Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Sunday, December 11, 2011

The Delusion (1)

1

Taksi menurunkan Yori Ishihara di depan sebuah apartemen kelas menengah ke bawah siang itu. Supir taksi membantu wanita yang baginya berdandan cukup aneh itu menurunkan kopernya yang hanya sebuah dari bagasi. Yori membayar ongkos taksi ditambah tip ke supir. Tapi supir dengan sopan menolak tip dari Yori karena perusahaan taksi yang ditumpangi Yori melarang bawahannya untuk menerima tip dari penumpang.

Baru hari pertama sudah merasakan perbedaan kebudayaan barat dan Jepang, pikir Yori. Kini taksi meninggalkan dia dengan tas ransel di punggungnya dan koper berukuran sedang di tangannya.

Yori mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. Sebuah kertas yang dilipat kecil yang ia buka perlahan-lahan. Tertulis sebuah alamat disana.

Apartemen Saido, lantai 2 nomor 23. Yori memastikan agar ia nanti tidak salah kamar. Kamar itu adalah kamar milik salah seorang temannya yang ia kenal melalui internet. Karena temannya itulah yang membuatnya kembali ke negara asalnya yang sudah lama ia tinggalkan.

Susah payah Yori menaiki tangga apartemen karena koper dan tas ranselnya yang cukup berat. Tapi karena dia sudah terbiasa mengangkut beban yang berat dia tidak terlalu merasa lelah saat dia sudah sampai di ujung tangga.

Kamar yang dimaksud ada di ujung lorong yang ada di hadapannya sekarang. Sambil berjalan dia memperhatikan nomor-nomor kamar yang tertera di setiap pintu apartemen yang ia lewati. Ia berhenti sampai ia menemukan nomor 23.

Walaupun dia sudah di depan pintu, dia tidak langsung mengetuk atau memberi salam. Dia menarik nafasnya dalam-dalam. Seumur hidupnya, dia baru pertama kali mempunyai teman yang benar-benar seorang teman di dunia nyata. Selama ini, orang-orang hanya berlalu lalang di hidupnya, hanya mampir dan pergi begitu saja. Tapi temannya kali ini berbeda, makanya dia sampai rela pergi jauh-jauh dari negara tempat dia menetap sebelumnya untuk kembali kesini.

Dia tidak ingin kesan pertamanya hancur karena kecanggungannya dalam hal berteman. Dia tidak ingin menyakiti teman pertamanya di dunia nyata karena ketidak mampuannya dalam bersosialisasi di dunia nyata. Atau setidaknya, itu menurut pemikirannya.

Akhirnya setelah diam beberapa lama ia pun mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Tapi sebelum tangannya melakukannya, pintu sudah dibuka lebih dulu oleh penghuninya. Penghuninya adalah seorang gadis yang usianya sama seperti Yori, dan seperti dugaan Yori, gadis ini pasti seorang yang ceria. Dan ia benar.

“Yoriko? Yoriko Ishihara?” gadis itu kaget bercampur senang saat melihat Yori ada di hadapannya. Walaupun mereka belum pernah bertemu secara langsung sebelumnya, tapi mereka pernah bertukar foto di internet.

“kau Aya Goto?” tanya Yori.

“akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga, Yoriko!” Aya langsung memeluk Yori.

“Aya, sebenarnya namaku Yori… bukan Yoriko… Yoriko adalah nama penaku.” Yori menjelaskan.

“tidak peduli. Bagiku kau tetap Yoriko.” Kata Aya cuek. “kau pasti capek karena naik pesawat dari Indonesia ke Tokyo. Ayo, masuk.” Aya menarik Yori.

Aya membantu Yori membawakan kopernya. Lalu menuntunnya ke ruang TV.

“jadi kita berdua akan tidur di kamarku. Tenang saja, aku sudah menyiapkan futon untukmu. Berapa hari kau akan tinggal disini?” tanya Aya sambil menaruh koper Yori di sudut ruangan.

“ng… rencananya aku…” Yori berusaha menjelaskannya dengan pelan agar Aya tidak terlalu kaget. “aku memutuskan untuk tinggal disini. Mungkin permanen…”

Dia lalu melihat Aya membuka mulutnya sebagai tanda kalau dia sangat kaget, tapi kemudian tersenyum lebar dan langsung memeluk Yori sambil meloncat-loncat.

“yaay! Kau akan tinggal disini!” seru Aya. “kenapa kau memutuskan untuk tinggal disini?”

“yah… aku rindu juga dengan negara asalku. Tampaknya Tokyo benar-benar berubah.” Jawab Yori. “kalau di apartemen ini ada kamar kosong aku akan menyewanya. Tentunya setelah aku mendapatkan pekerjaan.”

“aku bisa mencarikan pekerjaan untukmu dalam waktu singkat.” Kata Aya. “aku bekerja di petshop dan aku bisa berbicara dengan bosku apa dia bisa mempekerjakanmu atau tidak.”

“oh… boleh juga, kalau dia tidak keberatan.”

“nanti malam aku akan pergi ke rumahnya. Menghadiri pesta ulang tahun kecil-kecilan putranya yang berulang tahun keempat. Kau mau ikut?’’ ajak Aya.

‘’apa? aku? Ikut?’’ Yori menunjuk dirinya sendiri. ‘’jangan, jangan. Aku tidak ingin merusak pesta kalian dengan kedatangan orang asing seperti aku.’’

“tapi Yoriko…” bujuk Aya. “kalau kau berkenalan dengannya, dia pasti akan mempekerjakanmu. Aku kenal dekat dengannya, kami sudah seperti saudara dan anaknya juga sudah seperti keponakanku sendiri. Dia orangnya baik, jadi kalian pasti akan langsung dekat.”

“memangnya aku terlihat seperti orang baik?” tanya Yori.

“ya, bisa kulihat begitu. Kau orang yang baik.” Jawab Aya yakin, seolah-olah dia dan Yori sudah kenal sejak ribuan tahun yang lalu.

“kenapa kau terus memanggilku Yoriko?” Yori heran dengan tambahan ‘ko’ di belakang namanya dari Aya.

“entahlah. Aku hanya merasa nyaman saja memanggilmu begitu. Itu nama penamu, dan nama itu tentu saja bagian dari dirimu karena kau adalah penulis.” Jawab Aya.

Yori tersenyum mendengarnya. “benarkah begitu?”

Aya mengangguk dengan semangat. “aku yakin atasanku pasti akan penasaran dengan karyamu. Dia orang yang suka membaca. Apalagi sekarang dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah karena dia sudah mempunyai anak dan suami.”

“oh… baiklah… kau boleh memanggilku Yoriko.” Yori akhirnya mengizinkan.

“yes!” Aya memeluk Yori lagi. “aku tahu kau sekarang masih capek atau jet lag. Tapi aku sangat ingin membaca karyamu. Kau tahu, yang pernah kau bicarakan padaku di fanfiction community kita di internet. Tentang novel barumu itu.’’

‘’bisa saja. Tapi aku baru sampai beberapa bab…’’ Yoriko mengeluarkan laptop dari tas ranselnya.

‘’tidak apa-apa. aku ingin tahu siapa Spencer yang sering kau bicarakan di internet.’’ Kata Aya tidak sabar.


Yori, atau Yoriko adalah seorang penulis cerpen dan cerita bersambung yang sering memasukkan karyanya di internet. Dia memasukkannya ke dalam situs khusus untuk cerita fiksi. Nama akunnya yang juga menjadi nama penanya adalah Yoriko Izanami cukup terkenal di kalangan penulis cerita fiksi di internet. Beberapa orang mengagumi karya Yoriko dan salah satunya adalah Aya. Aya memberikan komentar kekagumannya terhadap karya Yoriko di internet. Yoriko yang menghargai setiap komentar dan kritik dari pembacanya, membalas komentar Aya dengan ramah dan lama-kelamaan mereka pun berteman di akun sosial network lainnya. Seperti Facebook, Twitter, dan Ameba.

Setelah 2 tahun dekat dan bersahabat di internet, Aya mengutarakan niatnya untuk bertemu Yoriko suatu hari nanti. Yoriko berpikir tidak ada salahnya dia menuruti keinginan Aya, karena Aya sudah menjadi sahabat pertamanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari Indonesia dan pergi ke Jepang.

Kehidupan Yoriko selalu berpindah-pindah. Dia sudah pergi dari Jepang saat usianya masih 19 tahun. Awalnya dia pergi ke Perancis. Disana dia tinggal selama 2 tahun untuk belajar menggambar dan bahasa perancis disana. Lalu dia ke Inggris. Di Inggris, dia belajar menulis dan hobinya yang suka memotret tumbuh disana. dia juga suka berjalan-jalan ke Irlandia selama dia di Inggris. Setelah 2 tahun menetap dia memutuskan untuk pergi ke belahan dunia lain dan pergi ke Amerika. Di Amerika dia hanya menetap selama setahun karena dia tidak terlalu menyukai kebudayaan bebas, walaupun dia mempunyai pemikiran yang bebas sebagai seorang penulis. Setelah itu ke Indonesia. Disana dia menetap dalam waktu yang paling lama dibanding yang lain, yaitu 3 tahun, sebelum dia kembali ke Jepang.

Karena wawasannya yang luas, dia jadi sering menulis cerita fiksi berlatar belakang negara-negara tempat dia tinggal. tapi, meskipun dia sudah menjadi seorang penulis di internet lama sekali, dia tidak pernah menerbitkan karyanya ke penerbit untuk diterbitkan. Dan rencananya, dia akan mengirimkan “Judy”, novel pertamanya yang sedang ia tulis dan dibaca oleh Aya sekarang ke penerbit. Dia menulisnya dengan bahasa Jepang karena dia ingin novelnya diterbitkan disini.

Novel “Judy” berkisah tentang seorang profiler muda yang bekerja untuk kepolisian bernama Judy Hunters yang dimutasi dari New York ke sebuah kota kecil bernama Grandfield. Disana dia bekerja sama dengan seorang temannya yang menjadi komandan timnya yang menyebalkan dan jahil bernama Spencer Williams. Yoriko menggambarkan Spencer sebagai seorang pria berambut cokelat, tampan, mempunyai wajah mirip seperti orang Asia karena di silsilah keluarganya, kakeknya adalah orang Jepang. Ya, Yoriko tidak bisa melepaskan negara asalnya di tulisannya sendiri.

Yoriko baru mencapai bab pertama karena dia menulisnya saat dia berada di pesawat tadi.

“haha… dia benar-benar kelihatan menyebalkan disini…” komentar Aya terhadap tokoh Spencer. Adegan yang Aya baca adalah pertemuan pertama Judy dengan Spencer. “tapi aku suka sekali pada bagian saat mereka berbincang-bincang di taman itu. Spencer tidak menjadi menyebalkan, dan dia juga Judy saling membuka diri.”

“begitulah. Tapi terkadang aku membayangkan Spencer menjadi nyata…” Yoriko kembali berkhayal. Dirinya sudah lama menjadi penulis, sehingga dia sering berkhayal tentang berbagai hal. Akibatnya, dia sampai harus memisahkan mana yang benar-benar kenyataan dan mana yang khayalan. Itulah yang menyebabkan dirinya menjadi seorang yang penyendiri karena dia tidak ingin dianggap orang lain aneh atau delusional.

“haha… pasti menyenangkan.” Kata Aya. “kalau dia benar-benar ada, aku pasti akan memujanya.”

Aya terus mengontrol halaman novel Yoriko yang ditulis di laptop ke bawah untuk dia baca sampai selesai. Setelah selesai, Aya mematikan laptop Yoriko dan meninggalkannya begitu saja di atas kotatsu ruang TV.

“jadi, ceritakan pengalamanmu berkeliling dunia.” Aya menyuruh Yoriko duduk di sebelahnya untuk bercerita.

“kau ingin aku bercerita darimana?” tanya Yoriko.

“saat kau pertama kali memutuskan untuk pergi dari Jepang. Apa yang membuatmu melakukannya?”

“aku hanya ingin bebas dan pergi menjelajahi dunia. Itu saja. Menulis hanyalah salah satu caraku untuk mengekspresikan apa yang kulihat, kudengar, dan yang kurasakan melalui tokoh-tokoh yang kubuat.’’ Jawab Yoriko.

‘’apa orang-orang yang ada di panti asuhan mengizinkanmu pergi waktu itu?’’ tanya Aya. Yoriko sebenarnya besar di panti asuhan sejak ia masih bayi. Ia tidak pernah bertemu kedua orang tuanya seumur hidupnya. Kepala panti asuhan menemukan Yoriko yang waktu itu masih bayi di depan pintu masuk panti asuhan dan akhirnya ia dirawat disana. nama Yori Ishihara itu adalah nama pemberian panti asuhan untuknya. Dan sampai ia menginjak usia remaja, tidak ada orang tua angkat yang mau mengadopsinya, entah kenapa. Akhirnya setelah dia sudah cukup umur, dia menjadi mandiri dan bekerja. Setelah uangnya cukup, dia pun memutuskan untuk pergi keliling dunia. Karena selama hidupnya dia sendirian, dia tumbuh menjadi orang yang kuat, sehingga dia bisa bertahan di negara orang dengan bekerja disana.

“tentu saja. aku kan sudah cukup umur. Aku pergi ke Perancis dan bekerja di sebuah kafe. Aku belajar bahasa perancis dengan tetangga apartemenku dulu. Dia juga bisa melukis dan menggambar. Jadi dia mengajariku juga.” Yoriko mulai bercerita tentang pengalamannya dari awal sampai akhir.

‘’kau hebat, Yoriko. Apa kau melakukan semua petualangan itu sendirian?’’ Aya merasa kagum.

‘’ya… begitulah…’’ jawab Yoriko santai.

“apa kau tidak merasa kesepian?” tanya Aya.

Sebelum menjawab, Yoriko tertawa sejenak. “Aya, aku sudah sendirian dari kecil. Bahkan saat masih bayi sekalipun…”

Sekilas Aya bisa sedikit merasakan sebuah kepahitan dari kata-kata Yoriko barusan. “Yoriko… kau tidak sendirian. Aku akan selalu menemanimu. Aku sudah menganggap kau seperti saudaraku sendiri.”

“tidak, Aya… mungkin kau akan membenciku beberapa hari lagi. aku bukan tipe orang yang cocok untuk diajak berteman, bahkan aku terkadang sulit membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Aku…” kata-kata Yoriko terpotong karena Aya memeluknya lagi.

“kau penulis yang hebat. Penulis hebat pasti mengorbankan sesuatu di dalam hidupnya. Dan kau menjadi delusional karena itu. Tidak ada yang salah dengan itu, Yoriko. Aku ingin menjadi sahabat yang bisa mengingatkanmu, mendukungmu, dan tentu saja, sebagai orang pertama yang mendapatkan tanda tangan darimu di atas bukumu nanti…”

“Aya…” Yoriko terkesan dengan kebaikan Aya. “terima kasih, ya…”

“ya… sama-sama.” Aya melepaskan pelukannya. “sekarang kau harus istirahat. Karena capek kau jadi melantur, kan? Ayo istirahat.” Aya menyuruhnya seperti seorang ibu menyuruh anaknya.

“iya, ibu…” sindir Yoriko seraya berdiri. Mereka berdua pun tertawa.

‘’jangan lupa, nanti malam acara ulang tahun di rumah atasanku. Kau harus datang dan terlihat ceria disana.’’ Aya mengingatkan lagi.

Dan demi sahabatnya yang tulus itu, Yoriko menyanggupinya.


Jam 7 malam itu mereka baru saja keluar dari stasiun kereta, mereka naik kereta dari stasiun dekat apartemen mereka menuju ke rumah Avaron Yutaka, atasan Aya di petshop tempatnya bekerja.

‘’oh, jadi kau sekarang sudah hampir menyelesaikan semester ketigamu, ya…’’ kata Yoriko pada Aya setelah sahabatnya menjelaskan kehidupan kuliahnya.

‘’ya. Aku bekerja sambil kuliah.’’ Jawab Aya. ‘’Avaron-san sedang mencari karyawan baru yang bisa bekerja saat siang. Karena karyawan sebelumnya berhenti karena akan menikah. Aku akan bekerja shift malam sepulang kuliah.”

Setelah penghasilan dari bekerja di petshop sudah cukup, Aya mengikuti tes ujian masuk ke universitas bagus yang kebetulan jaraknya cukup dekat dari apartemen. Dia mengambil jurusan biologi di bidang virologi. Aya memang suka hal-hal yang berbau virus dan ingin menciptakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit yang disebabkan virus.

“kau tidak capek kuliah sambil bekerja seperti itu?” tanya Yoriko lagi.

“tidak. kampusku dekat dari apartemen dan Avaron-san mengerti keadaanku. Jadi dia memberiku toleransi dan mengizinkanku mengerjakan tugas sambil bekerja. Kau sendiri? Aku baru melihatmu secara langsung hari ini. Dan apa penampilanmu ini…” Aya menunjuk penampilan Yoriko dari atas sampai bawah. “adalah penampilanmu sehari-hari?”

Yoriko tertawa. Aya adalah anak baik, jadi mungkin dia tidak terbiasa melihat Yoriko berdandan seperti ini. Rambut bermodel layer biasa yang selalu terurai atau dia tutupi dengan topi hitam (tapi malam ini dia tidak mengenakan topinya), smoky eyes tipis, lipstik pink natural, T-shirt putih polos dengan jaket kulit hitam, celana jeans dan sneakers dengan warna yang sama. Penampilan yang sama saat Yoriko mengetuk pintu rumah Aya tadi siang. “ya, ini gayaku. Kau suka?”

“aku suka saja. kalau penampilan ini adalah penampilan sehari-harimu dan kau nyaman dengannya, aku tidak masalah. Lagipula kau cantik, kau pantas dengan penampilanmu itu.” Jawab Aya. Yoriko sempat tersanjung sedikit saat Aya menyebutnya cantik.

“entah kenapa aku merasa nyaman dengan warna hitam.” Yoriko menjelaskan dia masih mempunyai banyak pakaian dengan berbagai model berwarna hitam. Tidak hanya jenis pakaian-pakaian yang dia kenakan sekarang, tapi juga dress, rok, topi, aksesoris, dan lain sebagainya.

“sekarang jelaskan padaku tentang gambaranmu. Aku sama sekali belum melihat sketsa-sketsamu tadi siang. Aku tidak menyalahkanmu karena kau sedang tidur tadi. Tapi aku tetap saja tidak sabar.” Aya kembali menyerocos.

“haha… iya, Aya. Nanti akan kuperlihatkan sketsa Spencer yang kubuat saat masih di Indonesia.” Yoriko berjanji.

“bagus! Aku jadi penasaran dengan Indonesia. Kau menetap di kota mana? Avaron-san dan suaminya pergi bulan madu ke Bali 4 tahun yang lalu. Apa kau disana?”

“tidak. aku di Jakarta. Tapi aku juga traveling ke kota-kota yang ada di pulau Jawa. Seperti Bandung, Semarang, Surabaya. Aku belum pernah ke Bali.”

“eh? Kenapa?” Aya heran. “bukankah kota itu yang biasa dijadikan tujuan para turis asing untuk berlibur, bukan? Kudengar pulau itu sangat keren dan aku percaya karena melihat foto-foto Avaron-san saat disana.”

“salah satu temanku, yang paling kuhormati disana berkata kalau pergi ke Bali sendirian, tidak akan terasa karena kau pasti membutuhkan teman untuk melihat menikmati masakan khas bali dan belanja bersama-sama, atau hanya sekedar duduk-duduk di bar menikmati segelas alkohol. Terutama, saat melihat matahari terbenam di pantai Kuta bersama-sama. Kau pasti butuh teman untuk saling berbicara tentang keindahannya. Jadi aku merasa, pergi kesana adalah suatu hal yang sakral. Aku ingin punya teman untuk pergi kesana…”

“aah…” Aya terlihat mengerti sesuatu. “tampaknya seseorang sedang membutuhkan seorang pacar…”

Yoriko tidak mengerti arah pembicaraan Aya. “maksudmu?”

“ya. Kau membutuhkan pria agar bisa menemanimu pergi kesana. Mana ada orang normal yang tidak ingin melihat matahari terbenam yang indah di Pantai Kuta bersama pasangannya? Apa aku benar? Kurasa sekarang saat yang tepat untukmu menemukan soul mate-mu…” Aya menaik turunkan alisnya untuk menggoda Yoriko.

“kau ada-ada saja… bagaimana caranya aku bisa menemukan soul mate sedangkan aku selama hidupku aku selalu sendirian?” Yoriko menggelengkan kepalanya.

“kau pasti akan menemukannya, Yoriko, cepat atau lambat. Katakan padaku. Selama kau keliling dunia, apa kau pernah punya pacar? Orang yang kau sukai? Atau cowok yang pernah one night stand bersamamu?” Aya bertanya dengan nada menyelidik.

Yoriko mendengus. “one night stand? Cinta semalam? Memangnya aku wanita macam apa? Dan darimana kau bisa tahu istilah macam itu?”

“yah, tentu saja aku tahu dari gaya menulismu yang kebarat-baratan. Apa kau lupa kau pernah memasukkan istilah itu di salah satu cerpenmu?’’

‘’Aya, walaupun karakterku pernah melakukannya, bukan berarti aku juga melakukannya.’’ jawab Yoriko.

‘’tapi kau pernah bilang padaku untuk bisa menulis kita harus bisa merasakan apa yang karakter kita rasakan. Salah satu caranya adalah melakukan hal yang sama. Misalnya agar kita bisa menulis bagaimana rasanya mual setelah naik rollercoaster, kita harus menaiki rollercoaster agar bisa tahu rasanya bagaimana.’’

‘’aku memang pernah mengatakannya. Tapi bukan berarti aku melakukan one night stand bersama cowok sembarangan. Aku bisa menulis itu karena salah satu temanku di Amerika dengan bangganya menceritakan padaku bagaimana dia melakukannya.”

“tapi kau memang pernah melakukannya, kan? Maksudku, melakukan sesuatu agar bisa menulis apa yang dirasakan karaktermu?” tanya Aya.

“yah, begitulah…” jawab Yoriko dengan enggan. Seolah dia menutupi sesuatu.

Aya bisa merasakan hal itu dan menjadi tidak enak. “maaf… apa aku membuatmu tersinggung?”

“eh… tidak, tidak…” Yoriko tidak ingin Aya jadi merasa bersalah. Aya sama sekali tidak tahu apa-apa soal kehidupannya yang sebenarnya. Dan lebih baik Aya tidak usah tahu. “ngomong-ngomong, aku sama sekali tidak membawa kado, lho…”

“tidak apa.” Kata Aya enteng. “kau kan baru tahu pestanya hari ini, dan aku yang mengajakmu. Kalau kau tidak membawa kado, jadi apa yang ada di tas yang kau bawa itu?” Aya melirik postman bag hitam merk Converse yang Yoriko bawa.

“oh… ini isinya peralatan wajibku.” Yoriko membuka resleting tasnya dan memperlihatkan isinya ke Aya. Buku catatan dengan pulpen yang berisi data-data atau inspirasi-inspirasi yang ditulis Yoriko, kamera DSLR Canon, topi, buku sketsa ukuran A4, dan sebuah seruling yang berukuran kecil.

“jadi ini ya, peralatan-peralatan yang sering kau bawa. Wah, kau mempunyai kamera DSLR!” Aya kagum. ‘’pasti kamera ini mahal sekali…’’

‘’yah… membutuhkan gajiku yang bekerja sebagai pelayan di restoran setahun saat aku di Perancis…’’ Yoriko ingat waktu itu dia sampai bersusah payah menabung dan menahan diri tidak untuk belanja. Mengingat dia berada di Paris, membuat dia merasa sulit untuk menahan diri.

“kalau begitu, ini apa?” Aya mengeluarkan sebuah seruling kecil berwarna hitam.

“aa…” Yoriko sedikit bingung untuk menjelaskan. “itu tin whistle. Aku membelinya sewaktu traveling ke Dublin, Irlandia. Aku jadi membeli itu karena melihat penampilan konser The Corrs disana. mereka keren sekali.”

“aku baru pertama kali ini melihat alat musik yang seperti ini…” Aya mencoba untuk meniupnya. Suaranya benar-benar berbeda dari seruling biasa. Kesannya terasa mistis dan menggetarkan. ‘’kau bisa memainkannya?’’

‘’ya, begitulah…’’ Yoriko cukup sering memainkan alat musik itu kalau sedang senggang. Dia juga membawanya kemana pun ia pergi, seperti sekarang ini. Karena alat musik itu kecil sehingga mudah untuk dibawa.

“kau mau mengajariku? Apa kira-kira alat musik ini dijual di Tokyo?” tanya Aya dengan penuh rasa antusias.

‘’tentu saja. Tidak terlalu sulit kok memainkannya. Aku tidak tahu… tapi aku masih mempunyai tin whistle yang lain di koperku. Kau bisa meminjamnya kalau kau mau.’’

Mendengarnya, Aya kembali berterima kasih lagi pada Yoriko. Dia tidak henti-hentinya berkata Yoriko adalah orang yang hebat, nyaris sempurna, dan dia ingin menjadi seperti Yoriko. Yoriko hanya tersenyum, sesekali menanggapi dengan singkat dan berkata kalau dia tidak sesempurna yang Aya pikir.


Mereka sampai di rumah keluarga Yutaka tidak lama kemudian. Aya bercerita kalau Avaron pernah tinggal di apartemen yang cukup elit dan pindah ke rumah ini bersama suaminya saat ia tahu ia sedang mengandung anak pertamanya 2 tahun yang lalu. Suaminya adalah seorang drummer dari band bergenre visual kei terkenal di Jepang dan beberapa negara lain.

“apa? Kalau begitu, kenapa aku tidak pernah tahu nama bandnya?” tanya Yoriko berbisik saat Aya menjelaskan tentang band bernama Gazette itu. Mereka ada di depan pintu rumah keluar Yutaka saat ini.

“entahlah. Memangnya kau tidak suka visual kei, ya?” tanya Aya balik. Ia membunyikan bel rumah.

“aku bahkan baru tahu kalau ada genre itu darimu malam ini.” Yoriko mengaku.

‘’Avaron-san juga mempunyai teman lainnya. Dia sahabatku juga. Dia member dari Alice Nine.’’ Kata Aya.

‘’Alice Nine? Apa itu nama komunitas teater atau semacamnya?’’ Yoriko sama sekali tidak menyambung ke pembicaraan.

‘’kau tidak tahu Alice Nine?”

“Gazette yang katamu tadi terkenal di Jepang dan di beberapa negara lain saja aku tidak tahu apalagi Alice Nine.” Kata Yoriko. Sebelum Aya bisa menjawab, pintu rumah dibuka dan muncullah seorang wanita yang kelihatannya usianya tidak jauh berbeda dari Yoriko dan Aya. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan one piece putih bermotif bunga mawar merah yang dia pakai dan make up natural tipis yang menghiasi wajahnya.

“hai, Aya!” wanita itu lebih dulu menyapa Aya. ‘’bisa kulihat kau membawa seorang teman malam ini.’’

‘’selamat malam, Avaron-san.’’ Aya menyapa wanita yang Yoriko sadari ternyata adalah Avaron Yutaka yang tadi Aya ceritakan. ‘’kenalkan, dia temanku yang baru datang ke Jepang setelah sekian tahun dia berkeliling dunia. Namanya Yori Ishihara. Panggil saja dia dengan nama Yoriko.”

Yoriko membungkukkan badannya untuk memberi salam. “dozou yoroshiku, Avaron-san…”

“dozou yoroshiku…” Avaron juga ikut membungkukkan badannya. Dengan ramah, Avaron mengajak mereka berdua masuk ke dalam.

Begitu masuk, Yoriko langsung memperhatikan isi rumah. Rumah keluarga ini memang tidak mewah, tetapi cukup besar. Interiornya bernuansa khas Jepang, dan lantainya masih menggunakan kayu. Sebagian ruangan diberi pintu shouji yang digeser. Dari sini, Yoriko bisa menyimpulkan kalau Avaron atau suaminya adalah orang yang lurus dan tidak banyak macam-macam.

“bagaimana kabar Yukio? Apa dia senang dengan kue yang anda buat?” tanya Aya saat Avaron menuntun mereka berdua ke ruang TV.

“Yukio sama sekali tidak bisa sabar untuk menyentuh dan memakan kuenya. Makanya aku menyimpannya di kulkas dan menunggu kalian semua datang terlebih dulu sebelum diambil.” Jawab Avaron. Yukio adalah putra dari Avaron dan suaminya yang belum Yoriko lihat di rumah ini.

“Kai-san sudah datang? Pasti dia sedang sibuk sekali dengan album barunya yang akan diluncurkan bulan depan…” Aya mencari keberadaan suami Avaron.

“ya. Sebentar lagi dia akan pulang, tenang saja. mungkin karena dia mengajak Shou juga jadinya dia agak terlambat…” Avaron melihat jam tangannya.

“eh? Shou-kun akan datang?” Aya terlihat menjadi sangat riang.

“ya. Saat aku mengundangnya minggu lalu, dia tidak memberikan jawaban yang pasti. Tapi kata Kai dia akan menyeretnya kesini dari ruang studio yang sekarang sepertinya sudah menjadi rumah keduanya itu, jadi aku mengandalkan suamiku yang konyol itu.” Avaron menjelaskan.

“benar, sekarang sejak Shou-kun menjadi bagian dari PSC dan terkenal seperti sekarang dia jadi jarang sekali berkumpul dengan kita, dia lebih memilih tenggelam dengan dunia musiknya. Entah kenapa, sekarang aku merasa dia malah berubah menjadi orang lain…” Aya heran dan khawatir dengan sikap sahabatnya yang belum pernah Yoriko temui itu.

Di sisi lain, Yoriko sedari tadi hanya diam. Dia sama sekali tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dia saja belum pernah bertemu dengan Kai atau Shou yang mereka sebut-sebut tadi, bagaimana mau ikut ke dalam pembicaraan?

Tampaknya dugaannya akan benar, ikut ke acara ini akan menjadi ide yang sangat buruk.

Tapi saat ia baru masuk ke dalam pikirannya sendiri, ia mendengar Aya menjerit kesenangan karena melihat seorang balita duduk di kursi khusus untuk bayi di ruang TV.

“Yukio-chan!!” Aya menghambur ke arah Yukio yang menyambut sahabat Yoriko dengan senyumannya yang sangat lucu itu. Aya mencium pipi Yukio yang sangat tembam dan mengucapkan selamat ulang tahun pada bayi yang berumur 2 tahun pada hari ini itu. Aya memberikan sebuah kotak kado berwarna biru kepadanya.

“ini untukmu, sayang…” kata Aya. Yukio berusaha memegangnya dengan erat. Tapi karena kotak itu terlalu besar untuk tangannya yang masih kecil, Avaron menghampiri mereka dan mengambil alih kado itu.

“bilang apa kepada Aya Obasan, sayang?” tanya Avaron dengan nada imut pada Yukio. Dengan cara bicara yang belum lancar dan tidak terlalu jelas, Yukio mengucapkan terima kasih.

Avaron mengambil Yukio dari Aya dan membawanya ke Yoriko yang masih berdiri saja di ujung pintu. “kenalkan, Yukio-chan. Ini teman baru kita, namanya Yoriko-san… ayo, beri salam.” Avaron mengambil tangan kanan Yukio untuk diulurkan ke Yoriko.

“hai, Yukio-chan…” Yoriko menyapa Yukio seramah mungkin yang dia bisa. “aku Yoriko. Selamat ulang tahun untukmu.” Yoriko menggengam telapak tangan yang ukurannya tidak lebih besar dari tangannya sendiri itu.

Yukio memang bayi yang ramah, dia membalas sapaan Yoriko dengan tersenyum. Tapi karena baru pertama kali bertemu, Yukio langsung menyembunyikan wajahnya di dada ibunya, sebagai tanda kalau dia masih malu. Walaupun begitu, senyuman polos bayi itu tetap tidak hilang dari wajahnya.

“aduh… dia masih malu-malu… tapi lihat saja, nanti dia tidak akan bisa lepas darimu, dia selalu lekat dengan para cewek. Apalagi kalau mereka secantik dirimu.” Avaron memuji Yoriko.

Yoriko hanya tersipu malu dan mengucapkan terima kasih ketika mendengarnya. Setelah itu Yukio meminta sesuatu kepada Avaron yang hanya ibunya saja yang mengerti keinginannya apa. Dengan tulus Avaron menuruti permintaan Yukio dan Avaron pun pamit untuk pergi sebentar pada Yoriko dan Aya untuk ke dapur.

Walaupun mereka berdua sudah pergi, Yoriko masih tidak bisa menghapus ingatan pemandangan yang barusan dia lihat dari Avaron Yutaka dan putranya. Seorang ibu menggendong anaknya, merayakan ulang tahunnya, mendidik anaknya menjadi seorang anak yang sopan dengan menyuruhnya memberi salam pada orang lain, dan menuruti segala permintaan anaknya.

Yoriko ingin tahu apakah ibu kandungnya yang tidak pernah ia temui pernah memperlakukan dirinya seperti itu atau tidak…

“hei…” Aya menyadarkan Yoriko dari pikirannya yang kali ini sedang berusaha keras mengingat bagaimana wajah ibunya di dalam pikirannya. “bagaimana kalau kau mainkan salah satu lagu saja tin whistle-mu itu. Yukio pasti senang.” Aya memberi saran.

Dengan cepat Yoriko berusaha untuk terlihat normal kembali dan menjawab dengan buru-buru, “eh… ya, ya… boleh juga idemu, Aya.”

“padahal dia belum memakan kuenya, dia sudah meminta biskuit duluan…” kata Avaron setelah ia kembali dari dapur. Kali ini Yukio tidak lagi di gendongannya, dia berjalan dengan tangan kirinya yang digandeng oleh Avaron. Cara berjalannya sudah lancar sekali.

“haha… Yukio-chan lapar, ya?” Aya menyambut Yukio yang menggenggam biskuit bayi dan menggendongnya lagi. Yukio tertawa senang saat Aya mengangkatnya tinggi-tinggi.

Melihat pemandangan seperti ini membuat Yoriko menjadi diam dan bertanya-tanya lagi, apakah dia pernah diperlakukan seperti Yukio oleh ibu dan ayahnya atau saudara mereka saat ia masih kecil? Apakah dia pernah merasakan ulang tahunnya pernah dirayakan dengan dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya? Seandainya dia bisa mengingatnya… tapi tidak bisa. Mungkin dia tidak bisa karena… dia tidak pernah mengalaminya…

Yoriko akhirnya kembali lagi ke bumi setelah dia mendengar sebuah suara seseorang memberi salam dari pintu rumah. setelah itu, Avaron terburu-buru keluar dari ruang TV untuk menyambut siapa yang baru saja datang itu.

Yoriko bisa menduga yang datang pasti suami Avaron, dari pembicaraan mereka yang samar-samar terdengar, tampaknya suaminya itu tidak datang sendirian. Suara mereka semakin lama semakin terdengar lebih jelas seiring langkah mereka yang menuju ke ruang TV. Dan mereka pun akhirnya muncul di depan pintu.

“akhirnya Kai dan Shou datang juga.” Kata Avaron. “aku ingin mengenalkan kau dengan mereka, Yoriko-san.” Avaron meminta Yoriko berdiri dari duduknya di lantai.

“panggil aku Yoriko saja, Avaron-san.” kata Yoriko. Dan Avaron mengenalkan dua pria yang berdiri di belakangnya. Seorang pria berambut hitam dan berwajah manis dengan ramah tersenyum pada Yoriko. “salam kenal. Aku Kai, suami Avaron.” Kata Kai dengan bangga.

Dan pria di sebelah Kai berambut cokelat yang benar-benar mengingatkannya pada seseorang. Ketika pria itu mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis di depan Yoriko, wanita itu kembali terpaku.

Matanya yang agak sipit itu mempunyai bola  mata yang berwarna cokelat tua yang indah…

Wajahnya yang tampan dan khas asia campur barat itu pasti tidak akan dengan mudah ia lupakan…

Dia jarang memberikan senyuman. Tapi sekalinya dia tersenyum, walaupun hanya senyuman tipis dan dingin, semua orang apalagi para wanita pasti akan terpaku melihatnya…

Rambutnya yang cokelat itu semakin menambah pesonanya…

Dan tingkah lakunya yang sangat menyebalkan itu malah menambah nilai positif darinya, membuat ia ingin sekali tenggelam di dalam isi hatinya hanya agar bisa mengetahui apa yang sebenarnya dia pikirkan…

“hei.” Pria yang membuat Yoriko merasa terhipnotis itu menjentikkan jarinya berkali-kali di depan wajah Yoriko.

“eh… maaf, maaf… apakah kau... Spencer Williams? Apa kau…” Yoriko lagi-lagi melantur tanpa ia sadari.

‘’Spencer Williams? Siapa dia? Aku tidak kenal. Aku Shou Kohara. Salam kenal.” Shou dengan datar memperkenalkan dirinya sendiri. Dia sama sekali tidak peduli pada siapa Spencer Williams itu. Padahal bagi Yoriko, cara bicara pria ini mirip sekali dengan Spencer… di dunia imajinasinya…

“ya… aku Yori Ishihara… panggil saja Yoriko…” jawab Yoriko dengan sangat canggung. Shou Kohara hanya menganggukkan kepalanya dan meninggalkan Yoriko berdiri begitu saja untuk bergabung bersama yang lain.

Haha… bodoh sekali kau…, pikir Yoriko. Mana mungkin kau bertemu dengan tokoh khayalan yang kau buat sendiri. Pasti semua ini adalah kebetulan.

Walaupun berkali-kali di dalam hatinya dia meyakinkan dirinya kalau pria yang tidak bisa ia berhenti menatapnya itu adalah Shou Kohara, bukannya Spencer Williams, tokoh yang sangat ia puja di dunia imajinasinya, dia merasa kalau ini adalah kebetulan yang sangat indah.

Dan tanpa sadar, ia akan menjadi sangat terobsesi dengan pria yang ada di depannya ini…

No comments:

Post a Comment