Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Friday, December 2, 2011

New World (1)

1

Pukul 4 sore, Yuki Akibara sedang berada di ruang loker kampusnya, mengganti pakaiannya yang terlihat cuek dan selalu berlengan panjang itu dengan seragam karatenya yang berwarna putih.

Yuki melepaskan sneakers Puma kesayangannya yang berwarna putih bergaris hitam beserta kaos kakinya yang berwarna putih lalu memasukkannya ke dalam sebuah kantung plastik putih agar tidak menodai pakaian-pakaiannya yang sudah dimasukkan ke dalam lokernya.

Gadis berambut ikal hitam itu melihat sekelilingnya. Sekitarnya sudah sepi dan beberapa anak-anak yang ikut klub yang sama dengannya yang terakhir ia lihat tadi sudah meninggalkan ruangan. Tinggal dirinya sendiri saja, mungkin karena orang-orang tidak menyadari keberadaannya disana.

Dia sengaja membiarkan kakinya telanjang tanpa mengenakan alas kaki dan mengambil sabuk karatenya dari dalam tas. Sebuah sabuk hitam yang merupakan hasil dari kerja kerasnya di klub. Ia masih ingat saat pelantikan sabuk hitamnya itu, semua orang memujinya karena hanya dialah yang paling cepat mendapatkan sabuk itu diantara semua teman-teman satu angkatannya. Di klub, tidak ada satupun yang meragukan kemampuannya yang hebat. Tidak ada satupun anggota klub karate dari sensei, senpai, dan kouhainya yang tidak mengaguminya.

Tapi bagi Yuki, semua itu hanyalah kekaguman sesaat. Karena setelah latihan klub karate selesai, dia bukan siapa-siapa lagi.

Menyadari bahwa dirinya sudah terlambat, dia langsung cepat-cepat membereskan barang-barangnya dan berlari dengan cepat menuju ruang gym kampus.

Hanya membutuhkan waktu 20 detik saja untuk Yuki sampai ke tengah-tengah ruang gym dimana semuanya sudah berkumpul. Padahal yang lainnya masih membutuhkan waktu sekitar semenit untuk berlari dari loker kalau sensei sudah tidak sabar menunggu.

“kecepatan yang hebat, Yuki-san... aku bahkan tidak sadar kalau kau tahu-tahu sudah berdiri di sebelahku.” puji senseinya yang bernama Osamu Hayashi, seorang pria berusia 35 tahun yang kurus dengan wajah khas Jepang yang terlihat jauh lebih tua dari usianya, dengan otot-otot yang cukup besar di lengannya membuat orang-orang percaya kalau dia sudah lama menggeluti dunia karate. Dalam tingkatan usia, dia adalah sensei Yuki. Tapi dalam tingkatan sabuk, dia setara dengan Yuki. Yang membuat Yuki tertawa sendiri ketika mengingatnya.

“arigatou gozaimasu, sensei...” ujar Yuki ketika menerima pujian itu. Ketika Yuki mendengar kalau Hayashi sama sekali tidak sadar kalau Yuki tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya, yang dia maksud adalah dalam arti yang sebenarnya. Sering kali orang-orang tidak sadar kalau Yuki berada di sebelahnya. Kecepatan berlari Yuki memang luar biasa.

“kalau kau tidak memakan nasi sama seperti kami, kami pasti akan mengira kau adalah seorang vampir.” Tambah Hayashi. Perkataan Hayashi barusan langsung disambut persetujuan dari para murid-murid yang berbaris di depan mereka dengan rapi.

Yuki tidak kaget. Karena dia memiliki kulit yang putih pucat sama seperti kulit para vampir, bangsa yang kini hidup berdampingan bersama manusia, bangsa yang berusaha menyesuaikan dirinya agar tetap bisa terlihat normal ketika berkumpul dengan para manusia, bangsa yang saat ini sedang berusaha untuk menghilangkan diskriminasi karena masih banyak manusia-manusia yang ketakutan dengan vampir yang bisa jadi akan memangsa mereka. Kasus seperti itu masih banyak terjadi di dunia yang sudah sangat berubah jauh ini.

Di kampus tempat kuliah Yuki yang letaknya di pusat kota Tokyo, ada sekitar 1000 vampir yang mendaftar kuliah di kampusnya. Beberapa teman Yuki adalah vampir, dan mereka semua menyukai Yuki, entah kenapa. Mereka merasa Yuki seperti ‘saudara’ mereka sendiri. Katanya, kalau vampir bertemu dengan vampir, mereka pasti akan merasa kalau mereka saudara. Yuki berpikir kalau hal itu dikarenakan oleh nasib mereka yang sama. Sama-sama dijauhi oleh orang banyak, sama-sama aneh, sama-sama diejek, sama-sama abadi, dan... sama-sama mengonsumsi darah...

“yang terpenting adalah, dengan kemampuanku ini, aku berhasil membawa klub ini ke kejuaraan nasional, bukan?” kata Yuki dengan nada merendah. Dengan pendengarannya yang tajam, Yuki bisa mendengar beberapa cibiran ejekan di antara pujian untuknya. Yuki tahu beberapa orang ada yang iri padanya, dan dia tidak pernah mempedulikan itu.

“hei, sudah, sudah...” Hayashi menenangkan murid-muridnya. “kita mulai latihan hari ini.” Hayashi berkata dengan tegas sehingga membuat mereka diam dalam sekejap.

“Yuki-san,” Hayashi melihat ke arah Yuki. “tolong pimpin mereka untuk lari dan pemanasan.”

Yuki mengangguk. Memang sudah itu tugasnya sebagai asisten pelatih. Dan dengan sekali perintah darinya, seluruh murid-murid Yuki yang berjumlah 20 orang (dan seluruhnya manusia) itu dengan sigap dan rapi ikut berlari di belakangnya.

Hayashi menunggu mereka semua selesai pemanasan di tempat yang sama ia berdiri tadi. Sambil matanya memperhatikan angka-angka di stopwatch yang ada di tangannya. Dalam hatinya dia berkata, bahwa muridnya sekarang menjadi lebih cepat.

Walaupun kecepatannya masih tidak bisa menyaingi Yuki Akibara...

 ---

Yuki memilih masuk ke dalam klub karate sebenarnya bukan karena dia gadis yang lemah lalu ingin menjadi kuat atau karena di kampusnya tidak ada klub yang seru, tapi karena dia ingin menyalurkan kemampuannya yang bisa berlari cepat dan kekuatannya yang hampir melebihi kekuatan seorang algojo laki-laki (kalau dia mengeluarkan kemampuannya dalam keadaan maksimal) itu.

Saat turnamen, semua lawannya pasti akan babak belur atau bahkan sampai sesak nafas karena pukulan dan tendangannya yang terlalu kencang. Bahkan sampai Hayashi dan wasit berpikir sebaiknya Yuki melawan laki-laki saja karena kalau lawan sesama wanita, pastilah Yuki yang menang. Hampir semua peserta turnamen karate tahu siapa Yuki Akibara dan bagaimana kemampuannya. Siapa yang tahu, mereka pasti berharap tidak akan dipasangkan bertanding melawannya. Karena disamping kekuatannya, instingnya sangat tajam. Dia sangat waspada, seakan-akan dia tahu apa gerakan lawan selanjutnya.

Tapi bagi Osamu Hayashi, Yuki adalah lawan setaranya. Selain karate, dia sudah mempelajari dan menguasai ilmu bela diri yang lain. Kung fu, thai boxing, capoeira, sampai silat dia pelajari. Makanya dia mempertahankan Yuki sebagai asistennya karena kalau saat Hayashi memberikan contoh gerakan karate untuk murid-muridnya, Yuki-lah yang cocok menjadi pasangannya. Namun walaupun begitu, Hayashi tidak pernah ingin Yuki membanting dirinya di depan murid-muridnya sendiri.

Entah kenapa, setiap Yuki melepaskan nafsunya itu dengan membanting lawannya, memecahkan batu bata yang bertumpuk-tumpuk, atau hanya sekedar berlari sekencang-kencangnya, dia merasa sangat lega. Rasanya seperti seseorang yang mengidam sesuatu dan akhirnya terpuaskan setelah mendapatkan makanan yang ia inginkan, atau seperti seorang perokok yang akhirnya baru bisa merasa puas saat akhirnya dia bisa menghisap rokoknya setelah tidak merokok selama beberapa hari.

Hari ini, Hayashi lagi-lagi memberikan latihan bagaimana caranya memecahkan batu bata lagi. Yuki sudah sangat bosan dengan itu. Kenapa sih, Hayashi tidak menggantinya dengan batako atau besi atau apalah yang lebih seru? Pikir Yuki.

Dan seperti biasanya, ketika Yuki disuruh memecahkan 3 tumpukan batu bata yang ada di depannya, dia memecahkannya dengan satu tangan dan pukulan. Tanpa perlu memusatkan energi atau berkonsentrasi (tapi dia berpura-pura melakukan itu kalau di depan Hayashi).

“terima kasih, Yuki-san...” Hayashi yang sudah terbiasa melihatnya hanya tersenyum dan menyuruh Yuki membuang sisa-sisa bata yang tadi dia pecahkan. Sedangkan para murid terutama murid junior yang baru masuk dan masih memakai sabuk putih tidak bisa menutup mulutnya karena menganga kagum.

Begitulah Yuki Akibara. Seorang gadis biasa yang kuliah di jurusan komunikasi massa dan hanya mempunyai beberapa teman. Semua gadis iri padanya karena dia kuat tanpa harus memperbesar lengan atau tubuhnya yang ramping, semua pemuda minder berdiri di sebelahnya karena takut mereka akan dibanting olehnya.

Namun, walaupun sudah beberapa tahun dia mengikuti karate, masih ada satu keinginan Yuki yang belum tercapai sampai sekarang.

Mendapatkan lawan yang setara dengannya...

 ---

Yuki pulang latihan karate sekitar pukul 7 malam. Saat kampus sudah sangat sepi dan yang tersisa hanyalah beberapa mobil di tempat parkir milik dosen-dosen yang lembur. Dan seperti apa yang Yuki selalu rasakan, setelah latihan karate berakhir, setelah orang-orang berhenti memujinya, dan juga setelah Hayashi berhenti menganggapnya sempurna dan kembali menyuruhnya membereskan batu bata dan peralatan untuk bertarung lainnya, dia merasa sendirian dan ‘terbuang’.

Di gedung kampus Meiji University dengan mahasiswa sekitar 3000 orang ini, tidak akan ada yang tahu siapa Yuki Akibara kalau Yuki tidak memenangkan kejuaraan nasional karate itu tahun lalu. Dan Yuki hanya bersikap datar dan seadanya saja saat medali kemenangan itu dikalungkan di lehernya. Karena dia sama sekali tidak merasakan kepuasan itu saat ia bertarung dengan lawannya di bagian final.

Karena itulah dia merasa dirinya aneh dan menjauh dari orang banyak. Hanya datang ke kampus untuk belajar. Kalau sedang menunggu kelas berikutnya, dia akan pergi ke perpustakaan untuk membaca atau mengerjakan tugas untuk besok dan minggu depan, atau kalau kelas sudah berakhir di hari itu, Yuki pasti langsung pulang ke rumah.

Tapi jangan berpikir kalau Yuki adalah anak yang polos, baik, dan tidak tahu apa-apa. Seperti sekarang, setelah dia keluar dari gedung kampus yang bebas asap rokok, dia mengeluarkan bungkus rokok Marlboro Black Menthol-nya. Dia mengambil sebatang juga korek zippo berwarna biru dari tasnya. Setelah rokok disulut oleh api, dia menghisapnya dalam-dalam dan asap rokok menghembus keluar dari mulutnya.

Satu hal lagi yang membuatnya semakin merasa dirinya adalah orang aneh. Sejak SMA, dia sudah mengenal rokok dan dia bisa saja menghabiskan satu bungkus Black Menthol atau Marlboro Red dalam sehari saja, tapi dia tidak pernah terkena masalah penyakit dikarenakan racun itu. Padahal dia pernah mendengar cerita dari beberapa temannya kalau mereka menderita beberapa penyakit yang disebabkan oleh lintingan racun itu. Dia merokok seperti ini tidak akan berpengaruh pada kesehatannya untuk karate. Dia tidak pernah terengah-engah saat berlari seperti seorang perokok berat alami pada umumnya.

Dia sedang dalam perjalanan menuju halte bis untuk dengan berjalan kaki saat ia mendengar iPhone yang ada di saku celana jeansnya berbunyi. Dengan cepat, dia mengangkat telepon itu dan terdengar suara ibunya.

“ya...” jawab Yuki dengan malas. “aku akan segera kesana. Sisakan french fries itu untukku, bu...” dan Yuki menutup teleponnya.

Yuki menggelengkan kepalanya. Kenapa ibunya sekarang hampir setiap hari menyuruhnya ke tempat kerjanya, sih? Akhirnya dia batal pergi menuju halte. Gantinya dia mencegat sebuah taksi kosong yang kebetulan lewat di jalanan kampus yang sudah sepi untuk dia tumpangi menuju tempat ibunya berada. Ibunya tidak akan pernah suka kalau dia melihat Yuki menaiki bis.

 ---

Yang dimaksud tempat kerja Nara Akibara, ibu Yuki,adalah sebuah butik kelas atas yang terletak di pusat kota Tokyo, Shibuya. Nara Akibara adalah seorang desainer kelas atas yang juga merangkap sebagai stylist untuk pelanggan-pelangannya yang biasanya adalah artis-artis, pejabat, dan orang-orang dari kalangan atas lainnya.

Butik miliknya itu letaknya juga berjejer dengan toko-toko kelas atas lainnya seperti Zara, Charles and Keith, Marc Jacobs, Chanel, Louis Vuitton di pedestrian yang biasanya dilalui oleh orang-orang yang berpakaian modis, bermake up tebal, dan berambut yang sangat terawat ini. Dan sedikit lagi, reputasi Nara, nama merk fashion milik ibu Yuki akan sejajar dengan toko-toko bermerk luar negeri yang ada di sebelah tokonya itu.

Namun Yuki tidak pernah peduli dengan hal itu. Dia mendukung dan menghargai pekerjaan ibunya karena fashion adalah hal yang dicintai oleh wanita yang telah melahirkannya itu, tapi dia tidak pernah ikut mencintai fashion. Hanya dia saja yang turun dari taksi di ujung pedestrian dengan kaos oblong putih dengan jaket jeansnya yang sudah ia miliki saat usianya masih 18 tahun. Dia bahkan sudah lupa kapan dia membeli celana jeans yang warnanya sudah pudar yang ia kenakan sekarang. Sneakers yang dia pakai sudah pernah 2 kali dijahit karena solnya lepas. Dia mengenakan topi hitam bertuliskan New York yang merupakan oleh-oleh ibunya dari kota Big Apple dan menyulut rokok yang sudah menempel di bibirnya yang merah alami itu. Rokok yang dia hisap sekarang itu adalah rokok ketiga sejak ia keluar dari kampus tadi.

Dia berjalan dengan cuek tanpa mempedulikan pandangan orang-orang terhadap rokok yang menempel di sela-sela jarinya. Daerah pedestrian tempat ia berjalan ini memang daerah bebas rokok juga. Tapi karena dia tidak melihat satu pun polisi atau petugas keamanan lainnya di sekitarnya, dia dengan cuek merokok saja. Entah kenapa, bagi Yuki rasanya melanggar peraturan seperti ini sangat seru.

Dan rokok itu sekarang tersisa setengah saat ia memasuki butik ibunya yang sudah tutup itu. Belum apa-apa, dia sudah mendengar ibunya menegurnya.

“Yuki, cepat matikan rokok itu. Aku tidak mau abunya mengenai lantai karpetku.” Perintah ibunya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari tumpukan-tumpukan kertas yang berisi rancangan terbarunya.

“baik, ibu...” Yuki menurut dengan enggan. Dia berjalan menuju meja kasir tempat ibunya berdiri dan meraih sebuah asbak kaca bening yang disediakan untuk mematikan api rokoknya. Yuki tahu, ibunya sengaja menyediakan asbak itu bukan untuk pelanggannya yang merokok. Tapi itu untuknya, yang sering kali datang ke butik dengan membawa rokok di tangan.

“dan besok aku tidak mau melihatmu mengenakan baju itu lagi. Aku masih ingat 2 hari yang lalu kau mengenakan baju yang sama.” Nara mengatakan kata ‘baju’ seolah dia merasa sangat tidak suka melihat putri semata wayangnya itu berpakaian seperti yang ia lihat sekarang.

“jadi harusnya aku memakai apa ke kampus? Gaun sepanjang 5 meter bermerk Nara?” Yuki membalas dengan sarkastik.

“aku juga tidak suka melihatmu pulang malam seperti ini karena kegiatan olahraga yang melelahkan itu.” Yuki tahu, bukan sekali dua kali ia mendengar ibunya berkata seperti ini.

“ibu, kurasa kata ‘karate’ bukanlah kata yang sulit untuk diucapkan oleh ibu yang bisa berbicara 3 bahasa.”

“ibu hanya tidak suka kau pulang malam. Apa kau kesini dengan menaiki taksi?” ibunya bertanya dengan nada menyelidik.

“ya. Tentu saja. sesuai permintaan ibu.” Yuki berusaha menjawab dengan sopan. Ia sadar ibunya bersikap menyebalkan seperti ini karena dia adalah seorang desainer ternama dan tidak ingin melihat putrinya berpakaian yang ia anggap adalah pakaian ala tunawisma yang datang menaiki bis yang penuh dengan copet dan orang-orang berbahaya lainnya. Oh, satu lagi, ibunya bukanlah seorang perokok dan cenderung anti terhadap rokok. Dia bahkan bergabung ke dalam kampanye anti rokok beberapa bulan yang lalu. Dan dia pasti malu kalau orang-orang tahu putrinya sendiri malah merokok.

“bagus. Karena aku tidak suka melihatmu menaiki bis.” Ibunya puas.

“baiklah. Toko sudah tutup, karyawan-karyawan ibu sudah pulang semua, bagaimana kalau ibu taruh kertas-kertas desain itu dan kita juga ikut pulang atau makan di suatu tempat?” Yuki memohon. Ibunya menyuruhnya datang ke butiknya karena dia ingin mengajak Yuki pulang bersamanya menaiki mobil Maserati Quattroporte yang diparkir di tempat parkir pedestrian. Biasanya sebelum pulang, mereka akan mampir dulu ke sebuah kafe atau restoran untuk makan malam.

“sebentar lagi ibu akan selesai.” Jawab ibunya datar.

“oke. Kalau begitu, mana french fries yang ibu janjikan padaku di telepon?” Yuki menagih janji ibunya.

Dengan ekspresi jengkel, Nara mengambil sebuah kantong dari restoran cepat saji KFC yang sengaja Nara pesan delivery dari restoran yang Nara benci namun Yuki sukai itu. Kantong itu tidak hanya berisi french fries, tapi juga Big Mac dan segelas 7Up yang sudah tidak dingin lagi karena dibeli tadi sore. Dia menyerahkan kantong itu ke Yuki yang sudah kelaparan itu.

“ini bisa membuatmu bungkam, kan?” kata Nara ketika menyerahkannya. Dia tahu putrinya itu tidak akan pernah berhenti mengajaknya pulang saat dia sibuk kalau dia tidak memberikan camilan atau makanan seperti ini.

Dengan senang, Yuki menerima kantong itu. “terima kasih, ibu...”

Yuki berjalan ke sofa yang ada di sisi kanan butik untuk makan. Sofa super empuk itu hanya salah satu bagian dari kemewahan butik ini. Butik Nara ini cukup luas. Dindingnya diberi wallpaper berwarna beige dengan lantai karpet yang sangat lembut berwarna cokelat seperti daun-daun saat musim gugur. Yuki sampai merasa kalau seandainya sneakers Pumanya bisa bicara, sneakersnya itu pasti akan minder untuk menginjak karpet mewah itu. Gaun-gaun bernuansa klasik nan elegan yang digantung dengan rapi di sisi-sisi butik itu terbatas stoknya. Membuat pelanggan menjadi harus cepat-cepat memesan gaun-gaun indah itu sebelum kehabisan karena ibunya tidak akan memproduksi gaun itu lagi. Begitu juga dengan rancangan-rancangan kasual yang ada di sekitar Yuki. Semua celana-celana jeans dengan bahan terbaik kelas dunia, kaus-kaus yang harganya bisa mencapai 30.000 yen, blazer-blazer untuk kalangan anak muda yang ada di toko ini bisa ditemukan di lemari pakaian Yuki. Namun Yuki hampir tidak pernah mengenakannya kecuali kalau ibunya meminta.

Aksesoris-aksesoris mahal seperti kalung dengan liontin lambang Nara, gelang, sepatu, bandana, kacamata hitam, syal semuanya dipajang di bagian tengah butik. Dan Yuki juga tidak pernah tertarik dengan benda-benda itu walaupun dia bisa mengambilnya begitu saja dari rak display dengan gratis. Dia malah tertawa dalam hati saat memperhatikan jam tangannya yang tidak menunjukkan waktu yang tepat karena baterainya habis setelah ia sekilas melihat jam tangan mutiara imitasi hitam limited edition yang katanya diincar oleh banyak orang di antara aksesoris-aksesoris itu.

Ibunya sudah beribu-ribu kali meminta Yuki menjadi ikon fashionnya. Karena ibunya tahu, Yuki sebenarnya berwajah sangat cantik seperti ibunya dan sedikit mirip ayahnya yang hampir tidak pernah ia temui. Dia mempunyai wajah berbentuk oval yang merupakan sebuah bentuk wajah yang sempurna, berhidung mungil, bermata sipit berkelopak dan tajam ala model, bibir tipis berwarna merah alami dan rambut hitam ikalnya yang sepunggungnya itu membuatnya terlihat seksi dan menunjang kecantikannya. Ditambah dengan kulit putih pucatnya itu, dia nyaris sempurna. Hanya saja, karena dia sering mengenakan topi dan berpenampilan ala ‘tunawisma’, tidak ada satupun yang menyadari kecantikannya. Tidak ada satupun juga manusia dan vampir di kampusnya yang tahu kalau dia adalah anak dari seorang perancang tas, kaus, celana, dan sepatu yang sering dikenakan anak-anak kalangan elit ke kampus. Bahkan mereka mungkin tidak akan percaya kalau semisalnya Yuki bercerita pada mereka kalau ibunya adalah seorang Nara Akibara dan akan menganggap nama belakang Yuki hanya kebetulan sama.

Tapi sayangnya, pekerjaan yang ditawarkan Nara selalu ditolak oleh Yuki. Yuki tidak suka menjadi model yang harus menjaga pola makannya atau hanya memakan salad dan makanan-makanan yang rendah kalori lainnya. Dia tidak mau pergi ke tempat fitness atau ikut kelas aerobik hanya untuk membentuk tubuhnya yang sudah sempurna karena latihan karatenya itu. Dia menolak profesi itu karena dia merasa dia tidak akan pernah bisa menjadi dirinya sendiri.

Dia nyaman dengan dirinya sendiri. Dia lebih suka tubuhnya yang sempurna menurut orang-orang kenalan ibunya dari dunia fashion tersembunyi di balik pakaiannya yang sangat sederhana ini...

 ---

Mereka sampai di rumah mereka yang ada di kawasan perumahan elit itu sekitar jam 10 malam setelah mereka mampir untuk makan malam di restoran perancis yang mereka lewati saat dalam perjalanan pulang.

Dengan cepat Yuki membuka pintu rumah berbahan kayu jati dan mempunyai 2 daun itu. Dia melepaskan sneakersnya begitu saja tanpa merapikannya atau memasukkannya ke dalam lemari sepatu yang letaknya tidak jauh dari pintu.

“lebih baik kau cepat tidur, Yuki! Jangan mampir ke dapur lagi! Kau sudah menghabiskan Big Mac dan 2 piring pasta tadi!” ibunya memperingatkan. Yuki bisa melihat ibunya masuk ke dalam rumah mereka dengan anggun dan melepas high heels 12 cm rancangannya sendiri dan meletakkannya ke dalam lemari sepatu beserta sneakers milik Yuki.

Melihat itu, Yuki merasa ibunya kembali menjadi orang biasa saat di rumah. Seorang ibu biasa yang mengatur, mengingatkan, memasak, bahkan sampai merapikan sepatu anaknya sendiri padahal di luar dia mempunyai banyak anak buah yang sering ia perintah.

Yuki kagum dengan ibunya yang sanggup mengurus rumah besar ini sendirian tanpa mempekerjakan pembantu atau pelayan sama sekali. Padahal rumah ini berlantai 2, dengan nuansa yang tidak jauh berbeda dari butik milik ibunya, kecuali bagian dinding rumahnya yang seluruhnya berwarna ungu.

Dia jadi teringat ibunya saat mengenakan T-Shirt putih polos dan celana training tanpa merk yang menjadi pakaian yang ia kenakan saat hari Sabtu dan Minggu. Dengan pakaian itu, dia membersihkan lantai dengan vaccum cleaner sambil berteriak pada Yuki yang berlatih jurus karatenya di halaman belakang untuk membersihkan kamar mandi, memasak makan malam yang sangat enak untuk mereka berdua. Yuki sering membantu ibunya itu memasak. Terkadang mereka tertawa bersama saat menyadari masakan buatan mereka berdua kelewat asin atau manis ketika mereka cicipi.

Sudah menjadi kebiasaan Nara memperingatkan anaknya untuk tidak makan malam lagi atau menggondol camilan dari dapur untuk ia makan saat tengah malam. Karena bawaan profesi stylist, dia sering memperingatkan Yuki untuk menjaga berat badannya. Walaupun dia sama sekali tidak pernah melihat Yuki menjadi gendut walaupun porsi makannya melebihi porsi normal.

“iya, ibu!” jawab Yuki yang tahu-tahu sudah ada di lantai atas begitu saja. Nara pun diam saat dia mendengar Yuki menutup pintu kamarnya.

Ketika Yuki sudah ada di dalam kamarnya. Dia melempar tas ranselnya sekenanya ke sudut kamar. Dia membanting dirinya ke atas kasur ukuran single yang sangat empuk. Dia menatap ke seluruh sudut kamarnya. Kamarnya benar-benar jauh berbeda dari bagian rumah yang lain. Kamarnya dicat berwarna hitam, seluruh perabotannya berwarna putih dengan pernak pernik gothic, lantai kamarnya hanya berupa lantai kayu biasa, dengan jendela dan tirai yang berwarna hitam. Bagi Yuki yang alergi dengan cahaya matahari, cara itu adalah cara yang sangat bagus untuk menghalangi sinar yang masuk ke kamarnya saat siang hari itu.

Karena sudah kekenyangan ditambah rasa nyamannya berbaring di kasurnya yang empuk itu, dia langsung tertidur lelap tanpa mengganti pakaiannya sama sekali.

 ---

Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi ketika pria bermantel hitam itu berdiri di depan rumah keluarga Akibara, rumah yang hanya ditinggali oleh seorang wanita perancang busana terkenal bersama putrinya yang cantik itu.

Dia membuang rokok Marlboro Black Mentholnya yang sudah mengecil ukurannya itu ke tanah dan menginjaknya dengan sepatu kulitnya yang tebal dan mengilap. Di sekitarnya sepi karena semua penghuni perumahan ini sudah terlelap di atas kasur mereka yang mewah dan empuk.

Kulit pria itu sama seperti Yuki, putih pucat. Badannya tegap dan terlihat sangat kuat. Di balik topi baretnya yang hitam itu adalah rambutnya yang berwarna cokelat dengan potongan rambut seperti anggota-anggota band aliran visual kei yang terkenal di Jepang agar dia bisa membaur di kerumunan orang-orang. Matanya yang berwarna kuning terang itu disembunyikan dengan kacamata hitamnya itu kini menatap sebuah jendela kamar di lantai 2 yang ia tahu betul jendela itu adalah satu-satunya jendela tidak pernah dibuka di rumah keluarga Akibara. Saat menatapnya, sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya yang menyembunyikan sepasang taring yang mampu menyayat siapapun yang ia inginkan.

Dengan kecepatan dan ketangkasannya, dia berlari dan meloncati pagar rumah itu. Kemampuannya itu jugalah yang sanggup membuatnya menaiki atap rumah tanpa sedikit pun menimbulkan suara.

Dan sekarang, dia berdiri di depan jendela kamar itu. Dengan sebuah cara yang sangat lihai, dia bisa membuka kunci jendela tanpa merusaknya. Dengan pelan, dia membukanya dan menyibakkan tirai hitam yang menghalangi jalannya untuk masuk.

Dia bisa melihat bayangannya sendiri berada di lantai karena cahaya bulan yang masuk dan menyinari punggungnya. Dia melangkah perlahan menuju tempat tidur di tengah kamar itu. Di atasnya berbaringlah seorang gadis yang selalu ia amati setiap hari. Kemana pun gadis itu pergi, dia pasti akan mengikutinya tanpa gadis itu sadari. Dia tahu setiap detail tentang gadis itu, sampai dia mengikuti kebiasaannya. Rokok Marlboro Black Menthol yang tadi dia hisap adalah salah satu contohnya, karena rokok itu adalah kesukaan gadis ini.

Sudah beberapa malam ini dia melanggar peraturan dengan masuk diam-diam ke dalam kamar gadis ini dan memperhatikan dia tidur. Dia bisa melihat gadis ini masih mengenakan pakaian yang sama saat dia melihatnya keluar dari kampus tempat kuliahnya tadi.

Karena terlalu sering mengamati, dia jadi mengagumi gadis ini. Dia mengagumi setiap jengkalnya. Wajahnya yang sangat cantik walaupun saat sedang tidur sekalipun, rambutnya yang berantakan membuatnya ingin membelai rambutnya dengan lembut, bibirnya yang baru saja terkatup seperti menggodanya untuk menciumnya.

Dia berlutut di sisi tempat tidur dan menggenggam tangannya dengan penuh kasih, tanpa membuat gadis itu terjaga dari tidurnya. Hanya kepada gadis inilah dia bisa bersikap lemah lembut seperti ini, hanya gadis ini yang menjadi tempat tujuannya saat ia sudah berlumuran darah dan dosa. Seakan gadis ini bisa membuatnya menjadi ‘bersih’ kembali.

Ya, seorang gadis yang baru saja menjadi seorang wanita. Wangi darahnya yang khas merasuk ke dalam hidungnya yang dikaruniai penciuman yang sangat tajam. Dia sangat menyukai wangi ini. Rasanya dia ingin sekali menancapkan taringnya dengan penuh kasih sayang ke leher wanita yang sangat menggairahkan nalurinya itu.

Saat ia hendak bangkit untuk menghirup wangi itu di lehernya, dia merasakan sebuah getaran dari gadis itu. Dia sudah menyadari keberadaannya. Dan dengan cepat tanpa terlihat dia langsung berlari keluar tanpa meninggalkan jejak sebelum gadis itu membuka matanya.

Ketika dia berlari agar gadis itu tidak melihat dirinya, gadis itu terbangun dari tidurnya dengan nafas yang tercekat dan tubuh yang bermandikan keringat. Seakan-akan instingnya menyadari kalau tadi baru saja seseorang memasuki kamarnya, dan mengamatinya yang sedang tertidur dengan lelap...

No comments:

Post a Comment