Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Friday, December 2, 2011

New World (9)

9

Setelah Kai meninggalkan markas bersama tiga anak buahnya, Emily pergi ke kamar ayahnya, membawa kotak kardus berisi file kasus pembunuhan ibunya dan 2 korban penghisapan darah ada di tangannya. Dia tahu seharusnya dia ke ruang direktur untuk menemui Akito, tapi dia tidak bisa. Rasa penasaran masih mengganjal hatinya, membuat dia masih ingin terus menggali kebenaran dari kedua kasus itu.

Berkat transfusi darah dari Nao tadi pagi, dia bisa mengontrol nafsu makannya. Emily menertawakan dirinya sendiri. Pada dasarnya dia memang seorang vampir sejak dia lahir. Dia hanya lahir dari tubuh manusia, yaitu ibunya. Bedanya Emily tidak memiliki taring seperti vampir umumnya.

Dia menaruh kotak kardus itu di atas meja depan perapian sebelum ia duduk di sofa. Emily membuka kotaknya dan mengambil laporan data tentang kematian 2 gadis korban penghisapan. Pertama-tama dia membaca secara teliti data tentang Haruna Fujimoto sang korban pertama. Sesuai informasi dari ketiga anak buah Kai, jasad Haruna ditemukan di dekat bar kecil yang lokasinya masih relatif dekat dari markas ini. dia ditemukan oleh seorang pengunjung yang pergi ke bagian belakang bar untuk menghilangkan mabuknya. Tidak disangka, mabuknya langsung reda setelah dia menemukan jasad Haruna dalam keadaan mengenaskan.

Emily melihat foto-foto TKPnya. Haruna ditemukan di sudut halaman belakang bar mengenakan sehelai gaun putih sederhana saja. Sepertinya si pembunuh belum merasa cukup menambahkan keanehan di TKP karena dia juga menaruh seluruh pakaian dan barang-barang milik Haruna yang terakhir kali almarhum kenakan. Lengkap, bersih, tidak ada yang cacat sama sekali. Hal yang sama terjadi juga di TKP korban kedua, Harumi Shimizu.

Hibiki berkata mungkin si pembunuh menaruh semua itu karena dia merasa ‘urusan’nya dengan Haruna dan Harumi sudah selesai. Dia hanya memanfaatkan mereka sebagai objek siksaannya dan sumber makanannya lalu ‘mengembalikan’ mereka kepada orang-orang yang menyayangi mereka.

Emily mengamati juga foto-foto luka luar di tubuh mereka. Sayatan berpola sangat rapi di kedua pergelangan tangan, bekas gigitan vampir di leher, dan bekas luka bakar kecil di punggung mereka. Di catatan itu tertulis kalau senjata yang menyebabkan luka bakar kecil itu adalah stun gun.

Emily sedikit merasa mual ketika membayangkan bagaimana si pembunuh melakukan aksinya. Vampir keji itu menyayat kedua tangan mereka tanpa belas kasihan, menghirup aroma darah yang lezat sebelum meneguknya sampai habis.

Lalu Emily menyadari sesuatu. Bukankah ada aturan tentang penghisapan darah sampai habis?

Emily mengeluarkan seluruh isi kardus cokelat tersebut, mengelompokkan data-data yang ada sesuai kasusnya sebelum dia mengeluarkan selembar kertas berisi peraturan-peraturan PF yang diberikan Kai tadi. Emily membaca dengan seksama peraturan itu dari pertama sampai akhir.

1. jangan membawa dendam pribadi saat melaksanakan misi karena akan berakibat fatal
2. hanya membunuh orang-orang yang perlu dibunuh
3. jangan menjual senjata atau narkotika kepada orang di bawah umur
4. jangan membunuh penduduk sipil yang tidak bersalah
5. jangan sembarangan memburu manusia untuk dijadikan ‘makanan’
6. jangan melakukan pengisapan darah sampai habis. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya, dan untuk kepentingan tertentu juga.
7. jangan pernah mengkhianati partner dan saudara
8. selalu membawa senjata kemana pun kau pergi
9. jangan terlalu mudah percaya pada kata-kata orang lain
10. jangan sembunyikan potensi bagus di dalam dirimu
11. jangan pernah mengambil keuntungan dari orang-orang tidak berdaya
12. jangan pernah ragu meminta maaf saat kau berbuat salah pada orang lain
13. jangan pernah melukai wanita, kecuali kalau dia mengincar nyawamu
14. selalu menjaga wibawa, jangan pernah memperlihatkan ketakutan di depan musuh
15. selalu menjaga hubungan baik di antara klan PF dan klan-klan sekutu
16. jangan merusak fasilitas umum kecuali saat dibutuhkan
17. jangan menganggap orang lain ‘polos’ atau tidak berdosa. Kau tidak akan tahu apa yang dia sembunyikan
18. bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat – apapun konsekuensinya

Sejenak Emily merenungkan seluruh isi peraturan tersebut. Lalu sebuah senyum tersungging di bibirnya. Dia langsung membereskan kembali seluruh data kasus yang tersebar di meja, mengembalikannya ke dalam kotak kardus. Kemudian dia keluar dari kamarnya, menuju ruang direktur.

 ---

Di ruang direktur, Akito sudah menanti Emily sambil meminum secangkir teh dicampur sedikit blood wine. Pria yang mirip sekali dengan Kai itu menikmati minuman ‘aneh’ itu sambil duduk di sofa. Dia sedikit terkejut saat Emily datang tergesa-gesa padanya.

“menikmati minumanmu, Akito?” sapa Emily. Dia masih berdiri di sebelah sofa, membawa kotak kardus.

“ah, Emily. Aku tidak sadar kau datang karena aku terlalu menikmati teh ini.” Akito menunjuk teh hangatnya.

“apa itu dicampur darah?” tanya Emily.

“tentu saja. tapi akan kubuatkan tanpa darah kalau kau mau...” Akito menawarkan.

“tidak usah. Mungkin nanti saja.” Emily duduk di samping Akito. “kata Kai aku dipanggil olehmu kemari. Ada apa?”

“ya...” Akito menaruh cangkir tehnya ke atas meja. “aku ingin menjelaskanmu tentang apa yang harus kau lakukan setelah berada disini, Emily...”

“aku harus melakukan apa?”

“pertama-tama, apa kau sudah membaca peraturan PF?” tanya Akito. Emily tidak menjawab. Dia menaruh kotak kardus itu ke atas meja dan mengeluarkan kertas berisi peraturan dari dalamnya.

“ayahku tampaknya teliti sekali dalam membuat peraturan.” Komentar Emily.

“tentu saja, karena dia membuatnya setelah dia mengalaminya sendiri bersama kami.” Kata Akito. “dia tidak pernah menulisnya di atas kertas. Dia hanya mengucapkannya secara spontan.”

“lalu kau mengingat semua itu kemudian menulisnya disini. Rajin sekali...” Emily tersenyum. “pantas saja ayahku memintamu menjadi wakilnya.”

“aku tidak pernah tahu kenapa dia memilihku menjadi wakil, tetapi aku merasa sangat terhormat ketika dilantik untuk itu.” Ujar Akito. “ngomong-ngomong kotak itu berisi apa?” dia mengintip kotak kardus itu.

“oh, file kasus pembunuhan dan penghisapan darah sampai habis terhadap 2 gadis dan...” kali ini Emily mengucapkannya lebih pelan dan dalam. “kasus pembunuhan terhadap ibuku...”

“boleh kulihat?” Akito meminta izin. Emily mengangguk sebagai jawaban ya. Akito lalu mengeluarkan seluruh map dan data-data kasus itu lalu mengaturnya dengan rapi di meja.

“selain memenuhi permintaanmu, aku datang kemari untuk bertanya satu hal padamu.” Kata Emily. “siapa saja yang diperbolehkan melakukan penghisapan sampai habis? Karena kalau hanya orang-orang tertentu saja seperti kita yang melakukannya, berarti kita dalam masalah besar, bukan?”

“selain PF, ada beberapa klan lain yang mempunyai izin untuk melakukannya. Tetapi PF mengawasi mereka dan mereka harus memberikan laporan kepada kita untuk melakukan prosedur itu.” Jawab Akito.

“kalau begitu, kita bisa mempersempit pencarian, bukan? Aku yakin kalian sudah memikirkan itu dari dulu. Tapi kenapa kalian tidak segera bertindak?” Emily bertanya dengan nada sedikit kesal.

“maaf, Emily-sama. Tetapi seperti yang kukatakan sebelumnya kita tidak bisa begitu saja menggeledah dan menyelidiki mereka karena mereka memiliki aturan sendiri dan kita harus menghormati itu. Satu-satunya yang bisa mematahkan aturan itu hanyalah surat izin dari pemimpin PF yang sah. Aku tidak termasuk karena aku hanyalah pengganti sementara Damian seperti yang beliau katakan di surat wasiatnya. Aku hanya bertanggung jawab di ruang lingkup markas ini dan sebagai penghubung saja.” Akito memberikan alasan.

“jadi mereka baru akan mengizinkan setelah aku mendatangi tempat mereka, begitu?” tanya Emily.

“kau benar.”

“ya sudah. Kau sudah mendapatkanku. Kau menunggu apalagi?”

“Emily, kau harus dilantik terlebih dulu sebelum menjadi pemimpin yang sah.” Akito menyebutkan syaratnya. “dan sebelumnya kau harus melalui beberapa hal. Kau akan menjadi pemimpin hebat, Em, aku dan yang lain tidak akan meragukannya. Namun kau harus belajar banyak hal juga. Berlatih menembak, berburu, menyesuaikan diri, dan sebagainya. Seluruh kekuatan luar biasa di dalam dirimu harus bisa kau kendalikan terlebih dulu. Setelah itu kau akan bertemu dengan Sang Kardinal secara privat karena dia ingin melihatmu sebagai pemimpin untuk pertama kali. Lalu pesta pelantikan akan diadakan.”

“kapan semua itu akan diadakan?” Emily menjadi pusing. Ternyata prosesnya panjang sekali.

“saat kau sudah siap, Emily.” Jawab Akito dengan nada hormat.

“tapi kita harus cepat mengadakannya karena ada seseorang di luar sana mengincar nyawaku. Benar begitu?” tebak Emily. Akito mengangguk.

“aku dan Kai akan mengawasi perkembanganmu, dibantu oleh yang lain juga. Mereka akan mengajarmu secara langsung atau tidak langsung.” Akito menjelaskan lagi. “aku tahu ini berat, Emily. Tapi aku yakin kau pasti akan melewatinya dengan baik.”

“selama aku bisa menemukan pembunuh kedua orang tuaku, tidak masalah.” Emily mengangkat bahunya.

“aku ingin bertanya padamu, Em...” Akito menggeser posisi duduknya lebih dekat ke Emily. Wajahnya berubah semakin serius. “kalau seandainya kau menemukan pelakunya, kau akan melakukan apa?”

“tentu saja aku akan membuat dia sengsara sampai dia menyesal sudah dilahirkan ke dunia ini lalu membunuhnya dengan cara yang sangat sadis. Memenggal kepalanya lalu dibakar bagiku masih belum cukup.” Jawab Emily sungguh-sungguh. Dari nanar matanya yang sangat marah, Akito percaya.

Akito tersenyum misterius dan memberikan tatapan isyarat ke Emily. Seperti dia ingin menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang gadis itu katakan. Namun Emily tidak mengerti maksud Akito. Akito pun beralih ke tumpukan file kasus yang ada di atas meja. Dia mengambil data kasus penghisapan darah dan pembunuhan Nara Akibara.

“setelah mendengar kata-katamu barusan, aku menyadari satu hal dari 2 kasus ini. kau bisa menebaknya?” tanya Akito. Emily menggelengkan kepalanya.

“pertama, Haruna dan Harumi ditemukan tewas dalam keadaan menderita. Menurut data disini, kedua korban diracuni oleh gas butan, membuat mereka mati perlahan seiring rongga hidung mereka rusak karena gas itu. Kedua, Nara Akibara ditemukan tewas seketika di rumahnya karena luka tembak...” Akito memberi petunjuk.

Emily menggelengkan kepalanya lagi. “maaf, aku tidak mengerti...”

“pembunuhan yang disebabkan oleh rasa manusiawi seperti dendam, rasa cemburu, iri, dan lainnya, biasanya sang pembunuh tidak akan melakukannya dengan cara ‘pintar’ dan ‘kreatif’. Mereka pasti langsung ke intinya, mencari cara untuk langsung mengakhiri hidup mereka. Berbeda dari pembunuhan yang disebabkan untuk kesenangan saja. Kasus penghisapan darah ini salah satu contohnya. Si pembunuh memakai gas butan untuk membuat korbannya mati perlahan padahal dia pasti tahu benar dia bisa membunuh mereka dalam sekejap hanya dengan menggigit mereka.” Akito menerangkan.

“hoo... kau benar juga. Tapi kenapa begitu? Bukankah dia sudah mendapatkan kepuasan dari salah satu modus itu? Kenapa harus menggunakan keduanya?”

“maka dari itu...” Akito mengumpulkan lagi seluruh berkas data itu lalu memasukkannya ke dalam kotak kardus. “aku akan mengenalkanmu pada seseorang.”

 ---

Akito membawa Emily ke lantai 7, laboratorium dan tempat penyimpanan senjata yang digunakan PF. Menurut penjelasan Akito, laboratorium itu adalah tempat yang paling ketat penjagaannya. Orang yang ingin pergi ke lantai ini selain harus memasukkan kode ke kunci elektronik, orang itu harus memindai matanya di mesin iris scanner yang ada di lift.

Emily kaget saat dia berhasil mendapatkan izin dari mesin itu saat ia diminta memindai matanya oleh Akito di lift. Akito berkata kalau semua akses di gedung ini bebas Emily masuki.

Ketika mereka sudah sampai di laboraturium, Emily terperangah kagum. Ini lab paling keren yang pernah dia masuki, pikir Emily. Seperti lab milik Shou dan Nao, lab ini juga didominasi warna putih. Mikroskop, mesin spektrometri massa, seperangkat komputer tentunya ada di lab ini. Tapi yang membedakan adalah dinding lab ini dihiasi oleh senjata-senjata seperti shotgun, sub-machine gun, pisau, dan lainnya ada di balik lemari kaca yang digantung di dinding.

“ini. luar. biasa.” Ujar Emily kagum seraya kepalanya mendongak ke lemari pajangan itu.

“oh, senjata ini hanya replika. Tidak bisa digunakan.” Sebuah suara terdengar di telinga Emily. Ketika dia menurunkan kepalanya, di depannya sudah ada seorang wanita berpenampilan ‘menarik’. Seorang wanita vampir mengenakan pakaian seperti anak kecil di jaman victorian. Dress leher tinggi berlengan panjang yang panjangnya selutut warna gading dengan legging putih dan sepatu flat warna hitam. Rambutnya dikuncir dua dan diberi pita abu-abu yang sangat manis. Wanita itu memberi hormat kepada Emily. Kedua tangannya mengangkat sedikit sisi roknya dan membungkuk ala kerajaan sambil memperkenalkan namanya, Airi.

“akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga, Emily!” dia menghambur ke arah Emily dan memeluknya. “bagaimana? Apa kau menyukai tempat ini?”

“ya, tempat ini keren. Aku suka senjata itu.” Emily menunjuk salah satu senjata api hitam yang letaknya berada di paling bawah lemari display.

“oh, itu senjata pertamaku. Glock 20C kaliber 10mm, 15 magazin.” Airi menjawab.

“wow. Kapan kau mendapatkannya?” tanya Emily.

“biar kuingat-ingat...” Airi menaruh jari telunjuknya di dagu, matanya menerawang ke atas untuk berpikir. “oh ya, aku ingat! Itu hadiah dari pamanku saat ulang tahunku yang ke-17!”

Mendengar itu Emily menjadi kagum pada wanita ini. “kau penanggung jawab lab ini?”

“tentu saja. ini istanaku. Aku melakukan semuanya disini.” Airi berputar dengan bangga seakan lab ini adalah taman bermainnya. “tunggu dulu, kalau tidak salah aku menyimpan hadiah selamat datang untukmu, Emily. Tapi aku lupa menaruhnya dimana...” Airi mengacak-acak meja kerjanya, mencari hadiah yang ia maksud.

Emily melirik Akito memberitahu pria itu dalam diam kalau Airi unik sekali. Akito hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. Airi seperti anak kecil, pikir Emily. Sikapnya, nada bicaranya, penampilannya. Semuanya alami dan tidak ada yang dibuat-buat.

Airi sebenarnya mempunyai masa lalu yang paling kelam daripada anggota PF lainnya. Airi berasal dari keluarga mafia perampok dan mereka sangat ahli di bidang itu. Mereka hidup dalam kemewahan dari hasil jarahan mereka. Mereka mendirikan rumah-rumah mewah, kasino, bar saat masa kejayaan mereka. Saat itu, tidak ada yang berani menangkap mereka karena polisi sendiri saja sudah takut.

Airi yang waktu itu masih anak-anak, diperlakukan seperti putri dan anak bawang. Dia memang diberi pelajaran tentang bagaimana cara menjadi mata-mata sekaligus pembunuh, tetapi ayah dan kakak-kakaknya tidak pernah mengizinkannya terjun ke lapangan. Dia tidak ingin Airi membunuh dan melihat korban-korban mereka. Airi tinggal di zona aman, tinggal di rumah layaknya istana sendirian bersama para pelayannya dari hasil uang haram mereka, yang dibayar oleh keringat dan darah. Hal itulah yang menyebabkan Airi menjadi gadis lemah lembut, tidak pernah tega melukai orang lain, tidak suka melihat orang lain bertarung dan terluka, terutama jika orang lain itu adalah orang yang disayanginya. Ketika saudara-saudara datang dalam keadaan terluka, Airi-lah yang mengobati luka mereka.

Saat revolusi, klan keluarganya terpecah belah. Sebagian karena mati terinfeksi virus Stirpes atau mati ketika berjuang di perang darah. Ada juga yang bermutasi lalu mempunyai hidup masing-masing sendirian karena tidak ingin melukai keluarganya, ada juga yang ditangkap oleh polisi seperti Airi. Kai yang sudah menjadi anggota PF menangkap Airi yang sedang sendirian di rumah mewahnya. Waktu itu keadaan Airi sekarat karena mutasi. Kai merawat Airi di markas PF atas perintah Damian. Damian pun melihat potensi baik di dalam diri Airi. Pengetahuan Airi akan persenjataan namun tidak pernah menggunakannya untuk menyakiti orang lain, Damian mempercayakan lab senjata ini kepada gadis itu.

Sikapnya yang seperti anak kecil disebabkan oleh saat masa kecilnya yang tidak pernah bisa mengenakan rok, memanjangkan rambutnya, dan bermain boneka seperti layaknya anak perempuan.

“ini dia! Selamat datang, Emily!” Airi tahu-tahu sudah muncul lagi di depan Emily, menyerahkan kotak kado berwarna hitam yang dihiasi oleh pita putih di atasnya.

“terima kasih...” Emily tersenyum menerima hadiah itu. dia lalu membuka kotak itu untuk melihat isinya. Sepasang sepatu Puma yang ukurannya pas di kaki Emily.

“aku tahu kau adalah pelari ulung. Maka dari itu aku memberimu sepatu ini. kau suka?” tanya Airi.

“ya, tentu saja. terima kasih lagi, Airi.” Emily mengucapkan terima kasih lagi. Melihat sepatu baru itu membuatnya sadar kalau sepatu lamanya ternyata sudah usang. Tentu saja, dia membelinya sekitar 3 atau 4 tahun lalu.

“Airi, maaf aku mengganggu. Tapi kami kesini untuk mencari info terbaru soal kasus itu.” Akito menyela.

“kalau begitu, kau datang disaat tepat.” Airi tersenyum lagi. “karena aku sudah mendapatkan sesuatu.” Dia membuat isyarat untuk Akito dan Emily agar mengikutinya dengan tangannya. Mereka berjalan ke arah komputer yang menyala.

“kalau seandainya aku bisa bertemu dengan si pembunuh ini, aku akan langsung menghabisi nyawanya. Dia sudah membunuh ibu Emily dan dua gadis lain! Itu kan kejam sekali!” seru Airi.

“semua kasus pembunuhan yang ditaruh di atas mejamu rata-rata dilakukan oleh pembunuh kejam, Airi...” kata Akito.

“memang, tapi khusus untuk pembunuh ini, aku tidak akan turun ke bar dan tidak akan pergi lagi dari lab ini sampai aku menemukan identitas pelaku.” Airi bersumpah. “tapi disaat sama aku agak sedikit kagum dengan pembunuh itu. dia pembunuh terkuat yang kutahu.”

“terkuat? Kau tahu darimana?” tanya Emily.

“ya, dia menggunakan dua gadis itu untuk sumber tenaganya agar bisa membunuh ibumu dan kau, Emily. Tetapi dia masih sempat saja ‘mengerjai’ dua gadis itu dengan gas butan anehnya itu.” Airi bergidik. “kau tahu, darah seorang manusia kira-kira sebanyak 6 liter lebih. Kau tahu apa yang akan terjadi kalau seorang vampir terlalu banyak minum darah?”

“menyebabkan mabuk sampai kematian, kalau tidak salah?” Emily menebak.

“yap!” Airi menjentikkan jarinya di depan wajah Emily. “dan si pembunuh menghisap habis seluruh darah mereka hanya untuk sekali hisap. Itu berarti dia membutuhkan tenaga ekstra untuk bertahan hidup.”

“Akito, bayangkan saja kau menghabiskan 6 liter darah sekaligus dalam sehari. Bagaimana rasanya?” tanya Airi pada Akito.

“eew... rasanya seperti mengonsumsi gula yang terlalu banyak. Manis dan enak, tetapi membuatku mual.” Jawab Akito.

“tunggu, kalau begitu dia bukan vampir biasa jika dia mengonsumsi darah sebanyak itu.” Emily mengambil kesimpulan.

“maaf, Em. aku belum tahu sampai kesana.” Bibir Airi mengerucut. “aku belum bisa membenarkan hal itu sebelum aku mengetes DNA si pembunuh. Karena kami belum pernah menemukan seorang vampir super, kecuali kau dan Damian.”

“selain itu, ada lagi yang kau temukan, Airi?” tanya Akito.

“ya. Aku memeriksa peluru dari jasad Nara Akibara. Kita semua tahu kalau itu berasal dari Glock 26 9mm. Tapi, aku bisa memeriksa nomor seri peluru tersebut. Dan coba tebak, aku tidak bisa menemukan pemiliknya!” kata Airi bingung.

“eh? Hal itu mustahil, Airi. Dari nomor seri itu kita bisa mengetahui nama pemiliknya. Dan itu sudah pasti.” Akito tidak percaya.

“aku sudah memeriksanya sampai 3 kali. Aku tidak bisa menyalahkan database kita karena kita selalu mengupdatenya, bukan? Tapi tetap saja, aku tidak bisa menemukannya.” Airi mengutak-atik komputernya lagi, memasukkan nomor seri peluru itu ke pencarian dan hasilnya tidak ditemukan, membuat Akito percaya.

“ini sama dengan situasi TKP rumahmu, Emily. Berantakan, penuh darah, seakan pembunuhnya ceroboh. Tapi kalian tidak menemukan jejak pelaku, bukan? Dia benar-benar membersihkannya di antara kekacauan itu. Meskipun kita menemukan satu sidik jari saja dari TKP, aku yakin saat diperiksa...” perkataan Airi diteruskan Emily.

“kita tidak akan menemukan siapa pemilik sidik jari itu. Seakan dia tidak pernah ada di dunia ini...”

“kau benar, Em...” kata Airi. “aku bisa membantu kalian dengan mencari data pembeli gas butan dari perusahaan pembuat gas itu. akan kuberitahu kalau aku mendapatkan hasil.”

“sayang sekali kita menemui jalan buntu...” Akito mendesah kecewa.

Tetapi kekecewaan Akito dipatahkan oleh senyum optimis Airi. “siapa bilang? Aku memang tidak mendapatkan identitas pembunuhnya, tetapi aku mendapatkan petunjuk.”

“apa?” tanya Emily dan Akito dalam waktu hampir bersamaan.

“dia memang pembunuh sempurna. Tetapi dia melakukan satu kesalahan. Berdasarkan nomor seri peluru itu, aku bisa tahu darimana dia membelinya.” Kata-kata Airi membuat mereka penasaran.

“dia membelinya dari Ruki! Ruki pasti punya datanya!” seru Airi riang. “aku tidak tahu apakah pembunuh ini tahu identitas Ruki di organisasi ini, namun dia membelinya dari kurcaci kita. Dia dan Andy pasti pernah melakukan transaksi dengan si pembunuh ini di suatu tempat.”

“terima kasih banyak, Airi.” Akito mendekati Airi lalu mencium pipinya lembut. “itu petunjuk yang hebat.”

“kalian saja yang bertanya pada Ruki soal ini. Aku tidak ingin melanggar sumpahku untuk tidak keluar dari lab ini lagi. Lagipula aku juga tidak ingin sembarangan masuk ke database Ruki tanpa izinnya.” Kata Airi.

“baiklah, kalau begitu. Tampaknya kita harus merusak kesenangan Ruki di Aokigahara. Ayo, Emily...” Akito menarik Emily yang tiba-tiba diam karena melihat Akito mencium Airi barusan keluar dari lab.

“eh... ya, terima kasih Airi!” Emily pamit pada wanita unik itu.

Saat mereka sudah di dalam lift, Emily masih tetap diam. Akito yang melihat sikap Emily yang berubah itu bertanya padanya.

“kau tidak apa-apa, Em?”

“ya, aku tidak apa-apa. Hanya saja baru kali ini aku menerima hadiah dari orang selain ibuku selama seumur hidupku...” Emily memandang kotak sepatu di tangannya.

“hahaha... Airi memang baik sekali. Dia menyayangi semua orang disini dan ingat tanggal ulang tahun mereka, walaupun mereka sendiri sudah lupa karena terlalu asyik menikmati kehidupan abadi.” Ujar Akito sambil terkekeh.

“karena itukah kau mencium pipinya? Karena dia baik sekali?” tanya Emily spontan.

“maksudmu? Aku biasa menciumnya kalau dia memberiku petunjuk hebat. Yah, semacam penghargaan.” Jawab Akito santai. “dia sudah seperti adikku sendiri.”

“oh... begitu...” jawab Emily datar. Entah kenapa dia merasa sedikit tidak nyaman saat melihat Akito memberikan ‘penghargaan’ itu.

No comments:

Post a Comment