dari aku masih bayi. Sebenarnya tidak yatim piatu, atau lebih tepatnya aku tidak tahu. Karena aku… tidak pernah bertemu orang tuaku. Mereka membuangku di depan panti asuhan saat usiaku masih 10 bulan…’’

‘’oh… Yoriko…’’ Avaron merasa iba. “maaf…” Avaron langsung menjitak kepala Kai agar Kai juga ikut meminta maaf.

Setelah mendengar permintaan maaf dari suami istri itu, Yoriko hanya tersenyum, berusaha kuat dan terlihat baik-baik saja.

“aku tumbuh, besar, juga dididik di panti asuhan. Sampai aku remaja, tidak ada yang mau mengadopsiku. Jadi begitu aku keluar dari panti asuhan karena sudah cukup umur, aku memutuskan untuk pergi dari Jepang. Berusaha melupakan semua rasa sakit dan dendam pada orang tuaku.” Yoriko kembali melihat Aya yang menatapnya dengan tatapan prihatin. “tapi aku sekarang baik-baik saja. aku sudah bisa berdiri sendiri. Ditambah dengan kehadiran Aya yang berkenalan denganku di internet, aku sudah lebih dari ‘baik-baik’ saja…” Yoriko tersenyum sebagai tanda terima kasih.

“jadi kau Yoriko Izanami yang sering Aya ceritakan?” Avaron baru sadar. “aku sudah pernah membaca beberapa cerpenmu di internet. Kau benar-benar berbakat, Yoriko. Kenapa kau tidak menerbitkan karyamu?”

“Yoriko sedang menulis sebuah novel bergenre criminal. Dan rencananya kalau sudah jadi, dia akan menerbitkannya disini.” Aya bercerita dengan bangga.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Avaron karena pujiannya, Yoriko menjawab, “ya. Semoga saja akan jadi dalam waktu cepat…”

“untuk merealisasikannya, tentunya Yoriko membutuhkan uang untuk menerbitkannya, kan? Nah, Avaron-san, apakah Yoriko bisa bekerja di petshop?” Aya menepati janjinya pada Yoriko.

“kalau kau bisa mengurus hewan dan tidak takut dengan kotoran mereka, tidak masalah.” Avaron terlihat tidak keberatan.

“ya… aku pernah menjadi babysitter untuk anjing di Perancis. Aku menjaga mereka kalau majikan mereka sedang pergi keluar kota. Jadi, kurasa, aku bisa…” kata Yoriko.

“bagus. Jadi kapan kau bisa mulai? Aku ingin secepatnya, karena aku kekurangan pegawai dan aku tidak bisa pulang terlalu malam lagi.” Tanya Avaron.

‘’besok aku bisa.’’ Yoriko ingin memulai pekerjaannya cepat-cepat agar dia tidak bosan dan tidak terlalu lama merepotkan Aya.

‘’oke. Kau masuk shift pagi sampai sore dan kita akan bahas gajimu besok di petshop. Setuju?”

Yoriko menganggukan kepalanya. Mereka sudah sepakat.

“okaachan…” Yukio merengek-rengek pada Avaron dengan menarik-narik baju ibunya. “aku mau kuenya…”

“oh… maaf, sayang!” Avaron langsung teringat Yukio. “ayo kita tiup lilinnya! Sebentar, aku ambil pematik api dulu…” Avaron berjalan menuju meja counter di sudut ruang makan untuk mengambil pematik api di lacinya. Begitu ia mendapatkannya, dia menyalakan lilin dengan hati-hati. Ia langsung mengembalikan pematiknya ke tempat semula agar Yukio tidak memainkannya di atas meja.

Sedangkan Kai baru saja kembali dari kamarnya dan Avaron sebentar untuk mengambil gitar yang sekarang ia bawa.

“kita akan menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan iringan gitar ini.” Kata Kai tersenyum lebar, memamerkan gitarnya.

“aku baru tahu kalau kau bisa memainkan gitar, Kai-san.” kata Aya.

“yah… 10 tahun bersama 2 gitaris yang selalu dekat denganku aku jadi bisa memainkannya.” Kai terkekeh.

“tapi, tunggu. Rasanya kurang ramai kalau hanya dengan gitar. Yoriko bisa memainkan tin whistle.” Aya mencolek lengan Yoriko.

“tin whistle? Apa itu?” Avaron dan Kai bertanya dalam waktu yang hampir bersamaan.

“ayo, tunjukkan.” Perintah Aya. Yoriko mengambil tasnya yang ia taruh di bawah kursi dan mengambil tin whistle yang dia perlihatkan tadi ke Aya.

“aku baru tahu kalau ada alat musik seperti ini. Darimana kau mendapatkannya?’’ Kai memperhatikan setiap detail alat musik berwarna hitam itu dari tempat duduknya. Yoriko pun menceritakan bagaimana ia bisa mendapatkannya. Dan seberapa terkenalnya alat musik itu di negara asalnya. Dia juga menceritakan alasan kenapa ia membeli alat musik ini.

“cara memainkannya hampir sama seperti gitar. Ada kunci G, A, B, F, E, D, sampai C# dan D tinggi.” Dari penjelasan Yoriko, Kai kemudian tahu persamaan dan perbedaan antara tin whistle dan gitar.

“coba kau mainkan bersama dengan gitarku.” Ajak Kai. Yoriko mengangguk.

“anggap saja ini hadiah dariku untuk Yukio. Karena aku… tidak membawa kado. Maaf…” Yoriko merasa tidak enak.

“tidak apa. Kehadiranmu di acara ini sudah menjadi hadiah untuknya. Kalau Yukio sudah lebih besar dari dia yang sekarang, dia pasti ingin mendengarkan ceritamu.” Kata Avaron seraya membelai rambut Yukio.

Yoriko hanya tersenyum sekilas karena Kai sudah memberikan aba-aba untuk mulai. Pria berwajah manis itu sudah siap dengan posisinya begitu juga dengan Yoriko. Saat suara petikan gitar dan alunan tin whistle terdengar di seluruh ruangan, Avaron dan Aya menyanyikan lagu selamat ulang tahun sesuai dengan iringan lagu. Hanya Shou yang diam dan menambah suara musik dengan tepukan tangannya.

Setelah lagu selesai, Yukio meniup lilin sekuat yang dia bisa. Seiring dengan padamnya lilin, semua orang bertepuk tangan dengan meriah. Yukio jadi ikut bertepuk tangan dengan tangan mungilnya.

“sekarang saatnya memotong kue. Ada yang mau?” tawar Avaron. Dalam sekejap, Kai dan Aya mengangkat tangan mereka sebagai tanda mereka mau seperti anak kecil. Avaron mengambil pisau untuk memotong kue di sebelah cake dan memotongnya sama besar. Walaupun Yoriko dan Shou tidak mengangkat tangan, Avaron tetap memotong untuk bagian mereka. Dengan beberapa piring kertas kecil dan garpu yang sudah disiapkan, dia memberikan potongan kue itu satu persatu ke mereka. Termasuk untuk Yukio. Yukio dinasehati oleh Avaron agar sebelum tidur ia menyikat giginya terlebih dulu. Yukio hanya mengangguk karena dia terlalu asyik dengan kue yang dia makan.

Lagi-lagi tanpa sengaja Yoriko menangkap pemandangan itu. Seorang ibu menasehati anaknya. Yoriko hanya bisa menghela nafas. Orang yang pernah menasehatinya seperti itu hanyalah orang-orang dari panti asuhan, bukan ibu kandungnya.

Lucu sekali dia sudah pernah pergi jauh-jauh keliling dunia hanya untuk mencari makna kehidupan tapi dia malah menemukannya di tanah airnya sendiri, di acara yang sederhana ini, dan dari orang yang baru ia kenal malam ini.

Yoriko memakan cake porsinya dalam diam. Walaupun dia merasakan kenikmatan dari setiap potongan kuenya, dia tetap merasakan sebuah kehambaran.

Karena ia sendirian, di tengah-tengah orang-orang yang sedang bersuka cita untuk suatu hal yang tidak akan pernah ia dapatkan di dalam hidupnya…


Pesta terus berlangsung sampai jam 10 malam, acara benar-benar selesai ketika Yukio sudah menangis dan rewel saat diajak Aya untuk bermain mobil-mobilan hadiah dari Kai di ruang TV. Avaron pun menggendong Yukio dan menina bobokan putranya di pelukannya dengan perlahan-lahan sampai Yukio diam.

Yoriko hanya diam saja dan merasa yakin dia pasti pernah diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Setidaknya, sebelum dia dibuang. Yang dia lakukan daritadi hanya membaca koleksi buku dari lemari ruang TV milik Avaron sampai ia sadar kalau waktu sudah larut. Sesekali memperhatikan Shou Kohara sedang berbincang-bincang tentang topik yang Yoriko tidak mengerti dengan Kai di seberang tempat ia duduk.

Sekalinya dia memperhatikan, dia tidak bisa berhenti. Pandangannya terus tertuju pada pria yang sangat mencerminkan Spencer Williams. Yoriko sadar kalau sekarang di balik sikapnya yang terlihat sangat wajar dan sedang membaca buku ini dia kembali lagi ke dunia imajinasinya. Dia menjadi delusional lagi.

Kalau dia bisa, dia ingin sekali menghampiri Shou dan bertanya pada tentang berbagai hal. Tapi entah mengapa dia merasa dia tahu betul bagaimana Shou akan bereaksi nanti padanya. Mungkin karena dia terlalu menduga atau berharap sifatnya akan sama seperti Spencer yang sangat dingin dan kasar di depan orang asing seperti sikapnya pada Judy Hunters di pertemuan mereka yang pertama.

Ketika Yoriko kembali ke dunia khayalannya, dia menempatkan dirinya sebagai Judy. Namun ia menyangkalnya. Karena dia merasa Judy lebih berani daripada dirinya. Judy akan melawan ketika Spencer memperlakukannya dengan kasar. Judy akan membantah dan membuktikan kalau dia mampu ketika Spencer meremehkannya. Jauh berbeda daripada Yoriko. Maka dari itu, dia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mendekati Shou.

Karena Yukio yang menjadi pusat perhatian sudah capek, Aya memutuskan untuk pulang. Lagipula dia dan Yoriko juga harus bekerja keesokan harinya. Disaat yang sama mereka berpamitan, Shou juga melakukan hal yang sama. Tapi Shou berpamitan dengan sangat cepat dan berlalu begitu saja dari mereka setelah dia mengucapkan salam perpisahan sekilas kepada semua orang, tanpa sedikit pun memberikan senyuman atau basa-basi sedikit.

“aku jadi heran. PSC meracuni dia dengan apa sih sampai dia seperti itu?” dengan kesal Aya melipat tangannya di depan pintu depan setelah Shou menghilang di baliknya.

“entahlah. Beberapa tahun ini dia berubah dalam sekejap menjadi seperti raja es seperti itu…” Kai saja yang sering satu gedung dengannya tidak mengerti.

“hah… ya sudahlah…” Aya berusaha untuk melupakan kekesalannya dan mengambil mantel miliknya yang tadi digantung di hanger dekat pintu untuk dia kenakan.

“terima kasih, Aya dan Yoriko.” Kata Avaronn dengan Yukio masih di dalam dekapannya.

“ya. Terima kasih…” timpal Kai. “kalian memeriahkan acara ini. Dan untuk kau, Yoriko. Rasanya aku jadi ingin menambahkan alunan tin whistlemu untuk lagu kami. Bagaimana kalau kau datang ke studio kami? Nanti akan kukabari…” kata Kai pada Yoriko.

Yoriko bersedia. Tidak ada salahnya ia menyanggupi. Siapa tahu dia akan mempunyai kesempatan untuk berjumpa lagi dengan Shou Kohara.

Ketika mereka baru membuka pintu, Aya tiba-tiba menepuk dahinya dan dengan setengah berteriak berkata, “aduh! Syalku dimana, ya? Tadi kan aku memakai syal kesini!” Aya tidak menemukan syal pink yang tadi dia pakai di lehernya.

“kau taruh dimana?” Avaron tidak menemukan apa-apa lagi di gantungan mantel. “sayang, kau bawa Yukio ke toilet, ya… dia harus menyikat giginya dulu sebelum tidur.” Avaron memberikan Yukio ke Kai agar dia bisa membantu Aya untuk mencari syalnya.

“tunggu sebentar, ya…” Kai permisi pada Yoriko yang berdiri terpaku di ujung teras rumah untuk pergi ke toilet sebentar. Yoriko mengangguk pelan.

Karena tidak tahu apa yang sebaiknya dia lakukan untuk menunggu orang-orang kembali, dia melihat-lihat taman rumah ini yang ada di sekitarnya. Tidak banyak yang ditanam di taman ini. Hanya rumput yang hijau karena sekarang sedang musim semi dan pohon sakura di pojok taman sudah mulai berkembang.

Yoriko melangkahkan kakinya ke gerbang rumah yang terbuat dari dinding dan tidak diberi pintu pagar di jalan masuknya. Dia melihat sosok Shou Kohara sedang berjalan beberapa puluh meter dari tempat Yoriko berdiri menuju tempat dia memarkir mobilnya di ujung jalan (karena jalan di daerah rumah Avaron dan Kai adalah daerah bebas parkir dan Kai tadi pulang dengan menumpang mobil Shou). Yoriko heran. Rasanya dia sudah pergi cukup lama tapi kenapa dia baru sampai disana?

Dari cara Shou berjalan, Yoriko bisa melihat sedikit penyesalan dan rasa sakit itu lagi. dia berjalan dengan kepala tertunduk dan sesekali kakinya menendang batu-batu kecil yang ia temukan saat ia berjalan.

Cahaya lampu jalanan menyinari tubuh pria yang sekarang berbalut jaket kulit seperti milik Yoriko di balik kaus putih yang tadi ia lihat. Rambut cokelatnya berantakan karena tertiup angin (atau karena dia tadi terlalu banyak menggaruk kepalanya).

Pemandangan itu membuat Yoriko mengambil kamera DSLR miliknya. Dengan cepat dia mengatur ukuran ISO dan shutter speednya lalu mengarahkan lensa kamera ke arah pria yang tidak sadar dia kalau dia sedang difoto.

Lalu dia melihat hasilnya. Dia senang karena bisa menangkap perasaan orang itu di dalam foto itu. Dan mungkin, hanya dia saja yang bisa merasakannya. Bisa jadi, hanya Yoriko yang tahu kalau dia memotret foto ini.

“hei. Maaf lama…” Aya dengan segera muncul dari pintu dengan syal yang sudah dia temukan. Begitu Aya muncul, Yoriko langsung memasukkan kameranya lagi ke dalam tasnya.

“kau menemukannya dimana?” tanya Yoriko sambil melihat ke arah syal yang Aya pegang di tangannya.

“di ruang TV. Di dekat kotatsu. Aku baru ingat kalau aku terus mengenakannya di ruang makan dan melepasnya saat pindah ke ruang TV. Bodoh sekali…” Aya mengatai dirinya sendiri. Yoriko tertawa kecil mendengarnya.

“nah, sudah selesai.” Kata Aya setelah ia melingkarkan syal itu lagi ke lehernya. “ayo pulang.” Ajak Aya.

Dalam perjalanan mereka di kereta, Yoriko terus mendengarkan cerita-cerita Aya tentang seberapa cepatnya Tokyo berubah dengan menunjukkan beberapa gedung-gedung yang muncul yang dibangun selama Yoriko pergi. Yoriko dengan perhatian mendengar setiap cerita Aya.

Tapi pikirannya tetap terpaku pada Shou Kohara. Tidak, Yoriko tidak menyukainya atau semacamnya. Shou Kohara hanya benar-benar mirip sekali dengan Spencer Williams, tokoh yang sangat Yoriko ‘cintai’ di dunia khayalannya. Hanya itu.

Yoriko jadi teringat potongan kutipan kata-kata dari Ernest Hemingway, “ketika menulis sebuah novel seorang penulis harus membuat orang yang hidup; bukannya karakter…”

Yoriko tidak tahu harus merasa apa. Karena bagaimana dia seharusnya merasa ketika orang yang dia ‘buat’ benar-benar hidup dalam wujud seorang sosok bernama Shou Kohara? 

No comments:

Post a Comment