Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Friday, December 2, 2011

New World (2)

2

Barusan tadi apa? Pikir Yuki. Apa yang baru saja membuatnya bangun dalam keadaan seperti ini? Nafasnya tercekat seperti seseorang baru saja mencekiknya, dia bahkan sampai memegangi lehernya sendiri tadi. Tubuhnya bermandikan keringat sampai membasahi sprei kasurnya.

Apa tadi hanya mimpi buruk atau seseorang baru saja benar-benar masuk ke dalam kamarnya dan menatapnya tidur?

Yuki duduk di tempat tidurnya berusaha untuk mengambil nafas dan menenangkan diri. Dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Dia mengambil beberapa lembar tisu dari kotak tisu di nightstand sebelah tempat tidurnya untuk mengelap wajahnya yang basah karena keringat.

Yuki tahu sekarang sedang musim panas, tapi kamarnya tidak sepanas itu sampai membuat dirinya basah seperti ini. Apalagi ketika dia menyentuh dahinya dengan tangannya, dia merasakan panas yang cukup tinggi. Apa dia sakit?

Dia melihat ke sekitar kamarnya. Keadaan kamarnya masih sama seperti saat dia tertidur tadi. Jendela masih tertutup rapat, tidak ada satupun yang berantakan atau letaknya berubah dari tempatnya yang semula. Semuanya masih terlihat baik-baik saja.

Benar. Ini pasti mimpi buruk. Yuki meyakinkan dirinya.

Tapi kalau semua ini hanya karena pengaruh mimpi buruk, kenapa sentuhan tangan yang tadi ia rasakan terasa sangat nyata?

Yuki mencoba untuk mengingat-ingat sentuhan itu. Rasanya tadi seseorang memegang tangannya dengan lembut, seakan orang yang menyentuhnya itu sangat merindukannya lebih dari apapun. Seakan ingin sekali membawanya pergi dari tempatnya berbaring ke suatu tempat yang hanya orang itu yang tahu. Walaupun dia tahu dia tidak akan bisa membawa Yuki pergi, tapi dia seperti berjanji kalau suatu hari nanti dia pasti akan melakukannya.

Tapi semua itu hanya mimpi, Yuki... kata Yuki dalam hati. Mana ada orang yang merindukannya seperti itu sampai menerobos masuk ke dalam kamarnya yang ada di lantai 2.

Setelah dia tenang, dia memutuskan untuk tidur kembali karena masih jam 2 pagi. Tapi perutnya yang berbunyi kelaparan menghalanginya untuk melakukan itu. Yuki menggerutu. Kenapa dia lapar lagi?

Dia berusaha mengabaikannya dan kembali membungkus tubuhnya dengan selimut setelah ia berbaring kembali. Dia tidak bisa memejamkan matanya lagi karena perutnya benar-benar tidak bisa diam.

Ayolah, kau kan baru saja memakan Big Mac dan dua piring pasta... Yuki memarahi dirinya sendiri.

Tapi akhirnya dia turun juga dari tempat tidur untuk pergi ke dapur. Mencari apapun yang bisa dimakan disana.

Sesampainya di dapur, dia menyalakan lampu ruangan yang bersih itu. Tidak tahu kenapa saat dia menyalakan lampunya tadi insitingnya yang sangat waspada merasakan seseorang ada di dapurnya, menyaru di dalam kegelapan dapur. Tapi ketika cahaya putih itu menerangi ruangan, tidak ada siapapun disana. Hanya ada peralatan-peralatan memasak seperti spatula, sendok sayur, wajan kecil digantung di dinding dapur yang mempunyai counter cokelat ini. Kulkas besar yang menjadi tujuan Yuki ada di sudut yang memiliki 2 pintu.

Dia membuka pintu bawah kulkas itu dan menemukan sekantong roti gandum yang isinya tersisa setengah, 2 potong cake cokelat yang ibunya beli kemarin dari toko kue, 3 butir telur rebus, sisa salad dan 5 potong garlic bread dari Pizza Hut di dalam tempat makan plastik. Sebotol besar susu cokelat milik Yuki yang baru diantarkan tadi pagi ke rumahnya, dan kesukaannya, kentang beku yang siap digoreng.

Dan dia memutuskan untuk mengambil semuanya.

Dia mengambil seluruh makanan yang ia lihat tadi di kulkas dan menaruhnya di meja makan. Setelah duduk, dia mengambil seluruh roti gandum dari bungkusnya dan dia taruh di atas piring yang sudah ada di meja makan. Dia mengoleskan rotinya dengan selai stroberi yang baru saja dia ambil dari lemari dapur sebelum dia memakannya dengan rakus. Setelah 3 tangkup roti dia habiskan, dia beralih ke cake cokelat yang dalam sekejap dia habiskan, lalu 3 telur rebus juga mengalami nasib yang sama. Sekarang giliran salad dan garlic bread yang ia tatap dengan penuh nafsu.

Yuki sudah mengalami hal aneh seperti ini semenjak ulang tahunnya yang ke-21 yang baru saja dirayakan 2 minggu yang lalu. Disamping kekuatan dan kecepatannya yang berkembang pesat, nafsu makannya juga bertambah. Seolah ingin mengimbangi kedua kekuatan andalannya itu. Dan yang lebih anehnya, walaupun malam ini adalah malam keempatnya dia makan malam seperti ini, dia tidak pernah gendut atau mengalami penyakit perut.

Seiring dia menelan semua makanan itu, panas tubuhnya mulai menurun. Dia kembali menjadi normal. Seakan-akan dia makan seperti ini bukan karena lapar, tapi karena nafsu di dalam dirinya yang harus dipuaskan. Sama seperti rasa nafsunya yang ingin menyalurkan kekuatannya yang luar biasa itu melalui karate.

Semua makanan yang dia lahap habis dalam waktu 20 menit. Semua habis dan bersih tidak tersisa.

Dia mengelus perutnya sendiri yang sudah kekenyangan, dan dia bersendawa. Dia masih diam duduk disana selama beberapa lama sebelum dia mendengar sebuah langkah kaki yang terburu-buru menuju dapur. Dia diam saja berpura-pura tidak tahu sebelum pemilik langkah itu memunculkan dirinya. Dia waspada sekarang. Dia bahkan sudah siap mengambil pisau kecil yang biasa digunakan untuk mengiris buah yang kebetulan ada di dekatnya.

“Yuki!” jerit ibunya di belakangnya. Yuki pun menoleh dan melihat ibunya yang mengenakan piyama di balik mantel tidurnya melihatnya dengan tatapan marah. “apa yang kau lakukan disini!? Kau menghabiskan semua persediaan makanan untuk 2 hari ini!?”

Yuki diam saja seperti orang bodoh. Dia bingung bagaimana dia menjelaskan alasannya kenapa dia bisa menghabiskan seluruh persediaan makanan rumah dalam waktu kurang dari setengah jam.

“aku terbangun dari tidurku, dan aku... lapar...” hanya itu yang bisa dikatakan Yuki.

“ibu tahu kau lapar, sayangku... tapi kalau sampai menghabiskan seluruh persediaan makanan seperti ini... benar-benar gila!” ibunya benar-benar kehilangan kata-katanya.

“entahlah, bu... yang kurasakan hanyalah lapar dan begitu aku sadar seluruh makanan yang tadi kutemukan habis dalam sekejap. Tenang saja, besok sore aku akan belanja untuk mengganti semua ini...” Yuki menenangkan ibunya.

Tapi tampaknya bukan soal persediaan makananlah yang dipermasalahkan ibu Yuki saat ini karena dia masih terlihat marah. “Yuki, ibu ingin kau mengontrol nafsu makanmu. Kau bisa melakukannya?”

Yuki menjawab dengan ragu. “entahlah, bu... ibu tadi tidak tahu kalau aku baru saja mengalami mimpi buruk dan badanku terasa sangat panas sekali. Tapi anehnya, begitu aku selesai makan semua ini, suhu badanku berubah menjadi normal! Aneh, kan?”

Nara memperhatikan wajah putrinya. Yuki memang berkata jujur, karena dia bisa melihat wajah Yuki sangat pucat walaupun Yuki sendiri tidak menyadarinya. Tapi entah kenapa, karena suatu hal, dia lebih memilih untuk menyangkal dan berpura-pura tidak menyadari hal itu dan kembali memarahi Yuki, menyuruhnya untuk kembali ke kamarnya.

“tapi ibu, masa ibu tidak peduli kalau anaknya sendiri tadi sakit?” Yuki protes.

“kau tidak apa-apa, Yuki. Kau terlihat sehat-sehat saja. Cepat, kembali ke kamarmu. Ibu tidak ingin melihatmu disini dan mengambil sisa makanan lagi. Ibu tidak ingin kau gemuk.”  Perintah ibunya dengan tegas.

“baiklah...” kata Yuki kesal. “maaf kalau aku tidak bisa menahan nafsu makanku seperti model-model yang bekerja untuk ibu.” Yuki berdiri dan meninggalkan ibunya berdiri disana begitu saja.

Tanpa menyadari kalau di wajah ibunya terdapat sebuah ekspresi ketakutan yang amat sangat...

 ---

Ketika pagi sudah tiba, Yuki sudah bersiap-siap untuk berangkat kuliah di kamarnya. Kali ini dia berusaha untuk menyenangkan ibunya dengan mengenakan kaus rancangan ibunya bergambar lambang Nara yang berupa huruf N yang diukir klasik berwarna hitam, dengan celana jeans hitam Zara oleh-oleh ibunya dari Paris, hoodie berwarna hitam menutupi kaus putihnya, tidak lupa topi hitam kesayangannya setelah sepatunya ia kenakan.

Saat ia menuruni tangga untuk menemui ibunya di ruang makan, ibunya sudah asyik dengan roti bakar selai nanas yang baru diangkat dari toaster. Yuki mengucapkan selamat pagi untuknya dan ikut duduk di sebelahnya.

“ibu...” Yuki akhirnya membuka pembicaraan setelah mereka diam selama beberapa lama. “aku minta maaf soal semalam... aku tahu aku seharusnya tidak makan sebanyak itu.”

“tidak apa. Yang penting roti tawar yang ibu sembunyikan di lemari dapur tidak kau ambil...” jawab ibunya biasa-biasa saja.

“tapi aku ingin menceritakan ini padamu, ibu. Aku jadi merasa aneh sejak setelah hari ulang tahunku...” Yuki memutuskan untuk menceritakannya, karena hanya kepada ibunya sajalah tempat ia bisa menceritakan segala hal, termasuk hal aneh yang ia ceritakan saat ini.

“aneh bagaimana?” Nara menaruh rotinya yang akan dia makan tadi ke atas piring dan memperhatikan Yuki.

“saat karate, aku merasa semua kekuatan dan kecepatan yang aku miliki ini rasanya berubah menjadi tidak biasa...” Yuki menceritakannya dengan nada pelan. “dan semua itu diiringi oleh rasa lapar yang sangat luar biasa. Jadi intinya, aku makan bukan karena aku lapar, ibu. Aku makan lebih dikarenakan aku harus memuaskan nafsu yang kurasakan ini. Dan semalam, aku merasakan kalau seseorang rasanya seperti masuk ke dalam kamarku dan menatapku tidur. Tapi begitu aku membuka mataku, orang itu tidak ada! Hal yang sama juga terjadi saat aku pergi ke dapur semalam. Rasanya seperti ada yang mengamatiku dari dalam dapur yang gelap.”

Tadinya Yuki berharap ibunya akan memberikan respon yang sama seriusnya seperti Yuki, tapi malah sebaliknya. Ibunya malah terlihat tidak percaya dengan semua itu dan seolah-olah menganggap Yuki hanya menghayal.

“Yuki... mana ada orang yang bisa masuk ke dalam kamar mengerikanmu yang ada di lantai 2 saat tengah malam?” ibunya sama sekali tidak percaya. “jangan mengada-ada, Yuki...”

“tapi itu benar, ibu! Insitingku bisa merasakannya!” Yuki tetap kukuh.

“insting apa!? Kau manusia, Yuki! Manusia mana mungkin mempunyai insting yang aneh seperti itu! Kau hanya memiliki kekuatan yang sedikit lebih kuat dari yang lain, dan jangan melebihkan hal itu!” dari caranya ibunya berkata, seolah ibunya itu malah meyakinkan dirinya sendiri daripada Yuki.

“tentu saja aku manusia, ibu...” Yuki benar-benar heran dengan cara bicara ibunya yang aneh. “memangnya ibu pikir aku ini apa? Seorang vampir, makhluk yang ibu benci yang sekarang berkeliaran dan hidup berdampingan dengan kita di dunia ini? Atau hanya makhluk aneh yang tidak dianggap oleh orang banyak?” Yuki merasa tersinggung. Ternyata tidak hanya orang lain saja yang menganggapnya aneh. Ibunya sendiri juga berpikiran sama.

“sayang, bukan itu maksud ibu...” nada bicara Nara yang tadinya tinggi kini melunak. “kau tidak mengerti...”

Tapi Yuki lebih dulu memotongnya dan berdiri, “benar. Aku memang tidak mengerti. Aku tidak mengerti kenapa ibu sama sekali tidak peduli padaku padahal jelas-jelas ibu tahu semalam aku sakit dan wajahku pucat. Ibu bahkan tidak bertanya sama sekali apa aku baik-baik saja setelah aku bercerita kalau aku mengalami mimpi buruk dan merasa kalau ada seseorang masuk ke dalam kamarku seolah-olah ibu benar-benar tahu kalau kedua hal itu sama sekali tidak benar atau hanya karanganku saja. ibu memang benar. Aku tidak mengerti.” Yuki mengambil tas ranselnya dan berlari meninggalkan rumah tanpa sarapan sama sekali.

Yuki juga terus melangkahkan kakinya pergi walaupun ibunya berkali-kali memanggil namanya dari dalam rumah.

 ---

Karena cahaya matahari pagi sudah terik, Yuki memasang hoodie ke kepalanya dan mengancing jaketnya rapat-rapat juga menaruh telapak tangannya ke dalam saku jaketnya agar kulitnya tidak terkena cahaya matahari itu. Yuki berjalan dengan menundukkan kepalanya agar wajahnya tidak tersiram cahaya yang bisa membuat kulitnya memerah dan gatal itu.

Dia berjalan dengan terburu-buru dan penuh emosi. Dia bahkan mengencangkan volume musik dari headset yang ada disambungkan ke iPhone miliknya di dalam saku celananya. Dia tidak peduli juga dengan tatapan-tatapan aneh yang ia lihat dari orang-orang yang berpapasan dengannya di trotoar. Yuki membiarkan saja hal itu. Dia memang orang aneh. Hal itu tidak bisa diubah, bukan?

Karena dia memperkirakan dia akan datang ke kampusnya lebih awal, Yuki memutuskan untuk mampir dulu ke suatu tempat. Dia memasuki sebuah kafe yang kebetulan dia lewati. Dia berpikir lebih baik dia merilekskan diri sejenak dengan segelas cappucino hangat berukuran besar sebelum dia ke kampus.

Ketika dia sampai di depan counter, seorang waitress menyapanya dengan ramah lalu menanyakan pesanannya. Setelah Yuki menyebutkan minuman yang ia inginkan, tanpa disangka waitress itu bertanya padanya, “apa anda ingin minuman anda dicampur darah?”

Mulanya Yuki kaget lalu dengan cepat ia sadar, tidak heran waitress yang seorang vampir itu menanyakan hal seperti itu padanya, penampilannya yang serba hitam dan tertutup ini benar-benar membuatnya terlihat seperti vampir. Sedangkan pertanyaan seperti itu sudah sangat biasa dilontarkan oleh para pelayan di coffee shop, toko wine, dan semacamnya saat ini. Karena biasanya, vampir suka mencampurkan beberapa kadar persen darah ke dalam minuman mereka. Biasanya, setelah mereka menanyakan hal itu, mereka akan bertanya golongan darah apa yang mereka inginkan. Apakah O, AB, B, atau A.

“maaf...” Yuki melepas tudung kepalanya dan berkata, “aku manusia...”

“oh... maaf, nona...” waitress itu membungkukkan badannya untuk meminta maaf. Yuki tidak mempermasalahkan hal itu dan meminta waitress itu segera menyediakan pesanannya.

Sesudah ia mendapatkan cappucino miliknya yang telah ia bayar, dia mencari tempat duduk di kafe itu. Dia menemukan sebuah meja untuk 2 orang di sudut kafe yang bersebelahan dengan jendela luar. Dia pun duduk disana.

Dia menyesap cappucino perlahan-lahan. Beberapa menit kemudian, waitress yang sama yang tadi melayaninya datang ke mejanya dengan membawa nampan berisi macaroni schotel berukuran sedang dengan 2 buah croissant, 3 buah tartlet kiwi, dan 4 keping biskuit choco chips yang dibungkus dalam kemasan plastik kafe.

Yuki mengucapkan terima kasih sebelum waitress itu pergi meninggalkannya dengan pesanan makanan itu. Yuki sengaja memesan banyak makanan ini karena dia belum sarapan di rumah. Dan dia mulai menangkap beberapa pandangan dari pengunjung kafe yang duduk tidak jauh darinya. Mereka heran dan merasa aneh dengan porsi makan Yuki yang ajaib itu. Tapi untuk vampir yang berkunjung, mereka biasa saja. toh mereka juga makan porsi yang lebih banyak dari dirinya sebagai teman minum kopi mereka yang dicampur darah murni.

Dia mengambil sendok kecil yang sudah tersedia untuk menyantap schotelnya. Dia berusaha memakannya dengan sikap normal, tidak seperti orang yang tidak makan selama beberapa hari seperti semalam. Walaupun dia tahu dia sanggup menghabiskan schotel itu dalam waktu semenit saja.

Saat makan, sesekali matanya menatap keluar jendela. Memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Para vampir yang berjalan dengan pakaian mereka yang sangat rapat dan serba hitam. Manusia yang berjalan dengan bangga seolah-olah mereka memamerkan diri kalau mereka tidak perlu merasa takut seperti para vampir itu. Tanpa tahu kalau makhluk-makhluk bertaring itu sedang menahan nafsunya untuk tidak menerkam mereka. Yuki tahu kenapa mereka bisa berjalan di bawah cahaya matahari seperti itu. Kalau tidak salah karena sebuah vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh mereka. Vaksin itu membuat tubuh mereka tahan terhadap sinar matahari, dan tentunya, harga vaksin itu sangat mahal. Sehingga rata-rata vampir yang berkeliaran saat siang hari hanyalah vampir-vampir kaya atau pebisnis.

Dan di antara sosok-sosok berpakaian hitam yang berlalu-lalang di sisi trotoar tempat kafenya berada, dia menangkap sebuah sosok yang berdiri diam di seberang jalan. Dia heran, diantara banyaknya sosok hitam yang berlalu lalang, kenapa Yuki malah memperhatikan sosok yang saat ini sedang menatapnya. Dari penampilan fisiknya, dia tahu kalau sosok itu adalah seorang vampir. Walaupun wajahnya tidak kelihatan jelas, tapi Yuki bisa melihat mata kuningnya yang tidak ia lindungi dengan kacamata hitam seperti vampir yang lain menatapnya dengan tajam. Membuat Yuki kembali merasakan perasaan tidak nyaman itu lagi. Perasaan yang rasanya seperti ingin menarik dirinya untuk mengikuti vampir itu. Dan kali ini, mereka serasa seperti ‘menyambung’ pada satu sama lain. Tidak hanya Yuki saja yang merasakan itu, vampir itu juga merasakan hal yang sama. Karena vampir itu memberikan sebuah ‘pesan’ untuknya melalui tatapan mata itu.

Ikutlah denganku, Yuki...

Tidak, aku tidak mau. Kau siapa? Kenapa kau bisa tahu namaku?

Kami selalu mengawasimu, Yuki...

Tidak! Tidak mungkin! Kau orang aneh!

Kami membutuhkanmu...

Yuki tidak menjawab lagi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan cepat-cepat menghabiskan schotelnya dengan asal-asalan. Lalu dia menaruh seluruh sisa kue-kuenya ke dalam tas ranselnya sebelum ia berjalan pergi meninggalkan kafe.

Saat ia keluar dari kafe, dia kembali melihat ke arah tempat vampir itu berdiri tadi.

Sosok itu sudah tidak ada...

 ---

Di kampus, Yuki sama sekali tidak bisa konsentrasi terhadap mata kuliah yang diajarkan. Seluruh penjelasan dosen yang berdiri di depan kelas masuk telinga kanan dan keluar di telinga kirinya. Pandangannya tidak tertuju pada layar LCD yang menampilkan materi kuliah. Untungnya dosen yang seorang pria tua itu tidak memperhatikan Yuki yang sedang melamun di barisan belakang bangku.

Yuki masih memikirkan sosok hitam yang entah kenapa ia bisa ‘nyambung’ dengannya. Baru pertama kali itulah ia bisa melakukan semacam telepati atau apalah itu dengan sosok itu. Bahkan kepada ibunya saja yang merupakan bagian dari dirinya saja dia tidak bisa melakukan hal itu.

Siapa dia? Kenapa sosok yang tidak pernah ia temui dan tidak pernah ia kenal darimana pun membutuhkannya? Dan siapa yang dimaksud dengan ‘kami’ yang mengawasinya? Kalau itu benar, berarti dia benar untuk merasa kalau semalam dia merasakan kalau seseorang mendatangi kamarnya.

Tapi siapa? Siapa dia? Yuki berkali-kali mengulang pertanyaan itu di dalam benaknya. Kenapa dia bisa dengan mudahnya menangkap sosoknya diantara lautan manusia dan vampir yang berlalu-lalang di sekitar orang itu?

Karena berpikir terlalu keras membuat rasa lapar yang sudah ia tahan daritadi kembali. Tapi dia tidak bisa pergi ke kantin atau restoran dekat kampus untuk memuaskan nafsunya yang kembali datang karena kelas berakhir 3 jam lagi. Yang itu berarti dia akan keluar dari kelas sekitar jam 4 sore. Dia tidak bisa menahan lapar selama itu!

Dia menyesal karena dia sudah menghabiskan seluruh kue yang dia bawa dari kafe tadi pagi saat dia baru sampai di kampus. Sial, dia tidak bisa menahan ini.

“ssst... hei! Kau kenapa?” seorang gadis yang Yuki tidak ingat namanya berbisik memanggil namanya. Yuki melihat ke arah samping tempat gadis itu duduk. Gadis itu menyadari kalau wajah Yuki sangat pucat sekali, keringat dingin mengalir di wajahnya yang putih pucat itu.

Yuki berusaha untuk menjawab pertanyaan dari gadis itu, tapi yang terdengar hanyalah potongan-potongan kata yang keluar dari mulutnya yang bergetar. “aku... aku...”

“Sensei!” gadis itu berdiri untuk memanggil dosen yang masih asyik mengoceh di depan kelas. “kurasa Akibara sedang tidak enak badan!”

Dosen itu berhenti berbicara dan berjalan menuju Yuki. Dosen itu langsung percaya kalau Yuki sakit.

“kau tidak apa-apa, Akibara? Kau bisa mendengarku?” dia meminta Yuki untuk mengangkat wajahnya yang ia sembunyikan di atas meja. “Akibara?”

Di sisi lain, rasa lapar luar biasa yang dirasakan Yuki berubah menjadi rasa sakit yang tidak tertahankan. Seperti sesuatu sedang bergolak di dalam tubuhnya, membuatnya menjadi sangat liar dan tiba-tiba mengeluarkan jeritan yang sangat kencang. Ekspresi wajahnya berubah seperti binatang yang siap menerkam mangsanya. Tatapan pertamanya tertuju pada gadis yang tadi menyadari keadaannya yang aneh tadi. Dengan cepat, dia menerjang gadis itu dan dengan kekuatannya dia mampu membuat gadis itu jatuh ke atas tanah.

Semua mahasiswa yang ada di kelas menjadi panik dan tidak berani untuk mendekati Yuki. Mereka tahu cara terjangan seperti ini adalah cara vampir menyerang mangsanya. Tapi mana mungkin Yuki bisa melakukannya. Yuki kan seorang manusia.

Gadis yang ada di bawah Yuki itu meronta-ronta dan menjerit meminta pertolongan pada orang-orang yang mengerumuni mereka. Tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Karena mereka tahu reputasi Yuki di dunia karate.

Yuki menatap gadis itu dengan tatapan matanya yang beringas. Kedua tangannya melingkari leher gadis itu, seakan-akan Yuki ingin mencekiknya. Yuki mendekatkan wajahnya ke leher gadis itu untuk menghirup aroma yang hanya Yuki sendiri yang bisa menciumnya. Wangi darah dari gadis itu yang tidak sanggup ia ambil karena dia tidak memiliki taring.

Tapi aksi Yuki ini tidak bertahan lama. Karena akhirnya salah seorang mahasiswa misterius yang muncul entah darimana menarik tubuh Yuki dari gadis itu hanya dengan satu tangan. Semua orang terkesima melihat perbuatan yang dilakukan pemuda yang berpakaian serba hitam dan wajahnya tidak terlihat karena potongan rambutnya menutupi sebagian besar wajahnya yang putih pucat itu.

Yuki yang memberontak dan berusaha melawan cengkraman pemuda itu di kerah kemejanya kini tidak berkutik. Yang hanya pemuda itu lakukan adalah menatap Yuki dalam-dalam seolah mengatakan sesuatu pada Yuki dengan tanpa suara. Apapun yang dikatakan pemuda itu dalam diam kepada Yuki, membuat Yuki kembali menjadi ‘jinak’ dan lemas.

Dengan seketika, Yuki pun tumbang tidak sadarkan diri di dalam dekapan pemuda itu.

No comments:

Post a Comment