Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Tuesday, December 20, 2011

The Delusion (2)

2

Baru hari pertama masuk kerja, tim Spencer sudah berkumpul di dalam sebuah ruangan rapat untuk membicarakan sebuah kasus. Tentunya, Judy juga hadir disana. dia sedikit canggung dengan penampilannya yang paling mencolok diantara 3 orang lainnya.

Judy merasa beruntung ketika teman-teman barunya itu menyapanya, dan yang paling dekat dengannya adalah Hailey South. Wanita yang satu tim dan seusia dengannya juga. Hailey menyadari kalau Judy sedang kesal pada Spencer yang tadi mengejeknya. Hailey bisa melihat mereka berdua tadi melalui meja kerjanya yang letaknya di depan meja Spencer dan Judy.

“Spencer memang menyebalkan.” Hailey setuju saat Judy bercerita tentang Spencer. “tapi dia cukup tampan disini dan beberapa wanita menyukainya. Apa kau berpikiran sama?”

Judy memperhatikan Spencer yang sedang menunggu sisa teman-temannya untuk masuk ke dalam ruangan. Sesekali menyapa beberapa petugas yang lewat di depan ruangan dan memberi mereka sebuah lelucon yang hanya mereka sendiri yang mengerti.

“tidak. menurutku tidak.” jawab Judy tegas.

“kalau perhatikan lagi dengan seksama, kau pasti akan berubah pikiran.” Hailey tersenyum jahil.

“kalau kalian masih ingin terus bergosip, di lantai bawah ada kafe. Lebih baik kalian kesana saja daripada mengganggu rapat ini.” Spencer tahu-tahu sudah duduk di meja untuk memulai rapat. Judy dan Hailey juga sadar kalau ternyata sudah ada 2 orang lagi duduk di meja bundar mereka.

‘’baiklah...’’ Judy dan Hailey pun diam.

“kasus kita buka. Di kota kita yang kecil dan tercinta ini terjadi sebuah kasus pembunuhan yang agak aneh. Seorang pria membunuh istrinya sendiri” Spencer membuka kasus. Dia memunculkan sebuah foto korban pembunuhan yang merupakan seorang wanita ditusuk dengan pisau di dadanya berkali-kali di atas tempat tidur kamar rumahnya sendiri.

“dan yang menarik adalah…” Spencer sengaja membuat teman-teman satu timnya penasaran. “adanya video ini. Anggap saja ini sebagai bonus spesial untuk kasus ini. Video ini didapat dari TKP.” Spencer terkekeh nakal. Dia pun memutar video yang dia maksud. Muncullah sebuah adegan nyata yang direkam oleh seorang pria yang sedang bercinta bersama korban di kamar yang menjadi TKP. Keadaan kamar sangat gelap dan hanya cahaya lampu luar yang tembus dari jendela kamar menerangi ruangan. Mereka melakukannya selama beberapa lama. Setelah mereka selesai, si pria mengambil sebuah pisau dari nightstand dan dengan sadis menusuk si korban.

“apa si pelaku melarikan diri?” tanya Hailey.

“ya. Belum diketahui motif pembunuhan ini karena mereka adalah pasangan yang sangat tertutup, mereka tidak mempunyai anggota keluarga lain. Mereka juga tidak punya anak. Mark, periksa dan teliti lagi video ini, siapa tahu kita akan menemukan petunjuk.” Perintah Spencer pada pria yang duduk di ujung meja.

“siap!” kata Mark sambil terus mengunyah croissant yang dia bawa.

“Hailey, aku ingin kau mewawancarai saksi yang menemukan mayat yang nanti akan datang kesini.” Perintah Spencer lagi. “Sean dan Anna, ikut aku ke TKP.” Spencer menunjuk 2 orang sisanya. “apa kalian sudah mengerti?”

Tidak ada jawaban. Itu berarti mereka siap untuk berangkat. Dengan cepat mereka semua berdiri dan menjalankan tugas masing-masing. Kecuali Judy.

“Spencer!” seru Judy pada pria berambut cokelat itu.

“apa?” Spencer yang ingin keluar dari ruangan berbalik.

“kau sama sekali tidak memberiku tugas.
Apa maksudnya?” Judy protes.

“kau masih baru. Memangnya kau bisa menanganinya?” Spencer meremehkan Judy.

Judy langsung tersinggung. ‘’maksudmu aku tidak mampu mengerjakan ini!?’’

“ya. Bayangkan saja seorang profiler dari New York sepertimu bisa dibuang ke kota kecil seperti ini. Pasti kau ada apa-apa disana, bukan?” Spencer berkata dengan sinis.

Judy menatap tajam pria yang sangat menyebalkan dan ingin dia bunuh ini. Dia tidak ingin menjawab perkataan Spencer barusan karena hanya akan memperkeruh suasana.

“baiklah. begini saja…” Spencer melunak. “analisis saja file kasus ini. Kalau kau bisa memberitahu apa yang tidak kami tahu saat kami kembali, kau boleh terjun ke lapangan.”

“apa kau sedang bertengkar dengan pacarmu atau istrimu?” Judy tiba-tiba bertanya.

‘’bukan urusanmu.’’ Spencer mendengus.

“haha… sudahlah, mengaku saja. baju berantakan dan tampaknya sudah tidak dicuci selama 2-3 hari itu, sikap yang kekanak-kanakan di depan wanita, dan jawabanmu dari pertanyaanku barusan membuatnya semakin jelas.” Sekarang giliran Judy yang sinis.

“kau menantangku, Hunters?” Spencer berdiri dekat sekali di depan Judy sehingga ia bisa memberikan tatapan menusuk pada wanita berambut merah itu.

“tidak juga. Hanya memberikan saran. Kalau kau menusuk seseorang yang akan menjadi orang yang kau butuhkan, jangan menusuknya terlalu dalam sampai ke tulang. Karena pasti akan sangat sakit ketika ia berusaha mencabut pisaunya. Dan ketika dia sudah bisa mencabut pisaunya, kau akan takut dan bertanya-tanya pada dirimu sendiri apakah dia akan mengembalikan pisaunya dengan baik-baik, atau membalas dendam dengan menusukkannya lagi padamu? Apakah tusukannya akan jauh lebih dalam mengenai tulang atau tidak?” Judy memperingatkan Spencer.


Setelah panggilan yang ketiga kalinya dari Aya, Avaron, dan Kai, Yoriko baru kembali ke bumi dari dunia imajinasinya. Sulit baginya untuk tidak membayangkan lagi adegan novel yang dia buat sendiri. Adegan saat Judy memperingatkan Spencer untuk tidak meremehkannya, Spencer yang tampan juga dingin itu akhirnya diam karena ‘tusukan’ dari Judy.

Tampan dan dingin… seperti orang ini…

Setelah semuanya datang, Avaron mengajak mereka berkumpul di ruang makan. Cake ulang tahun, jamuan makan malam, wine dan susu (khusus untuk Yukio) sudah disiapkan. Aya merasa tergiur ketika melihat cake tiramisu berbentuk bulat dan kecil dihiasi oleh lilin yang terukir angka 2. Di depan cake ditaruh kursi bayi sebagai tempat Yukio duduk.

Semua duduk dengan rapi satu-persatu. Yoriko tahu kalau Shou Kohara-lah orang yang duduk paling akhir. Mereka duduk berseberangan di meja makan. Yoriko hanya bisa menatap pria itu tanpa diketahui olehnya. Kalau Shou melihat ke arahnya, dia akan menghindar untuk bertatapan mata dengannya.

Shou mengenakan kaus putih bergambar abstrak yang Yoriko tahu itu adalah logo bandnya, dengan celana jeans, ditambah sebuah kalung perak imitasi berliontin bintang yang sangat manis. Inilah gaya Spencer yang digambarkan Yoriko kalau polisi keras kepala itu sedang bebas tugas. Tapi tidak banyak yang pernah melihatnya.

“terima kasih sudah datang kemari. Khususnya untukmu, Shou. aku tahu Kai pasti merasa kesulitan untuk menarikmu keluar dari studio…” Avaron berdiri di samping kursi bayi dan menatap Shou dengan tatapan menyindir. Shou hanya diam saja, memberikan sebuah senyuman tipis pada Avaron.

Oh Tuhan, senyuman itu… Yoriko bersyukur dia sedang duduk saat ini sehingga dia tidak merasa gemetar ketika melihat senyuman yang benar-benar mirip dengan imajinasi Yoriko.

“kau sudah berkenalan dengan Yoriko Ishihara? Dia teman Aya.” Avaron menunjuk Yoriko menyuruhnya untuk berkenalan dengan Shou.

Shou berdiri dan mengulurkan tangannya untuk Yoriko, mengajak wanita yang sekarang bersikap canggung itu berkenalan lagi. Butuh waktu beberapa detik untuk Yoriko membalas jabatan tangan itu tanpa merasakan gemetar itu lagi.

“Yo… Yoriko…” dia tersenyum gugup.

“Shou.” dia berkata dengan dingin tanpa memberikan senyuman sedikit pun. Yoriko sama sekali tidak merasa heran atau tersinggung karena diperlakukan seperti itu. Memang seperti itu sikap Spencer… eh bukan, Shou...

Mereka berdua duduk kembali dan Avaron mulai membuka acara. “Sebelum kita meniup lilin kuenya, bagaimana kalau kita saling menanyakan kabar?” yang Avaron maksud bukanlah bertanya pada Aya dan Kai bagaimana kabar mereka. Tentu saja, dia kan sudah bertemu dengan 2 orang itu setiap hari di rumah dan di tempat kerja. Tapi demi orang yang sudah lama tidak bertemu dengannya dan orang yang baru pertama kali ia temui, dia melakukannya.

Dan Yoriko mengetahuinya juga.

Tidak ada yang merespon ajakan Avaron kecuali Kai yang tersenyum lebar untuk istrinya dan Yukio yang terlihat sangat tidak sabar ingin menyentuh cake ulang tahun yang ada di depannya. Tampaknya tidak hanya Yoriko saja yang sadar.

‘’oke… aku duluan saja yang mulai. Aku dan Aya kemarin baru saja menerima anjing baru di petshop. Dia jenis Akita jantan. Tapi kami bingung ingin memberinya nama apa. ada ide?’’ tanya Avaron.

Suasana masih hening beberapa lama sebelum Kai angkat bicara, “bagaimana kalau Hachiko? Aku baru saja menonton filmnya.”

“boleh…” Avaron terlihat sedang mempertimbangkan usulan dari suaminya. “bagaimana dengan yang lain? Bagaimana denganmu, Shou?”

“entahlah… aku tidak ada ide…” Shou mengangkat bahunya.

“kalau kau Yoriko?” Avaron melihat ke gadis bergaya gothic rebel itu.

“entahlah…” Yoriko tidak yakin apa nama ini akan mereka sukai atau malah mereka tertawakan. “Alen?” itulah nama yang terlintas di pikirannya.

“Alen? Lucu sekali…” komentar Aya yang duduk di sebelahnya. “aku suka itu…”

“aku baru mendengar ada nama seperti itu. Boleh juga…’’ timpal Kai.

‘’bagaimana menurutmu, Shou?’’ Avaron bertanya pada Shou. Shou hanya memberikan isyarat dengan bahasa tubuh kalau dia setuju-setuju saja.

“baik. Akan kubuat ikat leher untuknya dengan ukiran nama ‘Alen’!” Avaron memutuskan. “oke. Giliranku selesai. Sekarang, giliranmu, sayang…” Avaron menepuk pundak Kai pelan.

“aku tetap sibuk seperti biasa, dan tadi Ruki dan yang lain memberiku ini untuk hadiah Yukio…” Kai mengeluarkan sebuah kotak kado berukuran sangat besar dari bawah meja. “selamat ulang tahun sayang…” Kai berdiri untuk mencium putranya yang air liurnya menetes karena pandangan matanya masih tidak bisa lepas dari tiramisu cake.

“terima… kasih…” tanpa diperintah Yukio mengucapkan kata itu untuk ayahnya dengan perlahan.

“aaw… anak yang baik…” Aya jadi terkesan.

“kalau hadiah dari ayah, sudah menanti di kamarmu. Nanti kita buka, ya.’’ Kata Kai lagi pada Yukio. Yukio mengangguk dengan semangat sebagai jawaban ya.

“lalu, Shou. ceritakan bagaimana kabarmu. Rasanya sudah lama sekali kau tidak ikut berkumpul bersama kami dan bercerita seperti ini.” Avaron meminta Shou untuk bicara.

“ngg… aku…” Shou tampaknya sangat enggan untuk bercerita. Ia hanya menggaruk kepalanya walaupun tidak terasa gatal, ekspresi wajahnya terlihat seperti kalau dia ingin sekali pergi dari sini, dan hanya Yoriko yang bisa melihat ini, Shou terlihat lelah. Dan dari tatapan mata Shou, Yoriko tahu pria itu terlihat tidak menyukai sesuatu. Entah apa itu.

“aku hanya di studio, membuat lagu baru… rekaman… tur…” arah cerita Shou benar-benar tidak jelas.

“kau tahu, Shou yang dulu pasti menceritakannya dengan semangat dan bangga, dibumbui lelucon yang mampu kami tertawa. tapi sekarang kau malah…” Aya berdesis, tidak tahu harus berkata apa lagi saat melihat Shou seperti ini.

“sudahlah. kita lupakan saja soal aku. Bagaimana kalau dia saja yang bercerita?” Shou menunjuk Yoriko dengan kepalanya.

“ya, ya… daripada kita mendengarkan cerita yang membosankan, lebih baik kita dengarkan saja cerita dari Yoriko. Kalian semua pasti belum tahu tentang dia, kan? Ayo, Yoriko. Cerita.” Dengan semangat Aya meminta.

Yoriko melakukan ini hanya demi Aya. “aku baru saja kembali dari Indonesia tadi pagi. Aku sudah pergi ke beberapa negara lain selama hampir 10 tahun.’’

‘’apa? Indonesia? Apa kau pergi ke Bali?’’ Avaron langsung tertarik.

‘’tidak… aku tidak pergi kesana…’’

“wah… berarti kau rugi.” Kai menimpali. ‘’disana pemandangannya indah sekali.’’

‘’aku tahu. Aku pernah membaca buku tentang pulau itu.’’ Jawab Yoriko singkat.

‘’dia mempunyai alasan sendiri kenapa dia tidak pergi kesana, Avaron-san…’’ Aya berkata dengan pelan.

‘’oh… kalau boleh tahu, kenapa?’’ tanya Avaron.

Aya melihat ke arah Yoriko untuk mencari tahu apakah Yoriko ingin menjawabnya atau tidak. Tapi Yoriko menjawab dengan berkata, ‘’seseorang yang kukenal disana berkata padaku, tidak akan senang rasanya kalau pergi ke Bali sendirian. Katanya lebih baik aku kesana bersama dengan seorang yang aku…’’ entah kenapa secara refleks Yoriko melihat ke arah Shou. Padahal dia sama sekali tidak berharap dia akan pergi kesana dengannya. Tentu saja, dia kan baru bertemu pria itu 1 jam yang lalu. ‘’sayangi atau seseorang yang istimewa…’’

‘’kata kenalanmu ada benarnya. Tidak lengkap rasanya pergi ke pulau yang terindah di dunia tanpa dengan orang yang kau cintai…’’ Kai setuju.

‘’jadi aku mengambil kesimpulan lebih baik simpan yang terbaik di bagian terakhir. Aku memang ingin kesana, tapi tidak, tidak dengan…” ingin sekali Yoriko berkata ‘dengan pikiran yang delusional’ agar dia tidak pergi kesana dengan seseorang spesial dari dunia khayalannya sendiri. Atau menurut bahasa Dunia Nyata, sendirian.

“apa?” Avaron menantikan kelanjutannya.

“tidak dengan seorang yang istimewa. Seperti yang kukatakan sebelumnya.” Yoriko berbohong.

“apa keluargamu tidak merindukanmu karena kau bepergian jauh selama itu?” tanya Kai.

Yoriko tidak bisa menjawab. Tidak di depan keluarga yang bahagia seperti ini. Dia bisa merusak segalanya. Jadi dia hanya diam dan menundukkan kepalanya.

“Kai-san…” Aya menatap Kai dengan tajam. Ekspresinya terlihat marah.

“kenapa?” Kai tidak mengerti.

“sudahlah, Aya… tidak apa-apa…” Yoriko menaruh tangannya di pundak Aya agar sahabatnya merasa tenang. “akan kujawab.”

“aku…” Yoriko menghela nafasnya dengan berat. “yatim piatu. Aku besar di panti asuhan dari aku masih bayi. Sebenarnya tidak yatim piatu, atau lebih tepatnya aku tidak tahu. Karena aku… tidak pernah bertemu orang tuaku. Mereka membuangku di depan panti asuhan saat usiaku masih 10 bulan…’’

‘’oh… Yoriko…’’ Avaron merasa iba. “maaf…” Avaron langsung menjitak kepala Kai agar Kai juga ikut meminta maaf.

Setelah mendengar permintaan maaf dari suami istri itu, Yoriko hanya tersenyum, berusaha kuat dan terlihat baik-baik saja.

“aku tumbuh, besar, juga dididik di panti asuhan. Sampai aku remaja, tidak ada yang mau mengadopsiku. Jadi begitu aku keluar dari panti asuhan karena sudah cukup umur, aku memutuskan untuk pergi dari Jepang. Berusaha melupakan semua rasa sakit dan dendam pada orang tuaku.” Yoriko kembali melihat Aya yang menatapnya dengan tatapan prihatin. “tapi aku sekarang baik-baik saja. aku sudah bisa berdiri sendiri. Ditambah dengan kehadiran Aya yang berkenalan denganku di internet, aku sudah lebih dari ‘baik-baik’ saja…” Yoriko tersenyum sebagai tanda terima kasih.

“jadi kau Yoriko Izanami yang sering Aya ceritakan?” Avaron baru sadar. “aku sudah pernah membaca beberapa cerpenmu di internet. Kau benar-benar berbakat, Yoriko. Kenapa kau tidak menerbitkan karyamu?”

“Yoriko sedang menulis sebuah novel bergenre criminal. Dan rencananya kalau sudah jadi, dia akan menerbitkannya disini.” Aya bercerita dengan bangga.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Avaron karena pujiannya, Yoriko menjawab, “ya. Semoga saja akan jadi dalam waktu cepat…”

“untuk merealisasikannya, tentunya Yoriko membutuhkan uang untuk menerbitkannya, kan? Nah, Avaron-san, apakah Yoriko bisa bekerja di petshop?” Aya menepati janjinya pada Yoriko.

“kalau kau bisa mengurus hewan dan tidak takut dengan kotoran mereka, tidak masalah.” Avaron terlihat tidak keberatan.

“ya… aku pernah menjadi babysitter untuk anjing di Perancis. Aku menjaga mereka kalau majikan mereka sedang pergi keluar kota. Jadi, kurasa, aku bisa…” kata Yoriko.

“bagus. Jadi kapan kau bisa mulai? Aku ingin secepatnya, karena aku kekurangan pegawai dan aku tidak bisa pulang terlalu malam lagi.” Tanya Avaron.

‘’besok aku bisa.’’ Yoriko ingin memulai pekerjaannya cepat-cepat agar dia tidak bosan dan tidak terlalu lama merepotkan Aya.

‘’oke. Kau masuk shift pagi sampai sore dan kita akan bahas gajimu besok di petshop. Setuju?”

Yoriko menganggukan kepalanya. Mereka sudah sepakat.

“okaachan…” Yukio merengek-rengek pada Avaron dengan menarik-narik baju ibunya. “aku mau kuenya…”

“oh… maaf, sayang!” Avaron langsung teringat Yukio. “ayo kita tiup lilinnya! Sebentar, aku ambil pematik api dulu…” Avaron berjalan menuju meja counter di sudut ruang makan untuk mengambil pematik api di lacinya. Begitu ia mendapatkannya, dia menyalakan lilin dengan hati-hati. Ia langsung mengembalikan pematiknya ke tempat semula agar Yukio tidak memainkannya di atas meja.

Sedangkan Kai baru saja kembali dari kamarnya dan Avaron sebentar untuk mengambil gitar yang sekarang ia bawa.

“kita akan menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan iringan gitar ini.” Kata Kai tersenyum lebar, memamerkan gitarnya.

“aku baru tahu kalau kau bisa memainkan gitar, Kai-san.” kata Aya.

“yah… 10 tahun bersama 2 gitaris yang selalu dekat denganku aku jadi bisa memainkannya.” Kai terkekeh.

“tapi, tunggu. Rasanya kurang ramai kalau hanya dengan gitar. Yoriko bisa memainkan tin whistle.” Aya mencolek lengan Yoriko.

“tin whistle? Apa itu?” Avaron dan Kai bertanya dalam waktu yang hampir bersamaan.

“ayo, tunjukkan.” Perintah Aya. Yoriko mengambil tasnya yang ia taruh di bawah kursi dan mengambil tin whistle yang dia perlihatkan tadi ke Aya.

“aku baru tahu kalau ada alat musik seperti ini. Darimana kau mendapatkannya?’’ Kai memperhatikan setiap detail alat musik berwarna hitam itu dari tempat duduknya. Yoriko pun menceritakan bagaimana ia bisa mendapatkannya. Dan seberapa terkenalnya alat musik itu di negara asalnya. Dia juga menceritakan alasan kenapa ia membeli alat musik ini.

“cara memainkannya hampir sama seperti gitar. Ada kunci G, A, B, F, E, D, sampai C# dan D tinggi.” Dari penjelasan Yoriko, Kai kemudian tahu persamaan dan perbedaan antara tin whistle dan gitar.

“coba kau mainkan bersama dengan gitarku.” Ajak Kai. Yoriko mengangguk.

“anggap saja ini hadiah dariku untuk Yukio. Karena aku… tidak membawa kado. Maaf…” Yoriko merasa tidak enak.

“tidak apa. Kehadiranmu di acara ini sudah menjadi hadiah untuknya. Kalau Yukio sudah lebih besar dari dia yang sekarang, dia pasti ingin mendengarkan ceritamu.” Kata Avaron seraya membelai rambut Yukio.

Yoriko hanya tersenyum sekilas karena Kai sudah memberikan aba-aba untuk mulai. Pria berwajah manis itu sudah siap dengan posisinya begitu juga dengan Yoriko. Saat suara petikan gitar dan alunan tin whistle terdengar di seluruh ruangan, Avaron dan Aya menyanyikan lagu selamat ulang tahun sesuai dengan iringan lagu. Hanya Shou yang diam dan menambah suara musik dengan tepukan tangannya.

Setelah lagu selesai, Yukio meniup lilin sekuat yang dia bisa. Seiring dengan padamnya lilin, semua orang bertepuk tangan dengan meriah. Yukio jadi ikut bertepuk tangan dengan tangan mungilnya.

“sekarang saatnya memotong kue. Ada yang mau?” tawar Avaron. Dalam sekejap, Kai dan Aya mengangkat tangan mereka sebagai tanda mereka mau seperti anak kecil. Avaron mengambil pisau untuk memotong kue di sebelah cake dan memotongnya sama besar. Walaupun Yoriko dan Shou tidak mengangkat tangan, Avaron tetap memotong untuk bagian mereka. Dengan beberapa piring kertas kecil dan garpu yang sudah disiapkan, dia memberikan potongan kue itu satu persatu ke mereka. Termasuk untuk Yukio. Yukio dinasehati oleh Avaron agar sebelum tidur ia menyikat giginya terlebih dulu. Yukio hanya mengangguk karena dia terlalu asyik dengan kue yang dia makan.

Lagi-lagi tanpa sengaja Yoriko menangkap pemandangan itu. Seorang ibu menasehati anaknya. Yoriko hanya bisa menghela nafas. Orang yang pernah menasehatinya seperti itu hanyalah orang-orang dari panti asuhan, bukan ibu kandungnya.

Lucu sekali dia sudah pernah pergi jauh-jauh keliling dunia hanya untuk mencari makna kehidupan tapi dia malah menemukannya di tanah airnya sendiri, di acara yang sederhana ini, dan dari orang yang baru ia kenal malam ini.

Yoriko memakan cake porsinya dalam diam. Walaupun dia merasakan kenikmatan dari setiap potongan kuenya, dia tetap merasakan sebuah kehambaran.

Karena ia sendirian, di tengah-tengah orang-orang yang sedang bersuka cita untuk suatu hal yang tidak akan pernah ia dapatkan di dalam hidupnya…


Pesta terus berlangsung sampai jam 10 malam, acara benar-benar selesai ketika Yukio sudah menangis dan rewel saat diajak Aya untuk bermain mobil-mobilan hadiah dari Kai di ruang TV. Avaron pun menggendong Yukio dan menina bobokan putranya di pelukannya dengan perlahan-lahan sampai Yukio diam.

Yoriko hanya diam saja dan merasa yakin dia pasti pernah diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Setidaknya, sebelum dia dibuang. Yang dia lakukan daritadi hanya membaca koleksi buku dari lemari ruang TV milik Avaron sampai ia sadar kalau waktu sudah larut. Sesekali memperhatikan Shou Kohara sedang berbincang-bincang tentang topik yang Yoriko tidak mengerti dengan Kai di seberang tempat ia duduk.

Sekalinya dia memperhatikan, dia tidak bisa berhenti. Pandangannya terus tertuju pada pria yang sangat mencerminkan Spencer Williams. Yoriko sadar kalau sekarang di balik sikapnya yang terlihat sangat wajar dan sedang membaca buku ini dia kembali lagi ke dunia imajinasinya. Dia menjadi delusional lagi.

Kalau dia bisa, dia ingin sekali menghampiri Shou dan bertanya pada tentang berbagai hal. Tapi entah mengapa dia merasa dia tahu betul bagaimana Shou akan bereaksi nanti padanya. Mungkin karena dia terlalu menduga atau berharap sifatnya akan sama seperti Spencer yang sangat dingin dan kasar di depan orang asing seperti sikapnya pada Judy Hunters di pertemuan mereka yang pertama.

Ketika Yoriko kembali ke dunia khayalannya, dia menempatkan dirinya sebagai Judy. Namun ia menyangkalnya. Karena dia merasa Judy lebih berani daripada dirinya. Judy akan melawan ketika Spencer memperlakukannya dengan kasar. Judy akan membantah dan membuktikan kalau dia mampu ketika Spencer meremehkannya. Jauh berbeda daripada Yoriko. Maka dari itu, dia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mendekati Shou.

Karena Yukio yang menjadi pusat perhatian sudah capek, Aya memutuskan untuk pulang. Lagipula dia dan Yoriko juga harus bekerja keesokan harinya. Disaat yang sama mereka berpamitan, Shou juga melakukan hal yang sama. Tapi Shou berpamitan dengan sangat cepat dan berlalu begitu saja dari mereka setelah dia mengucapkan salam perpisahan sekilas kepada semua orang, tanpa sedikit pun memberikan senyuman atau basa-basi sedikit.

“aku jadi heran. PSC meracuni dia dengan apa sih sampai dia seperti itu?” dengan kesal Aya melipat tangannya di depan pintu depan setelah Shou menghilang di baliknya.

“entahlah. Beberapa tahun ini dia berubah dalam sekejap menjadi seperti raja es seperti itu…” Kai saja yang sering satu gedung dengannya tidak mengerti.

“hah… ya sudahlah…” Aya berusaha untuk melupakan kekesalannya dan mengambil mantel miliknya yang tadi digantung di hanger dekat pintu untuk dia kenakan.

“terima kasih, Aya dan Yoriko.” Kata Avaronn dengan Yukio masih di dalam dekapannya.

“ya. Terima kasih…” timpal Kai. “kalian memeriahkan acara ini. Dan untuk kau, Yoriko. Rasanya aku jadi ingin menambahkan alunan tin whistlemu untuk lagu kami. Bagaimana kalau kau datang ke studio kami? Nanti akan kukabari…” kata Kai pada Yoriko.

Yoriko bersedia. Tidak ada salahnya ia menyanggupi. Siapa tahu dia akan mempunyai kesempatan untuk berjumpa lagi dengan Shou Kohara.

Ketika mereka baru membuka pintu, Aya tiba-tiba menepuk dahinya dan dengan setengah berteriak berkata, “aduh! Syalku dimana, ya? Tadi kan aku memakai syal kesini!” Aya tidak menemukan syal pink yang tadi dia pakai di lehernya.

“kau taruh dimana?” Avaron tidak menemukan apa-apa lagi di gantungan mantel. “sayang, kau bawa Yukio ke toilet, ya… dia harus menyikat giginya dulu sebelum tidur.” Avaron memberikan Yukio ke Kai agar dia bisa membantu Aya untuk mencari syalnya.

“tunggu sebentar, ya…” Kai permisi pada Yoriko yang berdiri terpaku di ujung teras rumah untuk pergi ke toilet sebentar. Yoriko mengangguk pelan.

Karena tidak tahu apa yang sebaiknya dia lakukan untuk menunggu orang-orang kembali, dia melihat-lihat taman rumah ini yang ada di sekitarnya. Tidak banyak yang ditanam di taman ini. Hanya rumput yang hijau karena sekarang sedang musim semi dan pohon sakura di pojok taman sudah mulai berkembang.

Yoriko melangkahkan kakinya ke gerbang rumah yang terbuat dari dinding dan tidak diberi pintu pagar di jalan masuknya. Dia melihat sosok Shou Kohara sedang berjalan beberapa puluh meter dari tempat Yoriko berdiri menuju tempat dia memarkir mobilnya di ujung jalan (karena jalan di daerah rumah Avaron dan Kai adalah daerah bebas parkir dan Kai tadi pulang dengan menumpang mobil Shou). Yoriko heran. Rasanya dia sudah pergi cukup lama tapi kenapa dia baru sampai disana?

Dari cara Shou berjalan, Yoriko bisa melihat sedikit penyesalan dan rasa sakit itu lagi. dia berjalan dengan kepala tertunduk dan sesekali kakinya menendang batu-batu kecil yang ia temukan saat ia berjalan.

Cahaya lampu jalanan menyinari tubuh pria yang sekarang berbalut jaket kulit seperti milik Yoriko di balik kaus putih yang tadi ia lihat. Rambut cokelatnya berantakan karena tertiup angin (atau karena dia tadi terlalu banyak menggaruk kepalanya).

Pemandangan itu membuat Yoriko mengambil kamera DSLR miliknya. Dengan cepat dia mengatur ukuran ISO dan shutter speednya lalu mengarahkan lensa kamera ke arah pria yang tidak sadar dia kalau dia sedang difoto.

Lalu dia melihat hasilnya. Dia senang karena bisa menangkap perasaan orang itu di dalam foto itu. Dan mungkin, hanya dia saja yang bisa merasakannya. Bisa jadi, hanya Yoriko yang tahu kalau dia memotret foto ini.

“hei. Maaf lama…” Aya dengan segera muncul dari pintu dengan syal yang sudah dia temukan. Begitu Aya muncul, Yoriko langsung memasukkan kameranya lagi ke dalam tasnya.

“kau menemukannya dimana?” tanya Yoriko sambil melihat ke arah syal yang Aya pegang di tangannya.

“di ruang TV. Di dekat kotatsu. Aku baru ingat kalau aku terus mengenakannya di ruang makan dan melepasnya saat pindah ke ruang TV. Bodoh sekali…” Aya mengatai dirinya sendiri. Yoriko tertawa kecil mendengarnya.

“nah, sudah selesai.” Kata Aya setelah ia melingkarkan syal itu lagi ke lehernya. “ayo pulang.” Ajak Aya.

Dalam perjalanan mereka di kereta, Yoriko terus mendengarkan cerita-cerita Aya tentang seberapa cepatnya Tokyo berubah dengan menunjukkan beberapa gedung-gedung yang muncul yang dibangun selama Yoriko pergi. Yoriko dengan perhatian mendengar setiap cerita Aya.

Tapi pikirannya tetap terpaku pada Shou Kohara. Tidak, Yoriko tidak menyukainya atau semacamnya. Shou Kohara hanya benar-benar mirip sekali dengan Spencer Williams, tokoh yang sangat Yoriko ‘cintai’ di dunia khayalannya. Hanya itu.

Yoriko jadi teringat potongan kutipan kata-kata dari Ernest Hemingway, “ketika menulis sebuah novel seorang penulis harus membuat orang yang hidup; bukannya karakter…”

Yoriko tidak tahu harus merasa apa. Karena bagaimana dia seharusnya merasa ketika orang yang dia ‘buat’ benar-benar hidup dalam wujud seorang sosok bernama Shou Kohara? 

Sunday, December 11, 2011

You

in real life, maybe you're just like others. hiding your real face behind that make up, simply a singer wearing those heavy clothes

but in my alternate universe, you're really more than that

The Delusion (1)

1

Taksi menurunkan Yori Ishihara di depan sebuah apartemen kelas menengah ke bawah siang itu. Supir taksi membantu wanita yang baginya berdandan cukup aneh itu menurunkan kopernya yang hanya sebuah dari bagasi. Yori membayar ongkos taksi ditambah tip ke supir. Tapi supir dengan sopan menolak tip dari Yori karena perusahaan taksi yang ditumpangi Yori melarang bawahannya untuk menerima tip dari penumpang.

Baru hari pertama sudah merasakan perbedaan kebudayaan barat dan Jepang, pikir Yori. Kini taksi meninggalkan dia dengan tas ransel di punggungnya dan koper berukuran sedang di tangannya.

Yori mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. Sebuah kertas yang dilipat kecil yang ia buka perlahan-lahan. Tertulis sebuah alamat disana.

Apartemen Saido, lantai 2 nomor 23. Yori memastikan agar ia nanti tidak salah kamar. Kamar itu adalah kamar milik salah seorang temannya yang ia kenal melalui internet. Karena temannya itulah yang membuatnya kembali ke negara asalnya yang sudah lama ia tinggalkan.

Susah payah Yori menaiki tangga apartemen karena koper dan tas ranselnya yang cukup berat. Tapi karena dia sudah terbiasa mengangkut beban yang berat dia tidak terlalu merasa lelah saat dia sudah sampai di ujung tangga.

Kamar yang dimaksud ada di ujung lorong yang ada di hadapannya sekarang. Sambil berjalan dia memperhatikan nomor-nomor kamar yang tertera di setiap pintu apartemen yang ia lewati. Ia berhenti sampai ia menemukan nomor 23.

Walaupun dia sudah di depan pintu, dia tidak langsung mengetuk atau memberi salam. Dia menarik nafasnya dalam-dalam. Seumur hidupnya, dia baru pertama kali mempunyai teman yang benar-benar seorang teman di dunia nyata. Selama ini, orang-orang hanya berlalu lalang di hidupnya, hanya mampir dan pergi begitu saja. Tapi temannya kali ini berbeda, makanya dia sampai rela pergi jauh-jauh dari negara tempat dia menetap sebelumnya untuk kembali kesini.

Dia tidak ingin kesan pertamanya hancur karena kecanggungannya dalam hal berteman. Dia tidak ingin menyakiti teman pertamanya di dunia nyata karena ketidak mampuannya dalam bersosialisasi di dunia nyata. Atau setidaknya, itu menurut pemikirannya.

Akhirnya setelah diam beberapa lama ia pun mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Tapi sebelum tangannya melakukannya, pintu sudah dibuka lebih dulu oleh penghuninya. Penghuninya adalah seorang gadis yang usianya sama seperti Yori, dan seperti dugaan Yori, gadis ini pasti seorang yang ceria. Dan ia benar.

“Yoriko? Yoriko Ishihara?” gadis itu kaget bercampur senang saat melihat Yori ada di hadapannya. Walaupun mereka belum pernah bertemu secara langsung sebelumnya, tapi mereka pernah bertukar foto di internet.

“kau Aya Goto?” tanya Yori.

“akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga, Yoriko!” Aya langsung memeluk Yori.

“Aya, sebenarnya namaku Yori… bukan Yoriko… Yoriko adalah nama penaku.” Yori menjelaskan.

“tidak peduli. Bagiku kau tetap Yoriko.” Kata Aya cuek. “kau pasti capek karena naik pesawat dari Indonesia ke Tokyo. Ayo, masuk.” Aya menarik Yori.

Aya membantu Yori membawakan kopernya. Lalu menuntunnya ke ruang TV.

“jadi kita berdua akan tidur di kamarku. Tenang saja, aku sudah menyiapkan futon untukmu. Berapa hari kau akan tinggal disini?” tanya Aya sambil menaruh koper Yori di sudut ruangan.

“ng… rencananya aku…” Yori berusaha menjelaskannya dengan pelan agar Aya tidak terlalu kaget. “aku memutuskan untuk tinggal disini. Mungkin permanen…”

Dia lalu melihat Aya membuka mulutnya sebagai tanda kalau dia sangat kaget, tapi kemudian tersenyum lebar dan langsung memeluk Yori sambil meloncat-loncat.

“yaay! Kau akan tinggal disini!” seru Aya. “kenapa kau memutuskan untuk tinggal disini?”

“yah… aku rindu juga dengan negara asalku. Tampaknya Tokyo benar-benar berubah.” Jawab Yori. “kalau di apartemen ini ada kamar kosong aku akan menyewanya. Tentunya setelah aku mendapatkan pekerjaan.”

“aku bisa mencarikan pekerjaan untukmu dalam waktu singkat.” Kata Aya. “aku bekerja di petshop dan aku bisa berbicara dengan bosku apa dia bisa mempekerjakanmu atau tidak.”

“oh… boleh juga, kalau dia tidak keberatan.”

“nanti malam aku akan pergi ke rumahnya. Menghadiri pesta ulang tahun kecil-kecilan putranya yang berulang tahun keempat. Kau mau ikut?’’ ajak Aya.

‘’apa? aku? Ikut?’’ Yori menunjuk dirinya sendiri. ‘’jangan, jangan. Aku tidak ingin merusak pesta kalian dengan kedatangan orang asing seperti aku.’’

“tapi Yoriko…” bujuk Aya. “kalau kau berkenalan dengannya, dia pasti akan mempekerjakanmu. Aku kenal dekat dengannya, kami sudah seperti saudara dan anaknya juga sudah seperti keponakanku sendiri. Dia orangnya baik, jadi kalian pasti akan langsung dekat.”

“memangnya aku terlihat seperti orang baik?” tanya Yori.

“ya, bisa kulihat begitu. Kau orang yang baik.” Jawab Aya yakin, seolah-olah dia dan Yori sudah kenal sejak ribuan tahun yang lalu.

“kenapa kau terus memanggilku Yoriko?” Yori heran dengan tambahan ‘ko’ di belakang namanya dari Aya.

“entahlah. Aku hanya merasa nyaman saja memanggilmu begitu. Itu nama penamu, dan nama itu tentu saja bagian dari dirimu karena kau adalah penulis.” Jawab Aya.

Yori tersenyum mendengarnya. “benarkah begitu?”

Aya mengangguk dengan semangat. “aku yakin atasanku pasti akan penasaran dengan karyamu. Dia orang yang suka membaca. Apalagi sekarang dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah karena dia sudah mempunyai anak dan suami.”

“oh… baiklah… kau boleh memanggilku Yoriko.” Yori akhirnya mengizinkan.

“yes!” Aya memeluk Yori lagi. “aku tahu kau sekarang masih capek atau jet lag. Tapi aku sangat ingin membaca karyamu. Kau tahu, yang pernah kau bicarakan padaku di fanfiction community kita di internet. Tentang novel barumu itu.’’

‘’bisa saja. Tapi aku baru sampai beberapa bab…’’ Yoriko mengeluarkan laptop dari tas ranselnya.

‘’tidak apa-apa. aku ingin tahu siapa Spencer yang sering kau bicarakan di internet.’’ Kata Aya tidak sabar.


Yori, atau Yoriko adalah seorang penulis cerpen dan cerita bersambung yang sering memasukkan karyanya di internet. Dia memasukkannya ke dalam situs khusus untuk cerita fiksi. Nama akunnya yang juga menjadi nama penanya adalah Yoriko Izanami cukup terkenal di kalangan penulis cerita fiksi di internet. Beberapa orang mengagumi karya Yoriko dan salah satunya adalah Aya. Aya memberikan komentar kekagumannya terhadap karya Yoriko di internet. Yoriko yang menghargai setiap komentar dan kritik dari pembacanya, membalas komentar Aya dengan ramah dan lama-kelamaan mereka pun berteman di akun sosial network lainnya. Seperti Facebook, Twitter, dan Ameba.

Setelah 2 tahun dekat dan bersahabat di internet, Aya mengutarakan niatnya untuk bertemu Yoriko suatu hari nanti. Yoriko berpikir tidak ada salahnya dia menuruti keinginan Aya, karena Aya sudah menjadi sahabat pertamanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari Indonesia dan pergi ke Jepang.

Kehidupan Yoriko selalu berpindah-pindah. Dia sudah pergi dari Jepang saat usianya masih 19 tahun. Awalnya dia pergi ke Perancis. Disana dia tinggal selama 2 tahun untuk belajar menggambar dan bahasa perancis disana. Lalu dia ke Inggris. Di Inggris, dia belajar menulis dan hobinya yang suka memotret tumbuh disana. dia juga suka berjalan-jalan ke Irlandia selama dia di Inggris. Setelah 2 tahun menetap dia memutuskan untuk pergi ke belahan dunia lain dan pergi ke Amerika. Di Amerika dia hanya menetap selama setahun karena dia tidak terlalu menyukai kebudayaan bebas, walaupun dia mempunyai pemikiran yang bebas sebagai seorang penulis. Setelah itu ke Indonesia. Disana dia menetap dalam waktu yang paling lama dibanding yang lain, yaitu 3 tahun, sebelum dia kembali ke Jepang.

Karena wawasannya yang luas, dia jadi sering menulis cerita fiksi berlatar belakang negara-negara tempat dia tinggal. tapi, meskipun dia sudah menjadi seorang penulis di internet lama sekali, dia tidak pernah menerbitkan karyanya ke penerbit untuk diterbitkan. Dan rencananya, dia akan mengirimkan “Judy”, novel pertamanya yang sedang ia tulis dan dibaca oleh Aya sekarang ke penerbit. Dia menulisnya dengan bahasa Jepang karena dia ingin novelnya diterbitkan disini.

Novel “Judy” berkisah tentang seorang profiler muda yang bekerja untuk kepolisian bernama Judy Hunters yang dimutasi dari New York ke sebuah kota kecil bernama Grandfield. Disana dia bekerja sama dengan seorang temannya yang menjadi komandan timnya yang menyebalkan dan jahil bernama Spencer Williams. Yoriko menggambarkan Spencer sebagai seorang pria berambut cokelat, tampan, mempunyai wajah mirip seperti orang Asia karena di silsilah keluarganya, kakeknya adalah orang Jepang. Ya, Yoriko tidak bisa melepaskan negara asalnya di tulisannya sendiri.

Yoriko baru mencapai bab pertama karena dia menulisnya saat dia berada di pesawat tadi.

“haha… dia benar-benar kelihatan menyebalkan disini…” komentar Aya terhadap tokoh Spencer. Adegan yang Aya baca adalah pertemuan pertama Judy dengan Spencer. “tapi aku suka sekali pada bagian saat mereka berbincang-bincang di taman itu. Spencer tidak menjadi menyebalkan, dan dia juga Judy saling membuka diri.”

“begitulah. Tapi terkadang aku membayangkan Spencer menjadi nyata…” Yoriko kembali berkhayal. Dirinya sudah lama menjadi penulis, sehingga dia sering berkhayal tentang berbagai hal. Akibatnya, dia sampai harus memisahkan mana yang benar-benar kenyataan dan mana yang khayalan. Itulah yang menyebabkan dirinya menjadi seorang yang penyendiri karena dia tidak ingin dianggap orang lain aneh atau delusional.

“haha… pasti menyenangkan.” Kata Aya. “kalau dia benar-benar ada, aku pasti akan memujanya.”

Aya terus mengontrol halaman novel Yoriko yang ditulis di laptop ke bawah untuk dia baca sampai selesai. Setelah selesai, Aya mematikan laptop Yoriko dan meninggalkannya begitu saja di atas kotatsu ruang TV.

“jadi, ceritakan pengalamanmu berkeliling dunia.” Aya menyuruh Yoriko duduk di sebelahnya untuk bercerita.

“kau ingin aku bercerita darimana?” tanya Yoriko.

“saat kau pertama kali memutuskan untuk pergi dari Jepang. Apa yang membuatmu melakukannya?”

“aku hanya ingin bebas dan pergi menjelajahi dunia. Itu saja. Menulis hanyalah salah satu caraku untuk mengekspresikan apa yang kulihat, kudengar, dan yang kurasakan melalui tokoh-tokoh yang kubuat.’’ Jawab Yoriko.

‘’apa orang-orang yang ada di panti asuhan mengizinkanmu pergi waktu itu?’’ tanya Aya. Yoriko sebenarnya besar di panti asuhan sejak ia masih bayi. Ia tidak pernah bertemu kedua orang tuanya seumur hidupnya. Kepala panti asuhan menemukan Yoriko yang waktu itu masih bayi di depan pintu masuk panti asuhan dan akhirnya ia dirawat disana. nama Yori Ishihara itu adalah nama pemberian panti asuhan untuknya. Dan sampai ia menginjak usia remaja, tidak ada orang tua angkat yang mau mengadopsinya, entah kenapa. Akhirnya setelah dia sudah cukup umur, dia menjadi mandiri dan bekerja. Setelah uangnya cukup, dia pun memutuskan untuk pergi keliling dunia. Karena selama hidupnya dia sendirian, dia tumbuh menjadi orang yang kuat, sehingga dia bisa bertahan di negara orang dengan bekerja disana.

“tentu saja. aku kan sudah cukup umur. Aku pergi ke Perancis dan bekerja di sebuah kafe. Aku belajar bahasa perancis dengan tetangga apartemenku dulu. Dia juga bisa melukis dan menggambar. Jadi dia mengajariku juga.” Yoriko mulai bercerita tentang pengalamannya dari awal sampai akhir.

‘’kau hebat, Yoriko. Apa kau melakukan semua petualangan itu sendirian?’’ Aya merasa kagum.

‘’ya… begitulah…’’ jawab Yoriko santai.

“apa kau tidak merasa kesepian?” tanya Aya.

Sebelum menjawab, Yoriko tertawa sejenak. “Aya, aku sudah sendirian dari kecil. Bahkan saat masih bayi sekalipun…”

Sekilas Aya bisa sedikit merasakan sebuah kepahitan dari kata-kata Yoriko barusan. “Yoriko… kau tidak sendirian. Aku akan selalu menemanimu. Aku sudah menganggap kau seperti saudaraku sendiri.”

“tidak, Aya… mungkin kau akan membenciku beberapa hari lagi. aku bukan tipe orang yang cocok untuk diajak berteman, bahkan aku terkadang sulit membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Aku…” kata-kata Yoriko terpotong karena Aya memeluknya lagi.

“kau penulis yang hebat. Penulis hebat pasti mengorbankan sesuatu di dalam hidupnya. Dan kau menjadi delusional karena itu. Tidak ada yang salah dengan itu, Yoriko. Aku ingin menjadi sahabat yang bisa mengingatkanmu, mendukungmu, dan tentu saja, sebagai orang pertama yang mendapatkan tanda tangan darimu di atas bukumu nanti…”

“Aya…” Yoriko terkesan dengan kebaikan Aya. “terima kasih, ya…”

“ya… sama-sama.” Aya melepaskan pelukannya. “sekarang kau harus istirahat. Karena capek kau jadi melantur, kan? Ayo istirahat.” Aya menyuruhnya seperti seorang ibu menyuruh anaknya.

“iya, ibu…” sindir Yoriko seraya berdiri. Mereka berdua pun tertawa.

‘’jangan lupa, nanti malam acara ulang tahun di rumah atasanku. Kau harus datang dan terlihat ceria disana.’’ Aya mengingatkan lagi.

Dan demi sahabatnya yang tulus itu, Yoriko menyanggupinya.


Jam 7 malam itu mereka baru saja keluar dari stasiun kereta, mereka naik kereta dari stasiun dekat apartemen mereka menuju ke rumah Avaron Yutaka, atasan Aya di petshop tempatnya bekerja.

‘’oh, jadi kau sekarang sudah hampir menyelesaikan semester ketigamu, ya…’’ kata Yoriko pada Aya setelah sahabatnya menjelaskan kehidupan kuliahnya.

‘’ya. Aku bekerja sambil kuliah.’’ Jawab Aya. ‘’Avaron-san sedang mencari karyawan baru yang bisa bekerja saat siang. Karena karyawan sebelumnya berhenti karena akan menikah. Aku akan bekerja shift malam sepulang kuliah.”

Setelah penghasilan dari bekerja di petshop sudah cukup, Aya mengikuti tes ujian masuk ke universitas bagus yang kebetulan jaraknya cukup dekat dari apartemen. Dia mengambil jurusan biologi di bidang virologi. Aya memang suka hal-hal yang berbau virus dan ingin menciptakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit yang disebabkan virus.

“kau tidak capek kuliah sambil bekerja seperti itu?” tanya Yoriko lagi.

“tidak. kampusku dekat dari apartemen dan Avaron-san mengerti keadaanku. Jadi dia memberiku toleransi dan mengizinkanku mengerjakan tugas sambil bekerja. Kau sendiri? Aku baru melihatmu secara langsung hari ini. Dan apa penampilanmu ini…” Aya menunjuk penampilan Yoriko dari atas sampai bawah. “adalah penampilanmu sehari-hari?”

Yoriko tertawa. Aya adalah anak baik, jadi mungkin dia tidak terbiasa melihat Yoriko berdandan seperti ini. Rambut bermodel layer biasa yang selalu terurai atau dia tutupi dengan topi hitam (tapi malam ini dia tidak mengenakan topinya), smoky eyes tipis, lipstik pink natural, T-shirt putih polos dengan jaket kulit hitam, celana jeans dan sneakers dengan warna yang sama. Penampilan yang sama saat Yoriko mengetuk pintu rumah Aya tadi siang. “ya, ini gayaku. Kau suka?”

“aku suka saja. kalau penampilan ini adalah penampilan sehari-harimu dan kau nyaman dengannya, aku tidak masalah. Lagipula kau cantik, kau pantas dengan penampilanmu itu.” Jawab Aya. Yoriko sempat tersanjung sedikit saat Aya menyebutnya cantik.

“entah kenapa aku merasa nyaman dengan warna hitam.” Yoriko menjelaskan dia masih mempunyai banyak pakaian dengan berbagai model berwarna hitam. Tidak hanya jenis pakaian-pakaian yang dia kenakan sekarang, tapi juga dress, rok, topi, aksesoris, dan lain sebagainya.

“sekarang jelaskan padaku tentang gambaranmu. Aku sama sekali belum melihat sketsa-sketsamu tadi siang. Aku tidak menyalahkanmu karena kau sedang tidur tadi. Tapi aku tetap saja tidak sabar.” Aya kembali menyerocos.

“haha… iya, Aya. Nanti akan kuperlihatkan sketsa Spencer yang kubuat saat masih di Indonesia.” Yoriko berjanji.

“bagus! Aku jadi penasaran dengan Indonesia. Kau menetap di kota mana? Avaron-san dan suaminya pergi bulan madu ke Bali 4 tahun yang lalu. Apa kau disana?”

“tidak. aku di Jakarta. Tapi aku juga traveling ke kota-kota yang ada di pulau Jawa. Seperti Bandung, Semarang, Surabaya. Aku belum pernah ke Bali.”

“eh? Kenapa?” Aya heran. “bukankah kota itu yang biasa dijadikan tujuan para turis asing untuk berlibur, bukan? Kudengar pulau itu sangat keren dan aku percaya karena melihat foto-foto Avaron-san saat disana.”

“salah satu temanku, yang paling kuhormati disana berkata kalau pergi ke Bali sendirian, tidak akan terasa karena kau pasti membutuhkan teman untuk melihat menikmati masakan khas bali dan belanja bersama-sama, atau hanya sekedar duduk-duduk di bar menikmati segelas alkohol. Terutama, saat melihat matahari terbenam di pantai Kuta bersama-sama. Kau pasti butuh teman untuk saling berbicara tentang keindahannya. Jadi aku merasa, pergi kesana adalah suatu hal yang sakral. Aku ingin punya teman untuk pergi kesana…”

“aah…” Aya terlihat mengerti sesuatu. “tampaknya seseorang sedang membutuhkan seorang pacar…”

Yoriko tidak mengerti arah pembicaraan Aya. “maksudmu?”

“ya. Kau membutuhkan pria agar bisa menemanimu pergi kesana. Mana ada orang normal yang tidak ingin melihat matahari terbenam yang indah di Pantai Kuta bersama pasangannya? Apa aku benar? Kurasa sekarang saat yang tepat untukmu menemukan soul mate-mu…” Aya menaik turunkan alisnya untuk menggoda Yoriko.

“kau ada-ada saja… bagaimana caranya aku bisa menemukan soul mate sedangkan aku selama hidupku aku selalu sendirian?” Yoriko menggelengkan kepalanya.

“kau pasti akan menemukannya, Yoriko, cepat atau lambat. Katakan padaku. Selama kau keliling dunia, apa kau pernah punya pacar? Orang yang kau sukai? Atau cowok yang pernah one night stand bersamamu?” Aya bertanya dengan nada menyelidik.

Yoriko mendengus. “one night stand? Cinta semalam? Memangnya aku wanita macam apa? Dan darimana kau bisa tahu istilah macam itu?”

“yah, tentu saja aku tahu dari gaya menulismu yang kebarat-baratan. Apa kau lupa kau pernah memasukkan istilah itu di salah satu cerpenmu?’’

‘’Aya, walaupun karakterku pernah melakukannya, bukan berarti aku juga melakukannya.’’ jawab Yoriko.

‘’tapi kau pernah bilang padaku untuk bisa menulis kita harus bisa merasakan apa yang karakter kita rasakan. Salah satu caranya adalah melakukan hal yang sama. Misalnya agar kita bisa menulis bagaimana rasanya mual setelah naik rollercoaster, kita harus menaiki rollercoaster agar bisa tahu rasanya bagaimana.’’

‘’aku memang pernah mengatakannya. Tapi bukan berarti aku melakukan one night stand bersama cowok sembarangan. Aku bisa menulis itu karena salah satu temanku di Amerika dengan bangganya menceritakan padaku bagaimana dia melakukannya.”

“tapi kau memang pernah melakukannya, kan? Maksudku, melakukan sesuatu agar bisa menulis apa yang dirasakan karaktermu?” tanya Aya.

“yah, begitulah…” jawab Yoriko dengan enggan. Seolah dia menutupi sesuatu.

Aya bisa merasakan hal itu dan menjadi tidak enak. “maaf… apa aku membuatmu tersinggung?”

“eh… tidak, tidak…” Yoriko tidak ingin Aya jadi merasa bersalah. Aya sama sekali tidak tahu apa-apa soal kehidupannya yang sebenarnya. Dan lebih baik Aya tidak usah tahu. “ngomong-ngomong, aku sama sekali tidak membawa kado, lho…”

“tidak apa.” Kata Aya enteng. “kau kan baru tahu pestanya hari ini, dan aku yang mengajakmu. Kalau kau tidak membawa kado, jadi apa yang ada di tas yang kau bawa itu?” Aya melirik postman bag hitam merk Converse yang Yoriko bawa.

“oh… ini isinya peralatan wajibku.” Yoriko membuka resleting tasnya dan memperlihatkan isinya ke Aya. Buku catatan dengan pulpen yang berisi data-data atau inspirasi-inspirasi yang ditulis Yoriko, kamera DSLR Canon, topi, buku sketsa ukuran A4, dan sebuah seruling yang berukuran kecil.

“jadi ini ya, peralatan-peralatan yang sering kau bawa. Wah, kau mempunyai kamera DSLR!” Aya kagum. ‘’pasti kamera ini mahal sekali…’’

‘’yah… membutuhkan gajiku yang bekerja sebagai pelayan di restoran setahun saat aku di Perancis…’’ Yoriko ingat waktu itu dia sampai bersusah payah menabung dan menahan diri tidak untuk belanja. Mengingat dia berada di Paris, membuat dia merasa sulit untuk menahan diri.

“kalau begitu, ini apa?” Aya mengeluarkan sebuah seruling kecil berwarna hitam.

“aa…” Yoriko sedikit bingung untuk menjelaskan. “itu tin whistle. Aku membelinya sewaktu traveling ke Dublin, Irlandia. Aku jadi membeli itu karena melihat penampilan konser The Corrs disana. mereka keren sekali.”

“aku baru pertama kali ini melihat alat musik yang seperti ini…” Aya mencoba untuk meniupnya. Suaranya benar-benar berbeda dari seruling biasa. Kesannya terasa mistis dan menggetarkan. ‘’kau bisa memainkannya?’’

‘’ya, begitulah…’’ Yoriko cukup sering memainkan alat musik itu kalau sedang senggang. Dia juga membawanya kemana pun ia pergi, seperti sekarang ini. Karena alat musik itu kecil sehingga mudah untuk dibawa.

“kau mau mengajariku? Apa kira-kira alat musik ini dijual di Tokyo?” tanya Aya dengan penuh rasa antusias.

‘’tentu saja. Tidak terlalu sulit kok memainkannya. Aku tidak tahu… tapi aku masih mempunyai tin whistle yang lain di koperku. Kau bisa meminjamnya kalau kau mau.’’

Mendengarnya, Aya kembali berterima kasih lagi pada Yoriko. Dia tidak henti-hentinya berkata Yoriko adalah orang yang hebat, nyaris sempurna, dan dia ingin menjadi seperti Yoriko. Yoriko hanya tersenyum, sesekali menanggapi dengan singkat dan berkata kalau dia tidak sesempurna yang Aya pikir.


Mereka sampai di rumah keluarga Yutaka tidak lama kemudian. Aya bercerita kalau Avaron pernah tinggal di apartemen yang cukup elit dan pindah ke rumah ini bersama suaminya saat ia tahu ia sedang mengandung anak pertamanya 2 tahun yang lalu. Suaminya adalah seorang drummer dari band bergenre visual kei terkenal di Jepang dan beberapa negara lain.

“apa? Kalau begitu, kenapa aku tidak pernah tahu nama bandnya?” tanya Yoriko berbisik saat Aya menjelaskan tentang band bernama Gazette itu. Mereka ada di depan pintu rumah keluar Yutaka saat ini.

“entahlah. Memangnya kau tidak suka visual kei, ya?” tanya Aya balik. Ia membunyikan bel rumah.

“aku bahkan baru tahu kalau ada genre itu darimu malam ini.” Yoriko mengaku.

‘’Avaron-san juga mempunyai teman lainnya. Dia sahabatku juga. Dia member dari Alice Nine.’’ Kata Aya.

‘’Alice Nine? Apa itu nama komunitas teater atau semacamnya?’’ Yoriko sama sekali tidak menyambung ke pembicaraan.

‘’kau tidak tahu Alice Nine?”

“Gazette yang katamu tadi terkenal di Jepang dan di beberapa negara lain saja aku tidak tahu apalagi Alice Nine.” Kata Yoriko. Sebelum Aya bisa menjawab, pintu rumah dibuka dan muncullah seorang wanita yang kelihatannya usianya tidak jauh berbeda dari Yoriko dan Aya. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan one piece putih bermotif bunga mawar merah yang dia pakai dan make up natural tipis yang menghiasi wajahnya.

“hai, Aya!” wanita itu lebih dulu menyapa Aya. ‘’bisa kulihat kau membawa seorang teman malam ini.’’

‘’selamat malam, Avaron-san.’’ Aya menyapa wanita yang Yoriko sadari ternyata adalah Avaron Yutaka yang tadi Aya ceritakan. ‘’kenalkan, dia temanku yang baru datang ke Jepang setelah sekian tahun dia berkeliling dunia. Namanya Yori Ishihara. Panggil saja dia dengan nama Yoriko.”

Yoriko membungkukkan badannya untuk memberi salam. “dozou yoroshiku, Avaron-san…”

“dozou yoroshiku…” Avaron juga ikut membungkukkan badannya. Dengan ramah, Avaron mengajak mereka berdua masuk ke dalam.

Begitu masuk, Yoriko langsung memperhatikan isi rumah. Rumah keluarga ini memang tidak mewah, tetapi cukup besar. Interiornya bernuansa khas Jepang, dan lantainya masih menggunakan kayu. Sebagian ruangan diberi pintu shouji yang digeser. Dari sini, Yoriko bisa menyimpulkan kalau Avaron atau suaminya adalah orang yang lurus dan tidak banyak macam-macam.

“bagaimana kabar Yukio? Apa dia senang dengan kue yang anda buat?” tanya Aya saat Avaron menuntun mereka berdua ke ruang TV.

“Yukio sama sekali tidak bisa sabar untuk menyentuh dan memakan kuenya. Makanya aku menyimpannya di kulkas dan menunggu kalian semua datang terlebih dulu sebelum diambil.” Jawab Avaron. Yukio adalah putra dari Avaron dan suaminya yang belum Yoriko lihat di rumah ini.

“Kai-san sudah datang? Pasti dia sedang sibuk sekali dengan album barunya yang akan diluncurkan bulan depan…” Aya mencari keberadaan suami Avaron.

“ya. Sebentar lagi dia akan pulang, tenang saja. mungkin karena dia mengajak Shou juga jadinya dia agak terlambat…” Avaron melihat jam tangannya.

“eh? Shou-kun akan datang?” Aya terlihat menjadi sangat riang.

“ya. Saat aku mengundangnya minggu lalu, dia tidak memberikan jawaban yang pasti. Tapi kata Kai dia akan menyeretnya kesini dari ruang studio yang sekarang sepertinya sudah menjadi rumah keduanya itu, jadi aku mengandalkan suamiku yang konyol itu.” Avaron menjelaskan.

“benar, sekarang sejak Shou-kun menjadi bagian dari PSC dan terkenal seperti sekarang dia jadi jarang sekali berkumpul dengan kita, dia lebih memilih tenggelam dengan dunia musiknya. Entah kenapa, sekarang aku merasa dia malah berubah menjadi orang lain…” Aya heran dan khawatir dengan sikap sahabatnya yang belum pernah Yoriko temui itu.

Di sisi lain, Yoriko sedari tadi hanya diam. Dia sama sekali tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dia saja belum pernah bertemu dengan Kai atau Shou yang mereka sebut-sebut tadi, bagaimana mau ikut ke dalam pembicaraan?

Tampaknya dugaannya akan benar, ikut ke acara ini akan menjadi ide yang sangat buruk.

Tapi saat ia baru masuk ke dalam pikirannya sendiri, ia mendengar Aya menjerit kesenangan karena melihat seorang balita duduk di kursi khusus untuk bayi di ruang TV.

“Yukio-chan!!” Aya menghambur ke arah Yukio yang menyambut sahabat Yoriko dengan senyumannya yang sangat lucu itu. Aya mencium pipi Yukio yang sangat tembam dan mengucapkan selamat ulang tahun pada bayi yang berumur 2 tahun pada hari ini itu. Aya memberikan sebuah kotak kado berwarna biru kepadanya.

“ini untukmu, sayang…” kata Aya. Yukio berusaha memegangnya dengan erat. Tapi karena kotak itu terlalu besar untuk tangannya yang masih kecil, Avaron menghampiri mereka dan mengambil alih kado itu.

“bilang apa kepada Aya Obasan, sayang?” tanya Avaron dengan nada imut pada Yukio. Dengan cara bicara yang belum lancar dan tidak terlalu jelas, Yukio mengucapkan terima kasih.

Avaron mengambil Yukio dari Aya dan membawanya ke Yoriko yang masih berdiri saja di ujung pintu. “kenalkan, Yukio-chan. Ini teman baru kita, namanya Yoriko-san… ayo, beri salam.” Avaron mengambil tangan kanan Yukio untuk diulurkan ke Yoriko.

“hai, Yukio-chan…” Yoriko menyapa Yukio seramah mungkin yang dia bisa. “aku Yoriko. Selamat ulang tahun untukmu.” Yoriko menggengam telapak tangan yang ukurannya tidak lebih besar dari tangannya sendiri itu.

Yukio memang bayi yang ramah, dia membalas sapaan Yoriko dengan tersenyum. Tapi karena baru pertama kali bertemu, Yukio langsung menyembunyikan wajahnya di dada ibunya, sebagai tanda kalau dia masih malu. Walaupun begitu, senyuman polos bayi itu tetap tidak hilang dari wajahnya.

“aduh… dia masih malu-malu… tapi lihat saja, nanti dia tidak akan bisa lepas darimu, dia selalu lekat dengan para cewek. Apalagi kalau mereka secantik dirimu.” Avaron memuji Yoriko.

Yoriko hanya tersipu malu dan mengucapkan terima kasih ketika mendengarnya. Setelah itu Yukio meminta sesuatu kepada Avaron yang hanya ibunya saja yang mengerti keinginannya apa. Dengan tulus Avaron menuruti permintaan Yukio dan Avaron pun pamit untuk pergi sebentar pada Yoriko dan Aya untuk ke dapur.

Walaupun mereka berdua sudah pergi, Yoriko masih tidak bisa menghapus ingatan pemandangan yang barusan dia lihat dari Avaron Yutaka dan putranya. Seorang ibu menggendong anaknya, merayakan ulang tahunnya, mendidik anaknya menjadi seorang anak yang sopan dengan menyuruhnya memberi salam pada orang lain, dan menuruti segala permintaan anaknya.

Yoriko ingin tahu apakah ibu kandungnya yang tidak pernah ia temui pernah memperlakukan dirinya seperti itu atau tidak…

“hei…” Aya menyadarkan Yoriko dari pikirannya yang kali ini sedang berusaha keras mengingat bagaimana wajah ibunya di dalam pikirannya. “bagaimana kalau kau mainkan salah satu lagu saja tin whistle-mu itu. Yukio pasti senang.” Aya memberi saran.

Dengan cepat Yoriko berusaha untuk terlihat normal kembali dan menjawab dengan buru-buru, “eh… ya, ya… boleh juga idemu, Aya.”

“padahal dia belum memakan kuenya, dia sudah meminta biskuit duluan…” kata Avaron setelah ia kembali dari dapur. Kali ini Yukio tidak lagi di gendongannya, dia berjalan dengan tangan kirinya yang digandeng oleh Avaron. Cara berjalannya sudah lancar sekali.

“haha… Yukio-chan lapar, ya?” Aya menyambut Yukio yang menggenggam biskuit bayi dan menggendongnya lagi. Yukio tertawa senang saat Aya mengangkatnya tinggi-tinggi.

Melihat pemandangan seperti ini membuat Yoriko menjadi diam dan bertanya-tanya lagi, apakah dia pernah diperlakukan seperti Yukio oleh ibu dan ayahnya atau saudara mereka saat ia masih kecil? Apakah dia pernah merasakan ulang tahunnya pernah dirayakan dengan dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya? Seandainya dia bisa mengingatnya… tapi tidak bisa. Mungkin dia tidak bisa karena… dia tidak pernah mengalaminya…

Yoriko akhirnya kembali lagi ke bumi setelah dia mendengar sebuah suara seseorang memberi salam dari pintu rumah. setelah itu, Avaron terburu-buru keluar dari ruang TV untuk menyambut siapa yang baru saja datang itu.

Yoriko bisa menduga yang datang pasti suami Avaron, dari pembicaraan mereka yang samar-samar terdengar, tampaknya suaminya itu tidak datang sendirian. Suara mereka semakin lama semakin terdengar lebih jelas seiring langkah mereka yang menuju ke ruang TV. Dan mereka pun akhirnya muncul di depan pintu.

“akhirnya Kai dan Shou datang juga.” Kata Avaron. “aku ingin mengenalkan kau dengan mereka, Yoriko-san.” Avaron meminta Yoriko berdiri dari duduknya di lantai.

“panggil aku Yoriko saja, Avaron-san.” kata Yoriko. Dan Avaron mengenalkan dua pria yang berdiri di belakangnya. Seorang pria berambut hitam dan berwajah manis dengan ramah tersenyum pada Yoriko. “salam kenal. Aku Kai, suami Avaron.” Kata Kai dengan bangga.

Dan pria di sebelah Kai berambut cokelat yang benar-benar mengingatkannya pada seseorang. Ketika pria itu mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis di depan Yoriko, wanita itu kembali terpaku.

Matanya yang agak sipit itu mempunyai bola  mata yang berwarna cokelat tua yang indah…

Wajahnya yang tampan dan khas asia campur barat itu pasti tidak akan dengan mudah ia lupakan…

Dia jarang memberikan senyuman. Tapi sekalinya dia tersenyum, walaupun hanya senyuman tipis dan dingin, semua orang apalagi para wanita pasti akan terpaku melihatnya…

Rambutnya yang cokelat itu semakin menambah pesonanya…

Dan tingkah lakunya yang sangat menyebalkan itu malah menambah nilai positif darinya, membuat ia ingin sekali tenggelam di dalam isi hatinya hanya agar bisa mengetahui apa yang sebenarnya dia pikirkan…

“hei.” Pria yang membuat Yoriko merasa terhipnotis itu menjentikkan jarinya berkali-kali di depan wajah Yoriko.

“eh… maaf, maaf… apakah kau... Spencer Williams? Apa kau…” Yoriko lagi-lagi melantur tanpa ia sadari.

‘’Spencer Williams? Siapa dia? Aku tidak kenal. Aku Shou Kohara. Salam kenal.” Shou dengan datar memperkenalkan dirinya sendiri. Dia sama sekali tidak peduli pada siapa Spencer Williams itu. Padahal bagi Yoriko, cara bicara pria ini mirip sekali dengan Spencer… di dunia imajinasinya…

“ya… aku Yori Ishihara… panggil saja Yoriko…” jawab Yoriko dengan sangat canggung. Shou Kohara hanya menganggukkan kepalanya dan meninggalkan Yoriko berdiri begitu saja untuk bergabung bersama yang lain.

Haha… bodoh sekali kau…, pikir Yoriko. Mana mungkin kau bertemu dengan tokoh khayalan yang kau buat sendiri. Pasti semua ini adalah kebetulan.

Walaupun berkali-kali di dalam hatinya dia meyakinkan dirinya kalau pria yang tidak bisa ia berhenti menatapnya itu adalah Shou Kohara, bukannya Spencer Williams, tokoh yang sangat ia puja di dunia imajinasinya, dia merasa kalau ini adalah kebetulan yang sangat indah.

Dan tanpa sadar, ia akan menjadi sangat terobsesi dengan pria yang ada di depannya ini…