Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Sunday, March 18, 2012

New World (14)

14

Tidur Emily yang nyenyak terganggu oleh suara teriakan Kai yang membangunkannya. Sial, pikir Emily. Padahal dia baru saja bermimpi tentang semalam, bagaimana Akito menyentuhnya dengan lembut dan berhasil membuatnya melayang hanya dengan sentuhan tangannya. Dia dan Emily mengobrol hampir semalaman sampai Emily lupa waktu untuk harus tidur.

Tapi sekarang waktu tidurnya yang hanya 3 jam jadi terganggu karena suara berisik ini.

“iya, iya... aku akan bangun...” Emily malah menarik selimutnya lebih tinggi ke badannya agar dia bisa tidur lagi. “15 menit lagi...”

“tidakkah kau puas tidur semalaman, huh? Ayo bangun! Bukankah kau sendiri yang bilang kemarin kalau kau ingin latihan bertarung bersamaku?” Kai menyibak selimut Emily sehingga wanita mengantuk itu kehilangan rasa hangat dari selimutnya.

Argh, seandainya Kai tahu apa yang Emily lakukan semalam bersama Akito.

Mau tidak mau Emily bangun sebelum vampir ini merusak ranjangnya hanya untuk membuka matanya.

“lihat, kau bisa bangun kan? Tenang saja, vampir tidak butuh banyak tidur, kok.” Kai menyeringai jahil.

“kau lupa satu hal...” Emily menarik telinga Kai. Kai langsung menjerit kesakitan karena Emily menariknya kencang sekali. “aku masih manusia...”

“se... setidaknya kau kan juga memiliki darah vampir, Em...” ujar Kai sambil meringis kesakitan. “le... lepaskan aku...”

Sebelumnya mata Emily yang masih setengah terbuka karena mengantuk tiba-tiba melebar karena sadar dia baru saja menarik wajah Kai mendekat ke arahnya. Tubuh Emily langsung kaku dalam sesaat dan nyaris lupa untuk melepaskan tangannya dari telinga Kai.

Tapi sesaat itu terjadi cukup lama sampai Kai menarik tangan Emily secara paksa dari telinganya. “sudah kubilang, lepaskan.”

Sekarang giliran Kai yang lupa melepaskan tangan Emily dari cengkramannya karena menyadari wanita sempurna itu berdiri sangat dekat di depannya. Sangat dekat sehingga ia bisa merengkuhnya dan memeluknya erat dengan kedua lengannya yang kuat.

Sebenarnya Kai sengaja membangunkan dia secara kasar agar ia tidak terhipnotis oleh suara dengkuran pelan Emily dan menjadi bergairah karena melihat posisi tidur Emily yang sangat mengundangnya untuk melakukan sesuatu terhadap sosok yang dia anggap tercantik di dunia ini. Bagaimana tidak mengundang? Sekarang saja meskipun piyama hitam yang melekat di tubuh Emily sangat rapat menutupi sebagian tubuhnya, itu masih saja membuatnya menahan nafsu untuk tidak mendorong Emily kembali ke ranjang dan menindih tubuhnya, membayangkan bagaimana rasanya jika Kai berada di antara kedua kakinya...

Ya Tuhan, Kai. Demi apapun di dunia ini jangan pernah membayangkan itu. Setidaknya sekarang masih terlalu pagi untuk itu, Kai mengingatkan dirinya sendiri untuk ribuan kalinya.

“ada apa, Kai? Ada sesuatu yang salah?” tanya Emily lembut. Kai tidak menjawab karena sedang membayangkan bagaimana rasanya jika ia membelai rambut ikal Emily yang terurai berantakan dengan lembut, selembut ketika suara gadis itu memanggil namanya.

“ngg... tidak...” Kai berusaha menguasai dirinya. “kau bersiap-siap saja. setelah sarapan, kita akan mulai latihan...”

Di sisi lain, Emily hanya bisa termangu ketika melihat Kai keluar dari kamarnya. Entah kenapa dia bingung kenapa secara tanpa sadar dia tidak menginginkan Kai keluar. Emily kemudian menyadari hal lainnya juga.

Hanya vampir perkasa itulah yang hampir setiap hari keluar masuk kamarnya hanya untuk membangunkan Emily. Fakta itu membuat kaki Emily bergetar.

Sepertinya Emily harus berhenti menjadi pemalas dan belajar untuk bangun sendiri lebih pagi sebelum Kai membangunkannya. Karena kalau tidak, sesuatu bisa terjadi di antara mereka. Sesuatu yang mungkin salah, dan belum saatnya untuk terjadi sekarang.

---

Setelah puas menghabiskan setengah stok bahan dapur bar markas yang tersaji menjadi berbagai macam masakan kesukaan Emily, dia diajak oleh Kai ke kamarnya. Emily baru tahu dan cukup kaget ketika tahu bahwa kamar Kai ternyata masih satu lantai dengan kamarnya dan jaraknya tidak terlalu jauh.

“ngomong-ngomong, kenapa kita ke kamarmu?” tanya Emily ketika mereka sudah sampai di depan pintu kamar Kai.

“karena aku ingin menunjukkanmu sesuatu.” Jawab Kai sambil memasukkan kode kunci pintunya.

“sesuatu apa?” Emily penasaran.

“sesuatu dari Damian yang beliau wariskan kepadamu...”

Saat pintu sudah terbuka, Kai mengizinkan Emily masuk ke dalam terlebih dulu, membiarkan Emily mengagumi isi kamarnya. Kamar ini didesain khusus untuk mafia dan vampir. Kamar ini tidak memiliki jendela sama sekali dan kedap suara. Meskipun tidak seluas dan semewah kamar Emily, tapi kamar ini sangat nyaman. Ada TV LED 20 inch lengkap dengan home theaternya. Tidak banyak yang mencolok di kamar Kai karena sepertinya pria itu tidak terlalu tertarik untuk menaruh banyak perabotan disini kecuali sebuah double bed besar yang menarik perhatian Emily. Double bed itu berlapis sprei dan sarung bantal satin berwarna hitam.

“aku baru tahu kalau vampir bisa tidur...” komentar Emily saat memerhatikan ranjang itu. Sebuah bayangan nakal terlintas di benak Emily, tubuh Kai yang sempurna dan berkulit putih pucat pasti akan sangat pas dan kontras ketika ia berbaring disana.

Berbaring dengan ekspresi pasrah, menanti Emily untuk menyentuhnya dan membuat pria itu mendesah penuh nafsu karena sentuhannya.

Ya Tuhan, Emily. Dia bukan tipe pria seperti itu, yang mudah pasrah dan menerima. Emily nyaris saja menampar dirinya sendiri.

“kami tidak membutuhkan banyak tidur. Tapi seperti legenda, ada saatnya vampir harus bersembunyi di balik peti matinya, bukan?” jawab Kai. “kami tidak harus memerlihatkan kepada orang lain kalau kami membutuhkan tidur.”

“oh... biasanya kapan kalian membutuhkan tidur?” tanya Emily.

“sebagai mafia, kami hanya membutuhkan tidur setelah kami menyelesaikan pertarungan yang telah menguras tenaga kami, saat kami sakau karena narkotika dan terlalu banyak mengonsumsi darah, dan...” ujung bibir Kai sedikit terangkat ke atas karena tersenyum nakal. “setelah kami bercinta...”

Jawaban ketiga membuat perut Emily serasa seperti dihantam dengan martil. Baru saja dia membayangkan Kai berbaring di tempat tidur itu dengan pasrah di bawah kendalinya, sekarang dia terpaksa membayangkan bagaimana Kai berbaring pasrah di sana bersama orang lain dalam keadaan terengah-engah. Pasti banyak wanita di luar sana baik vampir maupun bukan yang menginginkan Kai bersama mereka. Tidak terkecuali Emily, yang sedikit berharap tubuh mereka akan terlihat sempurna dan cocok ketika sedang menyatu.

“tenang saja, aku tidak pernah bercinta. Aku terlalu sibuk untuk itu.” Kai tergelak pelan.

Emily menghela nafas lega. Sudah bisa ditebak, Emily. Harga diri Kai terlalu tinggi untuk diajak bercinta dengan sembarang wanita, tenang saja.

Tunggu dulu... ‘tenang saja’?

“tadi kau bilang apa? ‘tenang saja’? memangnya kau pikir aku peduli jika kau sudah bercinta atau belum?” kata Emily sewot.

“di wajahmu tertulis jelas sekali, Emily. Apalagi sekarang kita berada di kamar yang sepi dan kita berdua saja. Kau tidak akan memikirkan hal lain selain itu.” gelak tawa Kai semakin kencang. Berani sekali pria ini mengejeknya.

“aku tidak heran jika kau belum pernah melakukannya. Semua wanita pasti sudah langsung tidak bernafsu lagi jika mereka mengetahui kesombonganmu.” Emily bersedekap dan membuang muka.

Tiba-tiba, sebuah kekuatan mendorongnya dengan sangat kuat ke arah tempat tidur. Emily terbaring di atas kasur Kai dengan kedua tangannya ditahan di sisi kepalanya. Tubuh Kai yang perkasa menindih tubuh Emily sampai wanita itu tidak sanggup menggerakkan kakinya sendiri. Wajah Kai yang tampan dan menggoda kini lagi-lagi hanya berjarak beberapa centi dari Emily.

Sekarang Emily bisa menikmati kesempurnaan itu lebih dekat. Kedua lengan Kai yang besar dan keras tersembunyi di balik kemeja abu-abunya, tapi kancing kemejanya yang tidak terkancing beberapa nyaris saja memerlihatkan dada bidangnya yang selembut sutra saat Emily menyentuhnya dengan ujung jarinya. Mata kuning Kai berkilat dan menyiratkan kilau kemarahan sekaligus gairah, hidungnya yang manis mengeluarkan nafas yang memburu, bibir tipisnya yang seksi memerlihatkan taring tajamnya yang sudah memanjang sempurna. Ekspresi marahnya membuat Emily kebingungan antara vampir ini ingin menerkamnya sampai tersiksa seperti berada di neraka atau malah membawanya ke surga kenikmatan.

“jika aku menginginkan wanita berbaring disini, di bawah tubuhku, aku akan pastikan dia tidak akan bisa melawan lagi dan menyerah di bawah kendaliku, Emily-sama...” bisik Kai dengan nada membahayakan.

“bagaimana kau bisa sangat yakin dengan itu, Kai?” tantang Emily. Dia jadi semakin ingin mengusik keangkuhan dan harga diri vampir ini.

“karena saat ini, seorang calon pemimpin klan vampir terbesar di dunia sedang tidak berkutik dan tidak bisa berhenti menatap mataku dari tadi. Bisa kukatakan itu adalah sesuatu yang hebat...” Kai menyeringai. “padahal dia bisa saja melawan atau melemparku ke arah mana pun ia inginkan.”

Emily tertawa sejenak sebelum dia dengan sangat cepat melempar tubuh Kai hanya dengan kedua tangannya sampai Kai membentur dinding sebelum jatuh ke lantai. “baru saja kulakukan, Kai.” Kata Emily sambil menepuk pelan kedua tangannya. Dia turun dari tempat tidur dan menatap Kai yang mengusap punggungnya yang kesakitan di lantai.

Tapi bagi Kai, rasa sakit itu tidak seberapa. Harga yang cukup pantas untuk dibayar hanya demi bisa merasakan Emily berada di atas tempat tidurnya, mendengarkan nafas Emily yang tidak teratur, kilau mata hitam indahnya yang takut tapi juga menginginkan lebih, dia sampai harus menahan diri untuk tidak mengoyak kaos dan celana jins hitam Emily agar dia bisa menikmati keindahan tubuhnya.

Kai yakin dia tadi sempat melihat sekilas ekspresi wajah Emily yang juga sedang menahan diri untuk tidak menarik rambut cokelat Kai agar Emily bisa menautkan bibirnya dengannya.

Oh, dia sangat menginginkan lagi kesempatan untuk bisa melihat Emily seperti itu lagi. Dia juga sudah tidak tahan untuk membelai rambut ikal panjang Emily memenuhi bantalnya seperti tadi.

“nah, Kai. Aku yakin tadi bukanlah sesuatu dari ayahku yang ingin kau tunjukkan, bukan?” Emily mengingatkannya pada tujuan sebenarnya kenapa Kai membawanya ke kamar ini.

Kai bangkit dari lantai untuk memerlihatkan apa yang diminta Emily tadi. Dia berjalan menuju sebuah lemari buku di sudut kamarnya. Dia menggeser lemari buku itu beberapa meter. Di baliknya terdapat sebuah pintu rahasia. Pintu rahasia yang membawa mereka menuju ruang koleksi senjata milik Kai.

“wow! Ini luar biasa!” Emily berteriak kagum saat mereka sudah masuk dan melihat seluruh koleksi senjata Kai. Sepertinya Kai mendesain sendiri sistem keamanan ruang senjata yang terbuat dindingnya terbuat dari besi dan baja ini. Menurut Kai, jika ada seseorang yang sampai salah memasukkan kode keamanannya, sebuah sinar laser akan muncul dan siap memotong tangan siapapun yang membukanya dari mesin keamanan itu. Belum lagi sistem alarm markas akan diaktifkan, dan bisa jadi, satu pasukan markas akan mengepung kamar Kai hanya untuk menangkap pelakunya.

Kai sampai menatap Emily dengan ngeri karena belum ada 5 menit yang lalu wanita yang baru saja melemparnya ke lantai sekarang malah berubah riang seperti anak kecil. Koleksi senjata yang dimiliki ruang rahasia yang tidak terlalu besar ini memang sangat luar biasa. Kai mengoleksi berbagai senjata dari beberapa dekade. Berbagai machine gun, assault riffle, shotgun, pistol, sniper, sampai granat dan peledak juga berbagai jenis pedang dan belati berjejer rapi di rak penyimpanan yang menempel di dinding.

“darimana kau mendapatkan semua ini, Kai? Pasti harganya sangat mahal...” Emily tidak bisa berhenti berdecak kagum.

“sebagian dari Ruki dan sebagian lagi dibuat oleh Airi. Sisanya aku kumpulkan sendiri. Beberapa dari hasil sitaan perang. Jadi mungkin beberapa senjata di antaranya menyimpan kenangan tersendiri...” Kai menjawab dengan bangga.

“kau mengambil senjata milik korban peperangan?” Emily menoleh ke Kai. “rasanya terdengar sedikit keterlaluan...”

“Emily, mereka sudah mati. Mereka tidak membutuhkannya lagi.”

Emily tahu itu. Tapi darah manusia masih mengalir di tubuhnya. Membuatnya masih merasakan rasa kasihan karena membayangkan ketidak adilan menimpa seluruh korban-korban peperangan yang malang, berjuang hanya demi memertahankan hidup mereka.

Sebuah senjata menarik perhatiannya. Dia lalu mengambil senjata itu kemudian mengamatinya baik-baik. Senjata hitam ini cukup panjang sehingga dia mengambil kesimpulan kalau senjata ini pasti adalah submachine gun. Modelnya yang cukup kuno daripada model-model senjata masa kini membuatnya tertarik darimana Kai mendapatkan ini.

“itu The Halcon M-1943 tipe 2B-P-25 dari Rusia.” Kai menerangkan tanpa diminta. “senjata itu sudah berusia puluhan tahun. Aku tidak perlu memeringatkanmu untuk berhati-hati memegangnya, Emily...”

“senjata ini lucu sekali...” Emily menimang senjata itu seperti bayi. “jadi, mana sesuatu yang ingin kau perlihatkan? Apa disimpan di ruangan ini?”

“tentu saja. ada disini.” Kai membelakangi Emily untuk membuka laci lemari penyimpanan yang memiliki berbagai amunisi dan perlengkapan lainnya dari seluruh senjata yang ada. Karena terlalu banyak, Kai membutuhkan waktu cukup lama untuk mencari kotak yang berisi sesuatu yang ingin ia perlihatkan ke Emily.

Sementara itu Emily masih belum bisa melepaskan kekaguman dari senjata ini. Emily pernah melihat tipe senjata ini sebelumnya saat dia menonton salah satu film action favoritnya di televisi. Kalau tidak salah ini adalah tipe light machine gun untuk lebih tepatnya. Karena tidak memiliki amunisi, Emily mengacungkan senjata itu layaknya dia sedang menembak sesuatu di udara. Dia bergaya seperti seorang pejuang atau tentara seperti di film yang ditontonnya.

Tapi karena dia terlalu kuat menarik pelatuk senjata itu (apalagi dia juga belum terlalu mampu mengendalikan kekuatan supernya sendiri), tanpa sengaja Emily mematahkan pelatuk tersebut. Mulut Emily langsung menganga panik.

Bagaimana ini? Dia baru saja merusak senjata milik seorang ketua divisi investigasi klan vampir terbesar di dunia. Dia pasti akan dibunuh oleh Kai!

“kenapa tidak ketemu juga, ya? Kalau tidak salah terakhir aku menyimpannya disini...” Kai menggumam sendiri, masih sibuk mencari di laci penyimpanan.

Menyadari Kai belum tahu Emily baru saja merusak senjatanya, Emily menaruh senjata itu di lantai dengan sangat perlahan dan nyaris tidak terdengar. Dan dengan kecepatannya yang seperti angin, dia langsung lari keluar dari kamar Kai tanpa sepengetahuannya.

“ah, ini dia!” Kai akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Kotak yang ia cari sudah berada di tangannya. Namun ketika ia berbalik, ia sudah tidak melihat Emily berada disana lagi.

Gantinya ia menemukan The Halcon miliknya berada di lantai, dengan pelatuknya dalam keadaan patah dan pecahannya berada tidak jauh darinya.

---

Emily melarikan diri ke ruang latihan yang berada di lantai 4. Ruang latihan yang dimaksud itu merupakan sebuah ruang fitness, kolam renang indoor, dan sebuah auditorium kecil untuk latihan bela diri dan jogging. Ruang latihan yang sangat besar ini nampak lengang dan hanya ada beberapa penjaga di pintu masuk ruang latihan menyapanya penuh hormat.

“Aoi-sama dan Ruki-sama sedang berlatih kendo di ruang auditorium, Emily-sama...” kata salah satu penjaga pria berjas dan earpiece untuk berkomunikasi di telinganya.

“ya, terima kasih...” jawab Emily terengah-engah karena baru saja berlari. Sudah lama dia tidak menggunakan kecepatan supernya seperti tadi.

Emily perlu melewati ruang fitness yang bernuansa putih dan kolam renang indoor. Saat melintasi pinggir kolam renang, Emily mengira-ngira kedalaman kolam renang tersebut. Mungkin kedalamannya sekitar 2 meter.

Aoi dan Ruki sedang asyik bertarung ketika Emily sampai. Tidak ingin mengganggu, Emily mengambil tempat duduk penonton di sisi kanan auditorium sambil terus mengamati mereka bermain. Tubuh dan wajah Aoi dan Ruki ditutupi oleh seragam dan topeng pelindung khusus untuk berlatih kendo. Mereka dengan cekatan dan lincah saling menyerang dan bertahan dengan pedang kayu sebagai senjata mereka.

Pertarungan sengit terjadi selama beberapa lama sebelum akhirnya Aoi mengakhirinya dengan lihai menggunakan trik sehingga Ruki kehilangan pedang kayunya. Ruki kalah telak ketika Aoi mengacungkan ujung pedangnya yang tumpul di leher pria bertubuh kecil itu.

“sudah kubilang bukan kau tidak akan bisa menang melawanku, lagi! Haha!” Aoi tertawa bangga seraya melepas topeng pelindungnya.

“bukan itu masalahnya, Aoi. Kau lebih lama menggeluti olahraga ini daripada aku. Lawanmu tidak seimbang.” Ruki membela diri.

“sudahlah, pokoknya berikan saja 5000 yen untukku karena sudah kalah bertarung denganku lagi.” Aoi terkekeh dan menepuk keras punggung Ruki.

“hei, Emily. Sedang apa kau disini?” Ruki menyapa Emily yang sedang memandang mereka kagum. Mereka terlihat sangat luar biasa dan keren meskipun mereka nampak kusut dan berantakan karena baru saja bertarung. Aoi tetap elegan dengan gayanya yang seperti rocker, lip piercing miliknya masih terpasang di ujung bibirnya. Sedangkan Ruki, meskipun kecil, dia tetap terlihat seperti seorang mesin pembunuh dan seorang mafia sejati.

“hei...” balas Emily. “aku kesini untuk latihan bertarung dengan Kai.”

“hoo... bertarung dengan Kai, ya...” Aoi merasa takjub.

“kenapa?”

“meskipun si brengsek ini bisa mengalahkanku, tapi dia tetap tidak bisa melawan Kai, sang petarung sejati.” Ruki menjelaskan.

“itu karena dia dari kepolisian dan sudah terlalu lama berlatih kekerasan. Aku bukan lawan yang seimbang untuknya.” Aoi mengikuti gaya bicara Ruki.

“maka dari itu Damian memilihnya menjadi penjagamu, Emily. Tidak ada yang bisa menembus pertahanan Kai.” Timpal Ruki.

Oh, jadi karena itu ayahnya memercayakan dirinya pada Kai. Pikir Emily. Entah kenapa rasanya Emily ingin meloncat riang karena kenyataan itu.

“tapi kalau seandainya Kai lengah dan tidak bisa melindungiku sepenuhnya, bagaimana?” Emily tidak ingin terlalu percaya diri dengan menganggap Kai akan selalu berada di sisinya. Pria itu ada di sampingnya karena amanat dari ayahnya. Tidak lebih.

“kami semua akan melindungimu dari bahaya. Tenang saja.” Aoi merangkul Ruki. “kau tidak usah takut.”

“ya. Kami tidak akan meninggalkanmu, Emily.” Ruki tersenyum tulus pada Emily. Sejenak Emily sedikit terharu pada ketulusan kedua vampir ceroboh ini. Vampir memang makhluk yang paling setia pada kawannya.

Kemudian terdengar suara raungan yang sangat kencang dari depan pintu masuk auditorium. Suara raungan itu benar-benar memecah keheningan ruang latihan ini.

“sepertinya itu suara Kai. Tidak biasanya dia mengamuk. Ada apa?” Aoi mengangkat alisnya.

“ngg...” Emily menggaruk kepalanya walaupun tidak gatal. Perutnya kembali seperti dihantam oleh martil. “tadi aku... merusak salah satu koleksi senjatanya. Makanya aku langsung kabur kemari...”

Setelah itu terdengar lagi raungan Kai memanggil nama Emily dengan penuh amarah. Emily semakin merasa ketakutan untuk menghadapi kemarahan Kai. Tapi dahinya mengernyit ketika dia melihat Aoi dan Ruki langsung membereskan barang mereka.

“kalian mau kemana?” tanya Emily bingung.

“kemana saja. asal bukan disini...” jawab Ruki sambil terus membereskan barangnya.

“katanya kalian akan melindungiku dari bahaya apapun.” Emily menagih janji mereka yang baru saja dilontarkan.

“kau merusak senjata milik ketua divisi investigasi klan vampir terbesar di dunia, Emily...” kata Aoi. “kau sendirian.”

“dasar pengkhianat.” Gerutu Emily.

Mereka langsung terbirit-birit saat Kai masuk dan berjalan menuju Emily dengan murka. Emily hampir tidak sadar dia bisa saja akan terlempar ke belakang dari duduknya saat Kai berdiri tepat di depannya.

“kenapa kau merusak senjataku?” tanya Kai geram.

“aku...” tubuh Emily bergetar ketakutan. “sepertinya aku sedikit berlebihan saat memainkannya... aku belum terbiasa menggunakan kekuatanku...”

“aku tahu kekuatanmu memang sangat luar biasa.” Kai mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Emily. “tapi bukan berarti senjata kesayanganku yang menjadi korbannya!”

“i... itu kan hanya light machine gun, Kai... jangan berlebihan...” Emily sedikit bercanda demi mencairkan suasana.

Kai menggeram lagi, “light machine gun itu kudapatkan susah payah dari Rusia dengan harga yang sangat mahal. Kau pikir itu bisa membuatku terhibur, hah?”

Sekarang Emily baru tahu harga diri seorang pria bisa disamakan dengan senjata yang ia miliki. Melihat Kai yang murka seperti ini, dia lebih baik mengalah. Toh itu juga kesalahannya.

“maaf, Kai...” Emily menundukkan kepalanya dan merasa bersalah. “aku tidak bermaksud merusaknya...”

Kai langsung diam. Dia tidak menggerutu, mengamuk, dan mencaci maki lagi. Apa yang baru saja ia lakukan sampai Emily dengan pasrah meminta maaf padanya? Sikap Emily yang menyesal itu membuat Kai luluh dan amarahnya hilang dalam sekejap.

Entah karena pemimpinnya dengan pasrah meminta maaf atau karena sesuatu lain sehingga Kai langsung memaafkan Emily begitu saja. dia tidak bisa benar-benar marah di depan wanita yang satu ini.

Emily benar-benar seorang wanita istimewa.

“lain kali jangan lakukan itu lagi.” Kai memberi peringatan. “lupakan saja. sekarang kita latihan.” Kai memerlihatkan sesuatu yang sedari tadi ia pegang kepada Emily. Sebuah kotak kayu berukuran cukup panjang berwarna hitam.

“apa itu, Kai?” tanya Emily.

Kai mengambil posisi duduk di sebelah Emily dan membuka kotak itu. Isinya adalah sebuah pedang perak yang sangat indah. Pedang itu bukan hiasan, melainkan pedang untuk bertarung. Pedang itu memiliki sebuah hiasan mutiara hitam di pegangannya yang berwarna hitam seperti malam yang pekat.

“ini warisan dari Damian. Beliau membuatkan ini khusus untukmu.” Kata Kai pelan.

Emily mengamati pedang itu sekali lagi seraya mengangkatnya. Pedang itu terasa berat, namun Emily mampu membawanya. Terdapat sebuah ukiran-ukiran klasik di sisi pedang yang bersinar penuh keagungan ketika Emily mengangkatnya ke arah cahaya.

Bila Emily menggunakan pedang ini untuk bertarung, mungkin lawannya akan ciut lebih dulu ketika melihat keindahan pedang ini.

“Kai, sekarang dunia persenjataan sudah sangat modern. Kenapa ayahku memberikan aku pedang ini?” Emily heran.

“beliau menganggap bertarung dengan pedang adalah cara bertarung yang adil dan memiliki nilai seni. Tidak hanya beliau saja, kami juga bisa memainkannya. Yah, walaupun kami tidak bisa menyamai kemampuan beliau...”

“kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita berlatih bermain pedang?” ajak Emily. “kutantang kau untuk melawanku.”

“memangnya kau yakin bisa mengalahkanku, Emily?” Kai tersenyum mengejek. “kau pasti sudah mendengar dari Aoi dan Ruki mengenai kehebatanku.”

Hah, lagi-lagi pria ini menyombongkan diri di depannya. Emily membalasnya dengan menyunggingkan senyum menantang.

“baiklah kalau begitu.” Kai tidak perlu berbasa-basi lagi. Dia mengeluarkan dua bilah pedang besi dari sarung pedang di kedua sisi pinggangnya. Salah satunya ia lemparkan kepada Emily yang kemudian ditangkap olehnya dengan sempurna. “jangan keluar dari ruangan ini dengan wajah terkesima karena kau terlalu silau dengan caraku mengalahkanmu”

Mereka mengambil posisi di tengah-tengah auditorium. Meskipun Emily tidak pernah bertarung dengan pedang sebelumnya, tapi entah kenapa ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya tidak canggung dalam memegang pedang di tangannya dan mengambil posisi yang benar.

Sepertinya dia memang didesain untuk menjadi seorang petarung.

Kai berdiri tepat di depan Emily, matanya berkilat waspada, menanti Emily untuk menyerangnya lebih dulu. Dan Emily tidak membuang waktu lagi. Dia langsung mengayunkan pedangnya dengan lihai dan lincah ke arah Kai yang bisa menangkis serangan itu dengan anggun. Tidak hanya menangkis, dia juga balik menyerang Emily. Dia mengincar bagian lehernya.

Emily sendiri tidak mau mengalah. Dengan berbagai taktik cepat, Emily juga berhasil menangkis serangan tersebut. Pedang mereka terus saling beradu, keadaan juga tidak pernah pasti. Ada saatnya dimana Kai menyerang dan Emily berhasil menghalaunya dan sebaliknya.

Emily memutuskan untuk menggunakan gerakan slot-shot yaitu dengan mengayunkan pedangnya secara vertikal ke sisi kepala Kai. Tapi Kai berhasil menghindar ke samping dan melakukan gerakangrass cutter, mengayunkan pedangnya seperti memotong rumput ke arah kedua kaki Emily. Karena instingnya yang tajam, Emily berhasil meloncat dari serangan itu dan melakukan gerakan wrap, menyerang sisi kanan Kai. Hasilnya, lengan Kai tergores dan sedikit mengeluarkan darah.

“hebat juga kau, Em...” Kai tertawa pelan.

“sekarang siapa yang akan keluar dari ruangan ini dengan terkesima, hah?” sindir Emily sambil tertawa sarkastik.

“pertarungan masih belum selesai.” Kai membalas Emily dengan gerakan yang sama seperti Emily menyerangnya tadi. Emily menunduk saat Kai menggunakan gerakan slot-shot. Disaat Emily menunduk, dia mengambil kesempatan itu untuk menggunakan gerakan grass cutter itu lagi. Sayangnya, ayunan gerakan yang sangat cepat itu mampu ditangkap oleh Kai. Seluruh gerakan mereka benar-benar penuh tenaga sampai pedang mereka menciptakan beberapa percikan api dari gesekannya. Kai menggunakan gerakan snap dan sedikit memutarkan pedangnya sehingga dia bisa mendekati Emily dan berhasil menempelkan sisi pedangnya yang sangat tajam ke leher wanita cantik itu.

Sayangnya, Emily juga melakukan hal sebaliknya. Pedang yang dipegang olehnya juga turut menyentuh lehernya. Karena wajah mereka yang sangat dekat, Kai bisa melihat kilatan dingin seperti seorang pembunuh profesional, rasanya benar-benar dingin, sedingin pedang milik Emily yang jika Emily mau, dengan sedikit kekuatannya, pedang itu mampu mengoyak urat lehernya.

Di sisi lain, Emily tersenyum penuh kemenangan. Keadaan mereka memang seri, tapi Emily melihat raut wajah Kai terlihat lemah dan tidak berdaya. Namun ekspresi itu tidak bertahan lama, Kai malah memberikan sebuah senyuman dingin tapi mampu meluluhkan dinding pertahanan Emily lagi. Kai mengangkat pedangnya untuk sekali lagi menyerang Emily. Kali ini pertahanan Emily tidak sekuat tadi, Emily menghalau serangannya dengan enggan, seakan dia sedang terhipnotis atau ada sesuatu yang telah memecahkan konsentrasinya sehingga ketika Kai menggunakan gerakan terakhirnya, Emily tanpa sengaja melemparkan pedangnya ke lantai, dan ia pun jatuh setelah mendapatkan sedikit tendangan dari Kai.

Agar Kai bisa mengumumkan kemenangannya, Kai menindih badan Emily dan kembali mengacungkan ujung pedangnya di leher Emily yang jenjang dan indah.

Mereka terengah-engah, Emily harus mengakui kalau dia kalah, dan Kai telah berhasil menguasainya untuk sekali lagi. Mereka berdua tersenyum puas.

“kau benar-benar lawan yang hebat, Kai.” Puji Emily. “ini baru pertama kalinya aku bertemu lawan yang setara denganku.”

“tidak.” Jawab Kai. “kau masih belum lihai memainkan pedang ini. kalau ya, kau pasti sudah  membunuhku tadi.”

“kalau begitu, kita bisa lakukan ini lain kali?” Emily tersenyum merayu.

“kalau kau mau...” Kai menyingkirkan pedangnya dari tubuh Emily. “kau bisa menggeretku kesini lain kali. Tapi ingat, pastilah aku yang akan menang...”

“kapan kepercayaan dirimu itu akan redup, Kai?” tanya Emily penasaran.

“selama aku bersamamu, Emily...” Kai berbisik lembut di telinganya. “rasa percaya diriku tidak akan pernah redup...”

Emily terkesiap. Sebelum dia bisa bertanya lebih jauh tentang apa maksud dari yang Kai katakan, dia mendengar suara tepuk tangan yang diiringi siulan dan tawa.

“sudah kubilang kan, Aoi. Pastilah Kai yang akan menang!” seru Ruki riang dari bangku penonton. “sekarang, berikan aku 10000 yen.”

Aoi yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum kering sambil mengeluarkan dompetnya dan memberikan Ruki uang sejumlah yang mereka pertaruhkan.

“tunggu, tunggu...” Kai baru sadar kedua orang bodoh itu ternyata ada disana. “sejak kapan kalian disini?”

“ya, sejak kapan kalian kembali lagi? Kupikir kalian mencari tempat perlindungan.” Timpal Emily.

“sejak kalian menghunuskan pedang kalian untuk pertama kali.” Jawab Aoi enteng. “kalian terlalu asyik bermain sampai kalian tidak menyadari kami datang dan menjadikan kalian sebagai objek taruhan kami.”

“apa? Kalian membuat kami menjadi bahan taruhan kalian?” Kai terkejut. Reaksi Kai malah disambut tawa lepas oleh Aoi dan Ruki.

“pertarungan kalian berdua benar-benar seru dan tidak bisa ditebak hasilnya. Kau pikir aku akan menghilangkan kesempatan emas untuk membuat Aoi memasang wajah memalukan karena kalah seperti tadi?” ujar Ruki.

“sepertinya aku juga harus menghunuskan pedangku ke kalian...” Kai geram. “kalau kau menjadikanku bahan taruhanmu, setidaknya berikan 50% hasil uang taruhanmu kepadaku” tiba-tiba ekspresi geram Kai berubah menjadi lucu dan sok serius.

“coba saja ambil kalau kau sudah mau melepaskan dirimu darinya.” Ruki tertawa lagi seraya menunjuk Emily dan Kai.

“maksudmu apa, Ruki?” Emily tidak mengerti.

“apa kau benar-benar tidak sadar atau hanya berpura-pura, Kai?” kata Aoi. Dia berusaha keras untuk menahan tawanya agar ia bisa meneruskan. “posisi kalian sekarang benar-benar menggoda...”

Saat Kai sadar sepenuhnya bahwa ia masih berada di atas tubuh Emily yang juga masih berbaring pasrah di lantai. Kai langsung beringsut dari tubuh Emily dengan wajah memerah. Emily juga tidak kalah canggung dari Kai. Emily dengan sangat cepat bangkit dan turut menyembunyikan wajah malunya dari hadapan 2 vampir pria yang masih menertawai mereka dan seorang vampir yang sekali lagi telah membuatnya silau entah oleh keangkuhan atau kesempurnaannya.

Rasanya dia benar-benar akan keluar dari ruangan ini dengan terkesima sesuai janji Kai kepadanya.

Wednesday, March 14, 2012

The Delusion (4)

4

Di hari keduanya bekerja, Yoriko datang lebih awal ke petshop. Dia yang sudah memegang kunci pintu masuk dari Avaron langsung masuk ke dalam dan menemukan petshop dalam keadaan sepi. Atasannya belum datang, mungkin dia datang nanti siang, setelah mengurus rumah dan Yukio lebih dulu.

Seperti yang dia lakukan kemarin, dia membersihkan lantai petshop terlebih dulu. Lalu dia membersihkan kandang Alen dan Boo. Tidak lupa dia memberi makan mereka juga ke peliharaan lain. Dia juga sudah memastikan aliran udara di akuarium mengalir dengan baik, mengecek apa kandang-kandang hamster masih memiliki cukup air, dan mengatur stock barang sebelum dia mengganti papan tanda toko di jendela menjadi ‘open’.

Tahu kalau dia akan sendirian selama beberapa lama, Yoriko masuk ke meja kasir dan mengeluarkan laptop dari tas ransel hitamnya. Laptop apple tipis yang juga berwarna hitam. Yoriko sangat memuja warna hitam dan putih. Kedua warna itu tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Dia sudah mengenakan warna itu sejak dia berusia 13 tahun. Dia sudah menyukai aliran gothic dari dia pertama kali membaca majalah Cure dan majalah gothic saat dia tinggal di luar negeri. Dia menyukai karya seni gothic seperti Jasmine Becket-Griffith, Victoria Francés, Nathalia Suellen dan masih banyak lagi. Penampilannya selalu terlihat rebel atau gothic.

Dia mempunyai kemampuan melukis dan menggambar sketsa selain menulis. Namun dia lebih memilih menonjolkan kemampuan menulisnya dan menyimpan kemampuan hebatnya di menggambar hanya untuk dirinya sendiri. Karena ketertarikannya pada seni, Yoriko akhirnya menyukai dunia fotografi. Dia selalu menangkap keindahan kehidupan yang dia temui dengan kamera DSLR kesayangannya. Sudah tidak terhitung berapa jumlah foto yang tersimpan di laptop Applenya itu.

Dia menyalakan laptop dan menulis lagi. Dia sudah tidak sabar ingin melanjutkan petualangan Judy dan Spencer. Semalam dia tidur jam 12 dini hari karena berusaha menyelesaikan bab keempatnya. Di bab keempat itu sudah masuk adegan dimana Judy memulai penyelidikannya di balik meja kerja demi mendapatkan kepercayaan dari Spencer agar ia bisa terjun ke lapangan.

Sekarang dia memulai bab kelima. Di bab kelima ini Yoriko ingin sekali memasukkan adegan sedikit menyentuh dan tidak berhubungan dengan kasus dan pekerjaan mereka. Sebuah adegan sederhana namun membuat hati Spencer sedikit luluh dan mulai membuka dirinya untuk Judy. Namun dia belum mendapatkan inspirasi. Dia mengalami writer’s block lagi.

Yoriko menggerutu pelan. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan mondar-mandir, berusaha mencari inspirasi yang bagus. Walaupun Yoriko sudah menemukan akhir bagus untuk ceritanya, tetapi lain cerita dengan adegan kecil ini.

Yoriko terus mondar-mandir sambil memejamkan matanya. Mulutnya mengucapkan kata-kata tidak jelas namun membantunya mengeluarkan imajinasi dari pikirannya. Dia terus melakukannya sampai dia mendengar suara rintihan pelan, tepat di depannya. Kakinya yang memakai sepatu boot gothic bersol tebal menginjak kaki seseorang.

“aw!” rintihan itu membuat Yoriko membuka matanya. Teman prianya yang kemarin muncul lagi di hadapannya.

“darimana kau bisa masuk?” tanya Yoriko. Temannya itu masih mengenakan pakaian sama seperti kemarin, penampilan fisiknya juga tidak jauh berbeda.

“petshop sudah dibuka. Berarti aku bebas untuk masuk, bukan?” jawab temannya sambil menunjuk pintu masuk.

“lalu kenapa kau mengendap-endap lalu muncul begitu saja? aku kan sampai kaget, tahu.” Yoriko kembali menegur temannya yang ceroboh ini.

“karena kau terlalu berkonsentrasi membayangkan adegan untuk novelmu.” Si pria membela dirinya. “ngomong-ngomong kau sudah sampai bagian mana? Aku mau membacanya.” Dia membungkukkan badannya, melihat layar laptop Yoriko yang memperlihatkan naskah Judy.

“nanti saja kalau aku sudah selesai menulisnya.” Yoriko menarik temannya agar dia tidak bisa melihat lagi.

“yah, kenapa?” temannya merengut kecewa.

“karena kau pasti akan mengoceh tanpa henti kalau kau membaca setiap bab yang kutulis, membuatku menjadi tidak bisa berkonsentrasi untuk menulis bab berikutnya.” Yoriko menjelaskan.

“oh... oke...” dia melipat tangannya di dada dan berpikir sejenak. “kau tidak pernah memanggil namaku sejak kau disini. Kenapa?”

“karena kau sering menyuruhku memanggilmu dengan nama buatanmu yang selalu berubah. Sekarang kau ingin aku memanggilmu apa, huh?” Yoriko melirik ke temannya.

“hmm... bagaimana kalau Hitomu?” temannya sudah memutuskan namanya dengan cepat. “kita kan ada di Jepang sekarang. Lebih baik aku pakai nama Jepang saja.”

“baiklah... Hitomu...” Yoriko menganggukkan kepalanya. “kenapa harus nama Hitomu?”

“aku suka saja. aku melihatnya saat aku dalam perjalanan kemari. Nama itu ada di salah satu papan iklan produk yang aku tidak ingat.” Hitomu menjawab.

“oh. Sekarang bagaimana kalau kau pergi dulu? Aku ingin menulis lagi.” Yoriko meminta Hitomu pergi.

“eeeh? Kenapa? Petshop kan masih sepi, kenapa kau tidak bermain denganku saja dulu? Ayolah...” Hitomu menarik-narik lengan Yoriko.

“aku tidak bisa. Kau bisa bermain sendiri, kan?” Yoriko sangat sabar menghadapi temannya yang kekanakan ini.

“tidak seru kalau tidak ada kau, Yoriko-chan.” Desak Hitomu.

“Hitomu, petshop tidak bisa kutinggal begitu saja karena hanya ada aku yang bertanggung jawab disini.” Yoriko menjelaskan situasinya. “jadi kita tidak bisa keluar begitu saja.”

“hh... baiklah...” Hitomu akhirnya mengerti. “tapi kalau kau sudah selesai bekerja, kita akan jalan-jalan. Bagaimana?”

Yoriko mengiyakan. “tapi tidak sampai lebih dari jam 8 malam. Aku harus pulang dan menemani Aya membuat makan malam.”

“oke.” Hitomu tersenyum polos. “oh ya, kenapa kau sendirian? Atasanmu yang cantik itu tidak datang?”

“dia mungkin datang nanti siang. Dia kan atasan, mempunyai rumah dan keluarga yang harus diurus terlebih dulu.” Jawab Yoriko.

“apa? Dia sudah menikah, ya?” Hitomu memasang ekspresi kecewa lagi. Tapi kali ini ekspresi kecewanya tidak terlihat seperti anak kecil, rasa kecewa yang dia rasakan sangat berbeda. Yoriko bisa ikut merasakannya juga, namun dia tidak terlalu peduli.

“ya. Sayang sekali, teman...” Yoriko menepuk pundak Hitomu untuk memberi semangat. “ayolah, jangan hanya karena wanita kau jadi lemas begitu.”

“padahal dia cantik sekali...” Hitomu berkata lirih. Matanya menerawang ke arah lain. “aku menyukainya.”

“ya, ya... wanita cantik pasti selalu dimiliki orang lain.” Kata Yoriko sambil kembali menulis.

Kemudian seorang wanita memakai mantel cokelat bersepatu flat masuk ke dalam petshop. Dia membawa tas dokter berwarna hitam. Dokter itu menyapa Yoriko.

“selamat pagi, Yoriko-chan.” Sapa dokter Inoue.

“selamat pagi, dokter.” Jawab Yoriko ramah. Dia menghentikan kegiatan menulisnya sejenak dan keluar dari meja kasir. “ada yang bisa kubantu?”

“tidak usah. Kau kembali saja bekerja, aku bisa tangani sendiri semuanya.” Dokter Inoue dengan halus menolak. “ngomong-ngomong, penampilanmu cukup luar biasa untuk menyambut pagi hari yang cerah ini...” dokter Inoue melihat Yoriko dari atas sampai bawah. “kau tidak ingin pergi ke pemakaman atau sekolah penyihir, kan?”

Di atas sepatu boot gothicnya yang berkaos kaki hitam, Yoriko memakai kemeja putih dengan kalung salib manik-manik hitam panjang dan rok lipit selutut berwarna hitam. Dan seperti biasanya, Yoriko selalu mengenakan dandanan smoky eyes namun hari ini dia memakai lipstik merah menyala.

“ngg... kurasa tidak. Hanya ini yang bisa kutemukan dari peti matiku tadi pagi. Hehe...” Yoriko  menyambut candaan dokter Inoue dengan lelucon juga.

“bisa kulihat kau orang unik, Yoriko-chan. Pertahankan itu.” Dokter Inoue memuji Yoriko sebelum dia pergi ke ruang prakteknya yang sekarang ada di lantai atas petshop.

Yoriko hanya mendesah dan tersenyum sendiri sepeninggal dokter Inoue. Ternyata ada juga orang yang menganggapnya seperti itu. Apalagi yang mengatakannya adalah seorang dokter yang selalu bersikap rasional.

 ---

Yoriko selesai bekerja sekitar pukul 3 sore. Setelah berpamitan pada Avaron yang sudah datang dan Aya yang baru datang dari kampus, Yoriko keluar dari petshop. Dia memutuskan menjelajahi Tokyo kembali setelah sekian lama dia meninggalkan kota berpenduduk sangat padat ini.

Yoriko pergi ke daerah Shibuya, salah satu distrik kota Tokyo yang termasuk salah satu distrik terpadat. Disana adalah pusat makanan dan fashion yang dipenuhi oleh anak-anak muda Tokyo. Walaupun Yoriko sudah berusia lebih dari 25 tahun, dia masih berjiwa muda. Terbukti dari gaya berpakaiannya yang tidak Yoriko sangka tidak berbeda jauh dari sebagian anak muda yang memadati Shibuya sore ini.

Karena lapar, dia pergi ke Dogenzaka, tempat dimana dia menemukan beberapa restoran kelas menengah sampai atas disana. Dan restoran-restoran disana memberikan menu yang tidak biasa. Yoriko yang masih terbiasa dengan makanan khas Indonesia, sedikit bergidik saat melihat foto-foto menu makanan yang sedikit menggelikan bahannya. Harga makanannya juga selangit, diatas 1000 yen seporsi.

Saat ia nyaris mengurungkan niatnya untuk makan di daerah itu, dia menemukan sebuah restoran di dalam sebuah gedung. Namanya menarik perhatian Yoriko. Criston Cafe. Namanya terdengar sangat Kristen dan jangan-jangan...

Mengikuti insting gothicnya, Yoriko masuk ke dalam gedung dan mendatangi restoran itu. Benar dugaannya. Criston Cafe sepertinya akan menjadi tempat favoritnya karena restoran ini bernuansa gothic sekali.

Saat dia masuk, dia merasa seperti memasuki sebuah kapel atau gereja. Jalan di depannya seperti sebuah altar. Hiasan salib banyak sekali di sekitar restoran. Kandil lampu yang memiliki banyak gantungan salib yang sangat besar sebagai hiasan langit-langit restoran yang juga memiliki banyak lukisan bergaya klasik. Seluruh interiornya tentunya bernuansa gothic juga. Tirai-tirai berwarna merah di dinding-dinding restoran, setiap meja memiliki lampu lilin menggantung.

Pelayan restoran yang ada di pintu masuk menyapa Yoriko sangat ramah. Mungkin karena penampilan Yoriko sekarang yang cocok sekali dengan suasana restorannya. Yoriko memesan meja untuknya kepada pelayan itu. Kemudian pelayan wanita itu mengantarnya ke dalam restoran sampai ke bagian restoran yang ditutupi oleh tirai merah darah untuk memberi suasana privat. Saat Yoriko masuk, dia semakin menunjukkan kekagumannya pada restoran ini. dia bisa melihat altar Bunda Maria disana, benar-benar bernuansa gereja dan gothic.

Yoriko adalah seorang Katolik karena dia dibaptis di Eropa, jadi interior restoran ini sangat merasuk di dalam hatinya, terlebih ketika dia melihat patung Bunda Maria dan salib. Walaupun dia Katolik, dia lebih suka menyembunyikan keyakinannya di depan orang banyak. Karena dia tahu hal seperti itu adalah menyangkut pribadi masing-masing.

Setelah dia mendapatkan tempat duduk, dia langsung memesan makanan. Menu pilihannya adalah grilled salmon steak dengan mushroom cream sauce Y880 dan cappucino gelato Y360 untuk minumannya. Yoriko tahu makan di restoran seperti ini tidaklah murah, tapi untuk mendapatkan suasana favoritnya yang disajikan restoran ini, dia rela membayar berapapun.

Kurang dari setengah jam, pesanan Yoriko akhirnya datang. Steak salmon dan cappucinonya siap tersaji di depannya, dia berdoa sebentar dengan cara Katolik sebelum makan. Dia makan perlahan dan bersikap bak seorang bangsawan drakula dari film-film horror yang sering dia tonton.

Tanpa Yoriko sadari, caranya berdoa dan makan menarik perhatian orang-orang yang duduk di sekitarnya. Yoriko menyatukan tangan dan menggenggamnya erat, lalu menundukkan kepalanya dan mengucapkan doa dalam hati. Bagi mereka cukup menarik juga untuk seorang gadis yang mengenakan pakaian ala gothic. Kalau saja Yoriko tidak mempunyai wajah khas Jepang, mungkin mereka akan mengira Yoriko adalah orang asing atau gadis taat agama dari gereja.

Saat makanan utamanya sudah tersisa setengah, Yoriko menyadari kalau dia tidak makan sendirian. Dia melihat Hitomu duduk di depannya, menyantap hidangan sama seperti milik Yoriko.

“kau jahat lagi, kenapa kau meninggalkan aku? Aku tadi kan hanya membeli figur anime di toko sebelah.” Tanya Hitomu.

Yoriko tidak menjawab. Wanita itu sibuk menatap penampilan Hitomu dari atas sampai bawah. Penampilannya bergaya sama seperti Yoriko, Hitomu mengenakan setelan jas hitam dan rambut cokelatnya yang tadi berantakan terlihat lebih rapi dan berkilau. Cara Hitomu makan membuat Yoriko terpukau karena Hitomu sekarang seperti orang kerajaan yang mempunyai manner yang terbaik, seakan keanggunan dan keluwesan itu sudah dia miliki sejak lahir. Yoriko jadi lupa pada salmon lezatnya dan krim jamur yang tadi memanjakan lidahnya. Dia tidak bisa berhenti menatap Hitomu.

“kenapa kau terus melihatku? Apa aku tampan? Apa aku membuatmu terpukau?” tanya Hitomu yang sadar kalau Yoriko terus melihatnya.

Yoriko langsung menggerutu dan tidak jadi menyampaikan kekagumannya pada Hitomu. Ternyata sikap narsis dan arogannya tidak berubah. “tidak, tidak apa-apa.” hanya itu jawaban Yoriko.

“kau belum menepati janjiku, kau harus menemaniku jalan-jalan keliling Tokyo.” Hitomu menagih janji yang diberikan Yoriko.

“memangnya kau ingin kemana?”

“hmm... biar kupikir sebentar...” Hitomu menaruh pisau dan garpunya di sisi piring dan berpikir. “kita ke Roppongi saja! kudengar disana ada banyak bar dan pusat perbelanjaan!”

“apa bar yang kau maksud itu klub yang ada wanita telanjangnya?” Yoriko sudah sangat bisa menebak pikiran Hitomu.

“eh? Darimana kau tahu itu?” Hitomu berpura-pura kaget dan memasang wajah polos.

“tentu saja. Hidungmu kembang kempis, pipimu memerah, dan aku bisa melihat matamu menerawang membayangkan kesenangan melihat para wanita itu menari erotis untukmu. Kalau kau ingin kesana, silakan. Tapi aku tidak mau ikut.”

“huh...” Hitomu mencibir dan penjelasan Yoriko barusan menyadarkan pria itu untuk berlatih menyembunyikan muka mesumnya lain kali. “memangnya kau ingin kemana?”

“aku penasaran, kira-kira di kota ini ada gereja atau tidak, ya? Aku ingin kesana.” Yoriko mendesah. “sudah lama aku tidak pergi ke gereja untuk misa dan berdoa...”

“nanti kita cari sama-sama saja.”

“kupikir kau ingin pergi ke bar.”

“tidak jadi. Lebih baik aku duduk di sampingmu di bangku gereja dan menemanimu berdoa. Lagipula Tokyo kan kota yang sangat ramai. Aku juga butuh ketenangan.” Hitomu memberikan alasannya.

“ya sudah. Setelah ini kita pergi mencari gereja, tapi tidak pergi ke bar-yang-ada-wanita-telanjangnya. Mengerti?”

“baik!” jawab Hitomu sigap sebelum dia kembali makan.

 ---

Menurut buku panduan wisata yang baru saja Yoriko beli dari toko buku seusai makan siang di Criston Cafe, ada satu katedral yang letaknya di Ikebukuro. Katedral St. Mary namanya. Yoriko sangat menyukai alat musik organ berukuran sangat besar yang biasa ada di gereja-gereja. Buku panduannya menunjukkan foto organ di katedral tersebut. Hal itulah yang membuat Yoriko bersemangat pergi kesana.

Dia turun dari kereta di stasiun Mejiro, lalu menaiki bis umum. Dia turun di depan katedral. Mulut Yoriko menganga kagum lalu tersenyum senang saat melihat kemegahan gedung katedral tersebut. Menurut buku panduan, struktur katedral ini terdiri dari delapan dinding melengkung yang hampir tegak lurus dan membentuk salib besar. Atapnya yang memiliki bahan stainless steel yang membuatnya berkilauan ketika terkena cahaya matahari menyimbolkan cahaya. Cahaya dari Yesus yang menyinari dunia dan hati manusia. Tanpa basa-basi, Yoriko langsung berlari masuk ke dalam melalui gerbang utama.

Suasana katedral itu sepi. Hanya ada beberapa orang pastur yang baru keluar dari katedral menyapa Yoriko dengan ramah. Dari wajah mereka yang segar karena selalu dekat pada Tuhan terlihatlah kekaguman mereka pada penampilan Yoriko. Mereka langsung tahu Yoriko adalah orang taat agama walaupun penampilan wanita itu terlihat seperti gadis-gadis yang biasa ada di Shibuya atau Roppongi.

Sekali lagi Yoriko melihat denah katedral di buku panduannya. Dia memutuskan untuk pergi ke altar katedral. Dan lagi-lagi dia terperangah. Altar katedral sangat luas, karpet merah menyambut Yoriko di pintu masuk, yang membimbingnya tepat di depan salib besar di ujung. Bangku-bangku panjang berjejer rapi di sisi-sisi altar. Yoriko langsung menjaga sikapnya dan mengambil tempat duduk 2 bangku dari depan.

Yoriko membentuk tanda salib di tubuhnya dengan tangan sebelum dia menyatukan kedua tangannya untuk berdoa. Dia menyampaikan rasa syukurnya pada Tuhan karena sudah memberinya sahabat baik bernama Aya Goto, seorang atasan yang sangat murah hati karena sudah memberinya pekerjaan bernama Avaron Yutaka, dan seluruh berkat yang dimilikinya saat ini.

Namun, di balik rasa syukurnya itu, ada satu pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan pada Tuhan. Pertanyaan tentang Shou Kohara. Kenapa Tuhan mempertemukannya pada pria yang sangat mirip dengan imajinasinya sendiri? Yoriko bertanya apakah Dia memberikan suatu tanda untuk Yoriko? Kalau seandainya Tuhan mengirimkan pria itu untuk kebaikannya, Yoriko memohon kemudahan untuk bisa dekat dengan pria itu, apapun caranya.

“kalau Dia benar-benar mengirimkan petunjuk untukmu, itu tugasmu untuk mencari tahu artinya, Yoriko...” Hitomu kembali muncul di sebelah Yoriko. Dia ikut duduk dan menatap salib besar di depan mereka.

“bukankah ini suatu kebetulan yang aneh? Bertemu seseorang yang nyaris sama dengan orang di mimpi dan di cerita? Terdengar agak mengerikan.” kata Yoriko.

“kenapa bertanya padaku? Kenapa tidak tanyakan saja pada Dia?” Hitomu menunjuk salib dengan dagunya.

“aku sudah menanyakan padaNya. Semoga Dia memberikan jawaban...” jawab Yoriko. “kau tahu tidak, saat kita kemarin melihat dan mendengarkan Avaron-san dan Shou Kohara berbicara, aku jadi teringat Spencer Williams dan Samantha Force. Mereka berdua mirip sekali ceritanya di novelku.”

“oh, jadi nama si wanita cantik itu Avaron, ya?” sekilas sebuah senyuman terlihat di wajah Hitomu sebelum dia melanjutkan, “mungkin saja mereka adalah salah satu dari kebetulan yang aneh itu.”

“dia sudah menikah, mempunyai anak, tetapi Shou Kohara masih saja mencintainya. Dia masih belum bisa merelakan Avaron-san. Aku bisa tahu itu dari cara dia menatap atasanku kemarin. Pandangan matanya pada Avaron-san, memancarkan sebuah kerinduan dan kesedihan yang amat sangat.”

“tapi bedanya, Samantha Force menikah karena dijodohkan. Sedangkan Avaron-san menikah dengan Kai-san karena mereka saling mencintai.” Yoriko menambahkan.

“mungkin bukan Shou yang dikirimkan Tuhan untukmu, tetapi kaulah yang dikirim olehNya untuk Shou.” Kata Hitomu. “Dia ingin kau menyelamatkan pria menyedihkan itu.”

“hah...” Yoriko tersenyum kecut sambil menggelengkan kepalanya pelan. “sama seperti pemikiran Judy Hunters saat menyadari kalau Spencer masih mencintai Sam...”

“bagaimana kalau semua ini memang sudah takdir? Bagaimana kalau kau dan Shou Kohara benar-benar jodoh dan belahan jiwamu?” Hitomu tidak berhenti meyakinkan Yoriko dengan teorinya.

“perkataanmu hampir sama seperti perkataan Aya kemarin pagi. Tapi Hitomu, itu tidak mungkin. Dia berhak menerima wanita yang lebih baik, dan aku yakin dia pasti bisa menemukannya. Dia kan terkenal dan sempurna. Tidak ada yang sulit baginya.” Yoriko menentang pendapat Hitomu.

“rasanya aku tidak perlu bilang kalau perkataanmu barusan lebih terdengar seperti sebuah penyangkalan daripada fakta.” Hitomu sedikit menyindir. “aku berani bertaruh, pasti tidak lama lagi kau akan mendapat kesempatan untuk bertemu dia lagi.”

“kenapa kau bisa seyakin itu, huh?” tantang Yoriko.

“disini gereja. Tidak ada yang tidak mungkin.” Hitomu mengangkat bahunya dan kembali melihat salib. Pria yang masih mengenakan pakaian sama saat di Criston Cafe itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah jalan menuju altar di sebelahnya. “aku jadi membayangkan dirimu mengenakan gaun pengantin putih lalu berjalan melalui gang altar ini, menemui pria yang akan menjadi suamimu.”

“haha... maksudmu, acara pernikahanku?” Yoriko tertawa sarkastik. “Hitomu, satu-satunya acara gereja yang menyangkut tentang diriku hanyalah acara dimana saat aku mengenakan gaun hitam favoritku, mengenakan riasan pucat, dan aku tertidur di altar. Di dalam peti mati.”

“kau pasti akan terlihat sangat cantik mengenakan gaun putih sepanjang 5 meter seperti di dunia dongeng, Aya Goto berperan sebagai pendamping pengantin wanitamu, dan anaknya Avaron sebagai pembawa cincin pernikahanmu.” Hitomu sama sekali tidak menghiraukan sarkasme Yoriko.

“memangnya Yukio-chan bisa membawa cincin? Dia kan masih balita.” Yoriko menjawab secara realistis.

“hahaha... sudah kubilang, disini gereja. Tidak ada yang tidak mungkin menurut Tuhan. Lagipula, kau kan yang penulis. Masa kau tidak bisa mengkhayal sedikit soal itu?”

Yoriko diam. Dia tidak pernah bisa memenangkan argumen melawan Hitomu. Temannya yang sejak kecil selalu menemaninya kemanapun ia pergi sudah tahu Yoriko luar dalam. Dia adalah semangat Yoriko, sahabat yang menghiburnya kalau Yoriko sedang bersedih, sahabat yang bersikap konyol seperti anak kecil kalau Yoriko sedang gembira atau kesal, dan juga seorang sahabat yang selalu memberinya keoptimisan, seperti sekarang.

“kita lihat saja nanti, apa aku menikah atau tidak. Karena...” Yoriko berdiri dari bangku kayu panjang tempat dia duduk. “hanya Tuhan yang tahu...”

Hitomu ikut berdiri. “kau ingin pergi kemana?”

“berkeliling katedral ini.” Yoriko mulai melangkahkan kakinya keluar dari katedral.

“hei, kau mau pergi ke The Grotto of Lourdes?” ajak Hitomu. “letaknya masih di sekitar katedral ini.”

“The Grotto of Lourdes? Dimana?” Yoriko berbalik, dia mengangkat alisnya.

“kau tidak memperhatikan saat masuk kesini tadi? Tempatnya persis di depan sana.” Hitomu menunjuk pintu katedral yang terbuka lebar. “kalau kau menginginkan ketenangan dan merenungkan petunjuk dari Tuhan, lebih baik kita kesana saja.”

 ---

Sekitar 150 tahun yang lalu, di Lourdes, sebuah desa kecil di Perancis, Perawan Maria mendatangi gadis muda bernama Bernadette, dan banyak keajaiban lain ikut muncul saat kemunculan Dia. Didedikasikan untuk sang Perawan Maria, gua yang sama ukurannya di Lourdes didirikan di daerah sekitar katedral St. Mary, yang sekarang dikunjungi oleh Yoriko.

Tempat itu sangat tenang, replika gua kecil itu diberi patung Bunda Maria dan dibatasi oleh pagar. Sekitar gua adalah pepohonan yang membuat suasana terasa sejuk, sehingga orang bisa betah berlama-lama disana. Di depan gua itu diberi bangku-bangku kayu berjejer seperti di dalam katedral. Yoriko duduk disana, memandang Bunda Maria dengan penuh rasa hormat. Sekujur tubuhnya bergetar, lemah karena membayangkan kelembutan hatiNya yang bisa dia rasakan hanya dengan menatap patungNya.

Angin musim semi yang lembut menerpa rambut hitam Yoriko yang terurai, seakan Dia membalas ‘sapaan’ dari Yoriko. Yoriko sudah sering mengunjungi Gua Lourdes seperti ini saat traveling ke Eropa, dan ketika dia sadar dia sudah lama tidak mengunjungi tempat suci ini, dia menjadi rindu akan tempat ini.

“memang, tempat ini tidak akan pernah membuat kita bosan walaupun sudah kita kunjungi berkali-kali...” kata seorang wanita yang tahu-tahu sudah duduk persis di samping Yoriko.

Yoriko menoleh. Wanita itu adalah seorang berambut merah, wajahnya putih bersih dan terpancar dari dalam dirinya, seakan wanita itu tidak memiliki sedikitpun dosa. Rambut merahnya melambai indah, memperlihatkan senyuman tercantik yang belum pernah Yoriko lihat sebelumnya. Dia memakai gaun putih bersih menutupi seluruh tubuhnya dari pundak sampai mata kakinya. Sepasang sandal putih tipis menjadi pelindung kakinya yang sempurna itu.

“kau sudah pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya?” tanya Yoriko, berusaha tidak menunjukkan rasa kekagumannya pada wanita itu.

“belum. Baru hari ini aku mendatangi tempat ini.” jawabnya. “dan aku langsung menyukainya.”

“aku juga.” Yoriko sependapat dengan si wanita. “ini hari kedua aku berada di Tokyo, setelah sekian lama aku meninggalkan kota ini.”

“bisa kulihat kau adalah orang yang suka sekali berpetualang.” Si wanita melihat Yoriko. Matanya berwarna hijau seperti zamrud, dari nanar mata indahnya itulah Yoriko tahu kalau wanita ini menyimpan banyak sekali rahasia.

“begitulah. Aku... mencari sesuatu, namun aku belum menemukannya dimanapun, bahkan setelah aku pergi ke ujung dunia sekalipun.” Jawab Yoriko.

“apa kau bepergian sendiri atau bersama orang lain?” tanya si wanita.

“sendiri. Tetapi sahabatku sejak aku masih kecil selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, padahal aku sudah menyuruhnya untuk tetap tinggal disini.” Yoriko membicarakan Hitomu. Sebuah tawa kecil mengiringi ceritanya karena teringat kekonyolan sang sahabat.

“mungkin jawaban dari sesuatu itu sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri?” sang wanita memberikan jawaban berupa teka-teki bagi Yoriko.

“maksudmu?” tanya Yoriko. “entah kenapa, sahabatku itu juga mengatakan hal yang hampir sama seperti yang kau katakan tadi.”

“kau sudah bepergian jauh sampai ke ujung dunia, tetapi kau malah kembali ke tempat kau bermula. Apa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri apa arti dari tindakanmu itu?” pertanyaan wanita itu membuat dirinya terhenyak.

“aku... kesini karena sahabatku yang memintaku, dia bernama Aya Goto.” Yoriko menjawab sesuai logikanya saat ini.

“itu hanya ‘cara’ takdir menentukan jalanmu. Bisa jadi kau akan menemukan hal lebih mengejutkan yang tidak akan pernah kau bayangkan.” Katanya.

Yoriko yang masih bingung akan penjelasan dari si wanita, ingin meminta penjelasan lebih jauh lagi. Namun sebelum dia bisa melakukannya, handphone miliknya berdering sangat kencang dari dalam tas ransel hitamnya yang ditaruh di bawahnya. Yoriko meminta izin pada wanita itu untuk mengambil handphonenya dan mengangkat telepon itu.

“ya? Ada apa, Avaron-san? Bisa saja... kapan? Malam ini? baiklah, aku akan segera kesana.” Kata Yoriko sebelum menutup kembali teleponnya.

“wah, maaf. Tadi baru saja atasan dari tempat kerjaku menelepon. Tadi kita sampai dimana?” kata Yoriko seraya memasukkan handphonenya lagi ke dalam tas. Begitu dia melihat ke sebelahnya, tempat dimana wanita itu tadi duduk, dia mendapat kekecewaan.

Karena sosok wanita itu sudah tidak ada.

 ---

“kenapa kau tidak ingin ikut minum-minum bersama kita malam ini, Shou?” tanya Tora, gitaris band Alice Nine yang sekaligus menjadi sahabat Shou selama bertahun-tahun.

“aku sedang tidak ingin ikut. Itu saja. aku lelah.” Jawab Shou enggan. Mereka dan 3 temannya dari band sama baru saja menyelesaikan rencana tur mereka yang ternyata cukup rumit karena penjadwalan, waktu, dan tempat yang harus benar-benar pas dan sesuai. Mereka jadi harus pulang malam karena rapat menyebalkan itu di kantor manajemen mereka.

“kalau tidak salah kemarin kau memesan kucing di petshop milik Avaron. Kapan kucing itu datang?” tanya Hiroto. Dia sedang membereskan barang-barang miliknya yang ada di sekitar ruang band mereka yang luas dan nyaman.

“kata Avaron, malam ini dia akan mengantarkannya. Makanya aku harus pulang.” Jawab Shou sambil melihat jam tangan Nikenya. Entah sudah berapa kali dia terus-menerus melihat waktu yang ditunjukkan jam tangan hitam itu sejak tadi siang.

“katanya kau tidak ingin mempunyai hewan peliharaan. Kenapa kau sekarang berubah pikiran?” tanya Tora. Mereka duduk berdua di atas sofa putih empuk yang diletakkan di tengah ruangan.

“tidak kenapa-kenapa. Hanya ingin saja.” jawab Shou pelan. Dia berdiri dan mengambil tas juga jaket miliknya yang ditaruh di atas meja depan mereka. Setelah berpamitan pada keempat temannya yang menatapnya heran dan bingung, dia meninggalkan ruangan.

Shou melangkahkan kakinya menuju tempat parkir kantor dimana dia memarkirkan mobilnya. Begitu dia membuka kunci mobil Toyota putihnya, dia masuk ke dalam terburu-buru. Dia membawa mobilnya dari kantor yang terletak di pusat kota yang sangat padat menuju apartemen elitnya di kawasan pinggir kota. Apartemen kelas atas itu dia beli setelah karir bandnya sukses besar, gedung apartemen putih itu berlantai 25 dimana Shou tinggal di lantai 20.

Setelah dia memarkirkan mobilnya lagi di tempat parkir basement apartemen, dia naik ke lantai 20 melalui lift di lobby apartemen. Sesampainya di lantai 20, dia berbelok ke kanan dari lift. Lorong panjang berjendela yang menampakkan pemandangan malam kota Tokyo disusuri oleh Shou. Dia berhenti di depan pintu bernomor 2011, pintu itu dia buka dengan kunci apartemen miliknya.

Kegelapan menyelimuti tempat tinggalnya saat dia membuka pintu. Dia memencet sakelar lampu yang letaknya ada di sebelah pintu. Cahaya kuning terang benderang langsung menyinari apartemen luasnya.

Apartemen Shou tidak memiliki banyak perabotan, mengingat dia malas menaruh apapun dan dia juga jarang berada di rumah. Ruang tamu sekaligus ruang TV hanya memiliki sofa dan meja, TV LED, seperangkat home theater, dan rak DVD. Menonton film hanyalah satu-satunya kegiatan Shou untuk menghibur diri saat dia sedang berada di rumah.

Shou melemparkan jaket kulitnya sekenanya ke arah sofa. Tas sudah ditaruh di kamarnya. Dia pergi ke dapur. Dapur berfasilitas mewah itu nyaris tidak pernah dia manfaatkan. Shou tidak ingat kapan terakhir kali dia menggunakan penghisap asap yang ada di atas kompor listriknya untuk memasak, atau kapan dia berbelanja bahan makanan di supermarket seperti layaknya orang normal. Dia hanya ingat saat dia pergi ke minimarket di lantai dasar apartemen ini, membeli banyak sekali makanan microwave. Makanan instan yang sekarang dia ambil itu berada di antara soda, air mineral, es krim, dan kue. Shou membuka kemasan makanan microwave itu sebelum dia memasukkannya ke dalam microwave.

Sembari menunggu microwave berdenting, Shou pergi ke ruang TV. Mengacak-acak rak DVDnya, mencari DVD baru yang kemarin lusa dibeli. Dia memutuskan menonton film action barat yang baru keluar tahun ini. Saat dia ingin memasukkan DVD itu ke dalam player, dia mendengar bel pintu berbunyi. Shou melihat jam tangannya lagi. Pukul 10 malam, cukup larut juga untuk seseorang datang ke rumahnya. Atau mungkin saja itu kiriman dari petshop Avaron.

Shou berjalan cepat ke arah pintu untuk membukanya. Dan saat ia membukanya, dia sedikit kaget saat melihat siapa yang berdiri di depan pintunya.

Seorang wanita berpenampilan gothic. Dilihat dari kerah putih yang menyembul di balik jaket bertudung abu-abunya, wanita itu pasti mengenakan kemeja. Dia juga mengenakan rok pendek berlipit selutut seperti rok seragam sekolah, dan sepatu boot gothic sol tebal berkaos kaki hitam semakin membuat wanita itu terlihat nyentrik. Dia membawa tas ransel di punggung dan sebuah carry bag di tangan. Dan rasanya, Shou pernah melihat wanita ini di suatu tempat. Dia berpikir sangat cepat... oh ya, saat pesta ulang tahun Yukio di rumah Avaron dan Kai. Tapi dia lupa namanya.

“ng... ini benar apartemen milik Shou Kohara?” wanita berambut hitam legam lurus itu mengeluarkan secarik kertas kecil bertuliskan alamat apartemen Shou dari saku jaketnya.

“ya... kau siapa?” Shou mengerutkan dahinya, masih merasa kaget karena wanita yang ternyata bersuara lembut dan sedikit seperti anak kecil, tidak dibuat-buat. Sangat berlawanan dengan dandanannya yang serba hitam dan sedikit menyeramkan itu.

“aku Yoriko Ishihara. aku diminta oleh Avaron-san, atasanku, untuk membawa dia.” Dia menyerahkan carry bag hitam yang dia bawa kepada Shou.

“ini kucing yang kupesan?” tanya Shou. Yoriko mengangguk.

“kucing persia berbulu putih sesuai pesananmu, Shou-san. Dan ini karung makanannya.” Yoriko menunjuk karung makanan yang baru Shou sadari ada di sebelah wanita itu. “mereknya Whiskas, sesuai pesananmu juga.”

“ah, ya... bawa masuk saja ke dalam.” Kata Shou. Tanpa bertanya, Yoriko langsung mengangkat karung besar dan berat itu sendirian, dia benar-benar bisa mengangkatnya. Wajah Yoriko menjadi tidak terlihat saat wanita itu membawanya masuk ke dalam.

Shou menyuruhnya membawa karung itu ke sebelah sofa di ruang TV. Setelah Yoriko menaruhnya, dia baru sadar kalau dia belum melepaskan sepatunya saat masuk ke dalam ruangan.

Melihat wajah tidak enak Yoriko karena itu, Shou berkata, “tidak apa. Terkadang aku juga tidak melepaskan sepatuku.”

“oh...” Yoriko masih tetap canggung. “ng... kata Avaron-san, kau harus membawa kucingnya ke dokter Inoue untuk diperiksa dan diberi vaksin secara berkala. Lalu...” Yoriko mengeluarkan secarik kertas surat penting yang harus ditandatangani Shou dari dalam tas ranselnya. “tolong tanda tangan disini.”

Shou duduk di sofa agar dia bisa menandatangi surat penerimaan itu di atas meja, namun dia tidak mempunyai pulpen, dan dia juga lupa kapan terakhir dia menaruh alat tulis itu di apartemennya sendiri.

Melihat Shou yang kebingungan mencari pulpen, Yoriko memberikan pulpen miliknya. Pulpen hitam yang ujungnya mempunyai boneka tengkorak. “ini. aku bawa pulpen.”

Sejenak Shou melihat pulpen aneh itu sebelum mengambilnya dari tangan Yoriko. Dia harus menekan tengkorak itu agar ujung penanya keluar. Pulpen yang lucu.

“kau sudah... memberikan nama untuk kucingmu?” Yoriko melihat carry bag di dekat kaki Shou.

“belum. Aku belum memikirkan nama yang bagus.” Jawab Shou datar dan dingin. Biasanya, orang lain akan merasa tidak suka atau tersinggung kalau Shou menjawab dengan nada itu, namun Yoriko tidak. Dia hanya diam saja dan sama sekali tidak merasa terganggu oleh itu.

“kurasa lebih baik kau mengeluarkannya. Saat dalam perjalanan kemari dia tidak berhenti memintaku membukakan pintu untuknya.” Yoriko membuka pintu carry bag. Lalu keluarlah kucing berukuran sedang berbulu putih tebal nan halus. Kucing itu menatap Yoriko dengan mata birunya sebelum mengeong pelan, sebagai tanda terima kasih karena sudah mengizinkannya keluar dari carry bag yang sempit.

“aih, kucing lucu. Kau beruntung sekali bisa memilikinya.” Yoriko berlutut ke lantai dan menangkap si kucing yang melompat ke arahnya. Shou tertegun melihat betapa cepat kucing itu bisa akrab dengan Yoriko, padahal Shou-lah majikannya.

“masa kau tidak bisa memikirkan nama untuknya? Dia kan imut sekali.” Kata Yoriko.

“memangnya kau ada saran untuk nama yang cocok?” tanya Shou sedikit kesal karena Yoriko mendesaknya.

“kenapa aku? Kau kan majikannya. Kurasa tidak akan berkesan kalau orang lain yang memberinya nama.”

“sudah, sebutkan saja.” sekarang giliran Shou yang mendesak.

“sejak di jalan tadi, aku terus memikirkan nama Chirori. Dia terus menatapku dari dalam carry bag, tapi ketika aku menatapnya balik, dia malah memalingkan wajahnya.” Yoriko memberikan sebuah nama. Dia menurunkan si kucing dan menyuruhnya menghampiri Shou. “tapi jangan terlalu dipikirkan. Itu nama yang bodoh.”

Shou diam saja. Lucu juga wanita ini ternyata. Dia lalu merasakan si ‘Chirori’ mencakar pelan celana jeansnya, meminta perhatian. Dia mengangkat ‘Chirori’ ke pangkuannya.

“oh ya, Avaron-san menitipkan salam untukmu.” Yoriko teringat sesuatu. “kurasa dia sedang mengkhawatirkanmu. Kalian... tidak ada masalah, kan?”

Shou masih diam, memandang Yoriko dengan tatapan datar.

Yoriko akhirnya menyadari sesuatu lewat tatapan mata itu. Ya, itu bukan urusannya. Dan dia bisa dibilang lancang untuk bertanya seperti tadi. Dia langsung menggigit lidahnya dan meminta maaf, “maaf, itu bukan urusanku.”

Shou jadi ingin tertawa saat melihat Yoriko menggigit lidahnya tadi.  Tetapi karena dia sudah terbiasa bersikap dingin dan jahat di depan orang banyak, dia bisa menahan tawanya dengan hanya memasang wajah dingin itu lagi.

Karena suasana semakin terasa canggung, Yoriko berdiri. “dan satu lagi, kurasa kau tidak perlu memberinya makan lagi malam ini. Dia sudah kuberi ikan salmon yang kubeli di toko ikan saat perjalanan kemari. Maaf kalau aku lancang lagi karena sudah memberi makan dia tanpa izin, tapi aku tidak tahan melihat wajah memelas Chirori saat memandangi ikan itu di etalase.”

Shou terkejut. “kau memberinya makan ikan salmon?” baru kali ini dia melihat ada orang yang mau menghabiskan uangnya untuk memberi makan seekor kucing dengan ikan salmon, padahal dia saja masih berpikir dua kali untuk membeli ikan seperti itu karena bahan makanan di Jepang mahal semua.

“maaf!” spontan Yoriko membungkukkan badannya berkali-kali karena terkejut melihat reaksi Shou. “kalau dia sakit karena itu, beritahu saja aku. Aku akan membayar biaya pengobatannya.”

“ya, ya...” jawab Shou enggan. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa untuk wanita unik di depannya ini. Keunikan dan kejutan-kejutan yang dibawa Yoriko malam ini yang membuatnya lupa akan kelelahannya yang dia katakan pada teman-temannya, juga membuatnya tidak ingat kalau hari ini sangat menyebalkan.

Sedangkan Yoriko hanya terus menatapnya, mencari tahu apakah Shou marah padanya atau tidak. Dan keheningan di antara mereka berdua berlangsung selama beberapa detik sebelum mereka mendengar bunyi ‘ting’ dari dapur.

“oh, maaf... makananku sudah matang. Jadi...” Shou mengatakannya dengan nada berantakan.

“ya, aku tahu.” Yoriko perlahan mundur, tahu dia harus pergi kemana. “maaf sudah menyusahkanmu dengan datang malam-malam seperti ini. Selamat malam, jangan lupa berdoa dulu sebelum makan.” Pesan Yoriko sebelum dia pergi keluar dari apartemen.

Kepergiannya membuat suasana kembali sunyi seperti setiap harinya Shou rasakan. Kecuali suara mengeong dari Chirori untuknya. Pandangan dari mata birunya seakan menanyakan Shou kemana perginya Yoriko.

“dia bukan majikanmu, tahu. Dia sudah pergi, dan aku majikanmu disini.” Kata Shou galak. Chirori langsung tertunduk dan berlari ke sudut ruangan, ke arah kasur kucing yang sudah disediakan oleh Shou kemarin.