Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Friday, December 2, 2011

New World (8)

8

Emily menjadikan kamar ayahnya sebagai tempat untuk dia tidur di malam pertamanya di markas PF. Dia sangat menyukai kamar ini karena dia merasa ayahnya seperti berada disana, mengamati dirinya. Walaupun Kai sudah pergi dari kamarnya setelah mengucapkan selamat tidur, Emily masih tetap duduk di depan perapian, mengamati foto ayahnya.

Hanya dengan mengamati seperti itu, dia serasa seperti sedang berkenalan dengan sang ayah. Dia tidak akan pernah bosan memandang wajah itu. Dengan pandangan masih tertuju pada sang ayah, dia membayangkan apa saja yang pernah dilakukan olehnya. Entah kenapa dia langsung yakin kalau ayahnya pasti pernah menikmati segelas English Breakfast Tea setiap pagi di sofa tempat Emily sedang duduk sekarang. Atau mungkin ayahnya pernah duduk di tempat tidur, menyandarkan tubuhnya dengan bantal, membayangkan apa yang sedang Emily lakukan bersama Nara. Mungkin dia juga pernah berkata dalam hati kalau dia rindu dan ingin sekali bertemu mereka. Sebuah permintaan kecil yang hanya Hiroshi yang bisa mendengarnya. Sebuah permintaan sederhana yang dia tahu tidak akan dia dapatkan, walaupun dunia ada di dalam genggamannya.

Emily pergi tidur dengan perasaan tidak menentu. Dia baru sadar kalau dirinya sangat lelah saat ia berbaring. Dia belum pernah merasakan lelah seperti ini.

Tidak banyak mimpi yang terjadi saat Emily tidur, hanya gambaran-gambaran tidak jelas yang ia lihat. Tidak ada mimpi indah dan buruk. Semuanya monoton, membantu Emily tidur dengan nyenyak. Dia hampir tidak bisa tidur seperti itu di malam-malam sebelumnya.

Sampai dia merasakan seseorang hadir di dalam mimpinya, seorang pria tampan namun wajahnya tertutupi oleh rambutnya. Dia menggenggam tangan Emily yang sedang berdiri di tengah-tengah dunia mimpinya yang serba putih dengan penuh kasih, mengajak Emily pergi ke suatu tempat. Dan Emily pernah merasakan ini sebelumnya.

Tepat saat itu Emily membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat saat terbangun adalah wajah Kai sedang menatapnya, dalam jarak yang sangat dekat.

---

Jam 10 pagi. Sekarang sudah saatnya untuk Emily bangun. Kai berjalan melewati lorong lantai 7 tempat tinggal para anggota inti PF. Dia tadi melihat semua orang sudah pergi. Caz dan Aoi pergi bertransaksi, Andy dan Ruki pergi berburu binatang liar di hutan Aokigahara, hutan terangker di Jepang yang letaknya di kaki gunung Fuji, dan Shou pergi ke rumah sakit. Semua orang sudah mulai sibuk.

Satu-satunya yang tidur di markas ini hanyalah Emily yang sekarang hendak dia panggil. Vampir hampir tidak pernah tidur, mereka hanya tidur kalau sangat dibutuhkan. Lebih tepatnya, tidak sadarkan diri. Seperti saat setelah mabuk atau fly karena alkohol dan drugs untuk kebanyakan kasus di markas PF.

Sesampainya di depan kamar Emily, dia memasukkan kode kamar di kunci elektronik pintu sebelum dia masuk. Dia kemudian menemukan Emily masih terlelap di tempat tidurnya. Tidurnya nyenyak sekali sampai dia tidak sadar kalau Kai sudah memasuki kamarnya.

Didorong rasa penasaran, Kai mendekati sosok Emily yang belum sadarkan diri itu. Dia berjingkat menuju Emily. Ketika dia sampai di sisi tempat tidur, dia mencondongkan tubuhnya ke Emily, mengamati wajah yang masih tidur itu. Tubuhnya masih berbalut selimut tebal, rambutnya berantakan, tapi wajahnya masih tetap cantik seperti yang biasanya Kai lihat. Ini bukan pertama kalinya Kai seperti ini, berdiri diam, mengagumi sosok yang tertidur bagaikan putri ini. Wangi tubuhnya yang ia tangkap dengan penciuman vampirnya, aroma darahnya yang manis mengalir di tubuh wanita ini. Menggodanya untuk menaruh taringnya di leher Emily yang terbuka lebar, seakan mengundangnya untuk melakukan hal itu.

Dan dia masih terus melakukannya walaupun Emily sudah terbangun, menyadari Kai sedang menatapnya dengan penuh perasaan dan hawa nafsu.

“wow...” Emily sedikit kaget ketika melihat Kai dalam jarak yang sangat dekat sekali dari wajah mengantuknya. “ada yang salah dengan wajahku? Kenapa kau menatapku seperti itu?”

Kai langsung menjauhkan wajahnya dari Emily dan bersikap polos, seolah dia tidak pernah melakukannya. “tidak, tidak ada yang salah.”

Emily jelas tidak percaya dengan jawaban Kai. Namun dia tidak marah. Dia malah tersenyum menggoda dan mengangkat alis kirinya, seperti ingin menjahili Kai. “benar, tidak ada yang salah? Caramu menatapku rasanya seperti ingin menggigitku...”

“aku tidak ingin menggigit anda, hanya anda satu-satunya manusia di dunia ini yang tidak ingin kugigit.” Kai menyangkal sangat jelas dan yakin.

“masa? Memangnya darahku tidak enak? Atau baunya tidak sedap?” Emily bertanya dengan nada penuh ingin tahu. Dia turun dari tempat tidur lalu menatap Kai lekat-lekat.

Kai bisa melihat Emily hanya mengenakan gaun tidur abu-abu bertali spaghetti, panjangnya setengah paha, dan pas sekali di badannya, membuat tubuh Emily yang terbentuk sempurna semakin tercetak dan kulit putih pucatnya terlihat sangat seksi karena warna gaunnya. Pria itu hanya terpaku dan menelan ludahnya diam-diam ketika melihat Emily dari atas sampai bawah. Apalagi rambut hitam Emily yang acak-acakan seakan menambah kecantikannya saja.

“ngg... tidak! Karena anda adalah pemimpinku. Jadi rasanya tidak pantas kalau aku menggigit anda tanpa izin!” Kai menjawab dengan buru-buru, nyaris tidak terdengar.

“kalau semua orang disini seperti dirimu, bagaimana bisa aku berubah menjadi vampir suatu hari nanti?” Emily merengut kecewa.

“Caz atau Andy bisa merubah anda. Rena dan Satsuki juga bisa. Mereka bisa menggigit anda tanpa merasa sakit.” Kai memberikan contoh. “tapi, memangnya anda sudah siap untuk itu?”

Emily mengangkat bahunya. “entah. Aku ingin seseorang yang spesial untuk merubahku menjadi salah satu dari kalian. Karena saat itu akan menjadi titik balik hidupku, dan aku tidak ingin menyesal karena sudah menyerahkan hidupku pada orang yang salah.”

Kai terdiam. Jadi itu kuncinya, pikir Kai. Emily hanya ingin menyerahkan dirinya pada seseorang yang sangat berarti baginya. Dan di antara puluhan anggota inti dan ratusan pasukan yang bekerja di markas ini, akan menjadi salah satunya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Kai berharap dialah orangnya.

Lalu dia buru-buru menepis pikiran itu. Mana mungkin Emily mau menjadikan dirinya sebagai orang spesial. Kai masih ingat betul kejadian kemarin. Emily membentaknya, memarahinya karena dia telah membawa wanita itu pergi dari ibunya, lalu berkata dia tidak tahu harus membenci Kai atau tidak karena alasan yang sama. Lagipula Kai bisa berada sedekat ini dengan Emily karena kewajiban, Kai harus menjaga calon pemimpinnya. Tidak lebih.

“Kai-chan? Kau tidak apa-apa?” Emily menggoyangkan tangannya di depan wajah melamun Kai.

“eh? Ya?” Kai tersadar. “tidak, tidak apa-apa. Kenapa anda memanggilku ‘Kai-chan’?” Kai berkacak pinggang. Dia tidak suka dipanggil seperti itu.

“kenapa?” Emily bertanya balik. “kau tidak suka?”

“aku ketua divisi investigasi organisasi terbesar dan paling dihormati di dunia, aku sudah memburu sekitar 200 manusia, sudah 50 penjahat kueksekusi, dan kira-kira ribuan kriminal sudah kujebloskan ke penjara. Jadi ya, aku tidak suka anda memanggilku seperti itu.” Kai berkata dengan sangat bangga.

Emily malah tertawa lucu seperti anak kecil. “iya, iya. Aku percaya. Tapi tidak ada yang pernah bilang kalau kau manis? Coba saja kalau kau sering tertawa, lesung pipitmu akan terlihat.”

“tidak ada yang boleh memanggilku Kai-chan. Mengerti? Rasanya kehormatanku hilang kalau ada yang memanggilku seperti itu dengan nada anak kecil.”

Mendengar itu, tawa Emily semakin kencang. Dia menggelengkan kepalanya lalu berkata, “kau takut harga dirimu jatuh hanya karena aku memanggilmu ‘Kai-chan’? Dasar pria.”

Kai menggeram kesal. Emily tetap tidak berhenti tertawa walaupun Kai sudah memasang ekspresi galak seperti yang dia lihat sekarang. “sudahlah. Hentikan Emily-sama! Aku mohon.”

Perlahan Emily meredakan tawanya dan bersikap lebih serius. “oke. Aku yakin kau datang ke kamarku karena ada maksud. Ada apa, Kai-chan?” Emily masih tetap memanggilnya dengan nama itu.

“anda harus bersiap-siap. Kami sudah menyediakan pakaian ganti untuk anda. Semuanya sudah tersedia di lemari kloset toilet kamar ini. Selesai bersiap-siap, anda akan sarapan dan check up di laboratorium lalu mengikuti penyelidikan kami untuk kasus pembunuhan Hiroshi-sama dan Nara-san.”

“baiklah. Aku akan mandi.” Emily mengangguk. “dan... selama aku mandi apa kau masih terus berada disini?”

“kalau anda tidak ingin, aku bisa keluar dari sini.” Kata Kai.

“tidak usah. Lebih baik kau disini saja,” kata Emily sambil beranjak menuju kamar mandi. “Kai-chan...” lagi-lagi Emily menggodanya.

“sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama itu!” seru Kai.

“begini saja.” Emily memberinya kesepakatan. “kau bisa memanggilku dengan nama Emily saja. Em atau Yuki juga boleh.”

“rasanya tidak sopan kalau aku memanggil anda dengan nama itu.” Kai menolak halus.

“tidak apa. Toh aku tidak suka kalau orang lain memanggilku dengan nada mengagungkan diriku. Aku sama seperti kalian. Justru kalian yang lebih baik daripada aku. Dan hal ini juga berlaku pada yang lain yang memanggilku dengan tambahan ‘sama’ dan lainnya. Tolong sampaikan pada mereka.” Pesan Emily sebelum dia masuk ke kamar mandi.

 ---

Emily terlihat lebih rapi dan cantik saat keluar dari kamar mandi. Dia memilih kaus hitam berleher tinggi dan berlengan panjang sebagai atasannya dan celana jeans hitam untuk bawahannya. Dia memakai sneakers Puma kesayangannya seperti biasa. Rambutnya yang basah dan sudah disisir dia biarkan terurai.

Emily melihat Kai sedang duduk di sofa, memainkan pisau lipatnya dengan cara memasukkan dan mengeluarkan mata pisau dari bungkus pelindungnya. Kai tidak sadar kalau Emily sudah keluar dari kamar mandi.

Tadinya Emily ingin memanggil Kai, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia teringat 15 menit yang lalu sebelum dia pergi mandi. Saat dia mengobrol dengan pendampingnya itu.

Seandainya akulah orang spesial yang dia inginkan. Tapi tidak mungkin. Kau hanya pendampingnya, Kai. Tidak lebih.

Emily sangat tahu Kai tidak pernah mengucapkan kata itu lewat mulutnya, tapi dia mendengarnya sangat jelas. Suara itu bernada penuh harap dan ada penyangkalan di antaranya. Karena Emily masih tidak yakin dengan apa yang ia dengar, dia berpura-pura tidak pernah mendengarnya dan bersikap seperti anak kecil untuk menutupi apa yang ia tahu. Memanggilnya dengan nama Kai-chan, benar-benar di luar dugaannya.

Emily sekarang berdiri di belakang sofa tempat Kai duduk. Agar suasana tidak canggung, Emily membungkukkan badannya, sengaja menggerayangi pundak Kai dengan kedua tangannya, membuat Kai terlunjak kaget. Kai langsung menoleh ke belakang sambil mengacungkan pisaunya persis di depan mata Emily yang membelalak takut.

“astaga...” Kai terengah-engah. Terbiasa dalam keadaan berbahaya, adrenalinnya langsung terangsang karena sentuhan menakutkan dari Emily tadi. Cepat-cepat Kai menyingkirkan pisaunya dari wajah Emily yang masih terlihat sangat kaget.

“wow.” Emily kagum. “Kai-chan, bagaimana kau bisa melakukannya?”

“karena aku sudah terbiasa menghadapi bahaya. Di dalam kamusku, kalau ada yang menghampiriku secara diam-diam seperti kau tadi, Emily, itu artinya...”

“ada musuh mendekat.” Emily melanjutkan kata-kata Kai. “dan di dalam kamusku, kalau aku melakukan hal itu, bukan berarti aku ingin membunuhmu, Kai-chan.”

“oh ya, bicara soal membunuh, apa kau membawa alat komunikasi kesini?” tanya Kai.

“ya. iPhoneku masih kubawa. Memangnya kenapa?”

Kai berdiri dan meminta Emily menyerahkan iPhonenya. Emily mengambil iPhone itu dari saku celana jeans barunya. Begitu alat komunikasi canggih itu sudah ada di tangan Kai, dia langsung membantingnya ke lantai dan menginjaknya sampai iPhone itu hancur berkeping-keping.

“TIDAAAK!” Emily menjerit sangat kencang karena iPhone kesayangannya dihancurkan begitu saja. “Kai! Apa yang kau lakukan!?”

“semua orang yang mencari jejakmu dengan nama Yuki Akibara pasti akan menemukanmu berada disini dengan melacak sinyal dari iPhone ini. Ini alat yang berbahaya.”

“tapi alat berbahaya ini kubeli dengan mengorbankan uang sakuku selama setahun!” Emily berlutut dan mengais pecahan iPhonenya yang berserakan di lantai. “disini ada lagu-lagu favoritku, foto-fotoku bersama ibuku, aplikasi game favoritku, semuanya ada disini!”

Walaupun Emily masih mengomel, meratapi, dan tidak merelakan iPhonenya, Kai menarik Emily berdiri dan membawanya keluar dari kamar. “ini demi keamananmu juga, Emily. Ayo, kau harus sarapan sebelum kita bekerja.”

 ---

Kai turun di lantai 5, dimana laboratorium milik Shou dan Nao berada. Kai masuk ke bagian laboratorium, menemukan Nao baru saja selesai memeriksa seorang jenazah gadis tanpa identitas. Mayat itu ada di atas meja autopsi yang Nao bawa dari ruang medis.

“hei, Kai. Bukankah kau harus menemani Emily-sama? Kenapa kau sendirian saja kesini?” sapa Nao.

“Emily menendangku keluar dari lift saat mencapai lantai ini. Dia tidak ingin aku mengikutinya sarapan di bar karena sedang kesal padaku.” Kai menarik kursi putar dari meja mikroskop untuk dia jadikan tempat duduk tepat di sebelah Nao.

“kesal kenapa? Apa kalian bertarung lagi?” Nao menutupi seluruh tubuh mayat gadis itu dengan sehelai kain putih. Dia sekarang memperhatikan Kai.

“tidak. Aku menghancurkan iPhonenya. Benar-benar menghancurkan iPhonenya.” Jawab Kai santai.

“Kai, jelas saja dia marah. iPhone kan barang bagus dan mahal, apalagi kalau dia membelinya dengan uangnya sendiri.” Nao sama sekali tidak mengerti kenapa Kai tidak memahami perasaan Emily perihal barang elektronik itu.

“aku menghancurkannya agar tidak ada yang melacak sinyalnya, Nao. Kau tahu kan kalau keberadaannya disini masih dirahasiakan sampai dia benar-benar aman dan resmi menjadi pemimpin. Lagipula, aku juga kesal karena dia sudah memanggilku ‘Kai-chan’.” Kai melipat kedua lengannya di dada.

Nao tertawa terbahak-bahak. “apa? Apa aku tidak salah dengar? Dia memanggilmu ‘Kai-chan’?”

“sekarang malah kau yang tertawa. Diam kau, Nao!” seru Kai. Tapi tidak berhasil. Tawa Nao malah semakin kencang sampai dokter periang itu memegangi perutnya sendiri. Kai pun membiarkan Nao seperti itu sampai dia puas.

Setelah Nao berhenti, dia berkata, “kurasa tidak ada salahnya dia memanggilmu dengan nama itu. Anggap saja itu panggilan sayang darinya. Lagipula, kurasa kau sudah menghibur Emily, Kai.”

“menghibur bagaimana?”

“ya... kemarin dia bersedih, kan? Dia menangis di lab ini, dan saat aku berkumpul dengan teman-temanku di sisi lain bar aku melihatnya pergi meninggalkan pesta bersamamu dengan wajah sedih. Sekarang dia malah menciptakan nama panggilan yang sangat unik untukmu. Itu berarti kemajuan, bukan? Apapun yang kau lakukan padanya, dia kembali ceria.”

“memangnya kau sudah tahu tentang dirinya sampai kau bisa berkata seperti itu?”

“entahlah, Kai. Seharusnya kau yang mengatakannya padaku. Kau yang mengawasi dan mengamatinya setiap hari selama separuh hidupnya, kan?”

Kai tidak bisa menjawab. Nao ada benarnya juga. Pagi ini Emily terlihat lebih ceria dan sedikit lebih banyak bicara daripada kemarin. Semua itu karena Kai. Selama dia mengawasi Emily, dia hampir tidak pernah melihat wanita itu tersenyum tulus kecuali kalau dia bersama ibunya. Dia tahu senyuman itu tidak akan pernah muncul setelah kepergian Nara, tapi senyuman itu masih tetap ada karena Kai. Saat menyadarinya, Kai jadi tersenyum sendiri.

“bisa kulihat ada seseorang yang sedang jatuh cinta...” Nao ikut menarik kursi dari meja mikroskop dan duduk di sebelah Kai, mengamati sahabatnya. “ya kan..., Kai-chan?”

“Nao, cukup Emily saja yang memanggilku seperti itu! Kau tidak usah ikut-ikutan!” Kai melarangnya.

“oh, berarti semakin ketahuan, kau benar-benar menyukainya.” Nao mengelus-elus dagunya, bersikap bak seorang detektif.

Merasa tidak perlu meladeni ledekan Nao, Kai diam saja. Membiarkan seluruh pendapatnya ia simpan untuk dirinya sendiri. Dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, “ngomong-ngomong mayat siapa yang baru saja kau periksa?”

“oh, dia? Dia baru datang pagi ini. Aku memindahkannya dari ruang medis kesini untuk diperiksa. Dia korban pertama kasus pembunuhan misterius yang akan kau usut nanti. Kepolisian sudah menyerahkan sepenuhnya kasus ini ke tangan kita.” Jawab Nao. Dia kembali membuka kain yang menutup tubuh tidak bernyawa itu sebatas leher. “aku kasihan padanya. Aku mengamati lagi hasil autopsi yang mereka lakukan, dan ternyata benar. Dia dihisap darahnya sampai habis.”

“ya, ya... aku sudah mendengar laporan singkatnya dari Hibiki beberapa hari yang lalu.” Kata Kai sambil melihat mayat si gadis dengan seksama. Tubuhnya benar-benar kering, kulitnya mengerut dan yang tersisa di balik kulit sangat kusam itu hanyalah organ-organ tubuh yang sudah mulai membusuk dan tulang belulang, wajahnya kuyu seakan tubuh ini tidak pernah mempunyai kehidupan sebelumnya. Dia nyaris seperti mumi yang belum dibalsami.

“menurut data dan hasil pencocokan gigi, dia bernama Haruna Fujimoto, 21 tahun, seorang karyawan di sebuah bar kecil di daerah Roppongi.” Nao mengambil berkas data tentang mayat itu dari meja praktik di dekatnya. “dari bekas gigitan di lehernya, sudah jelas dia telah menjadi korban vampir yang haus darah. Tapi yang aneh adalah, dia tidak mati karena darahnya dihisap sampai habis.”

“lalu?” Kai menanti Nao untuk meneruskan.

“kau pernah mendengar istilah sudden sniffing death sebelumnya, Kai?” tanya Nao.

“tentu saja. kematian mendadak karena menghirup zat narkoba jenis inhalasia. Seperti aerosol, bensin, lem, dan peralatan rumah tangga lainnya. Aoi tahu lebih banyak soal itu.”

“yap. Dan aku baru saja mengecek organ pernafasan gadis malang ini. Dia terlalu banyak menghirup gas butan, bahan untuk lighter yang biasa kita pakai.”

“aneh. Kalau pelaku kita hanya seorang vampir yang haus darah, kenapa dia sampai repot-repot meracuni korbannya dengan gas beracun yang cukup sulit didapat?” Kai mengerutkan dahinya.

“luka luar gadis ini tidak hanya bekas gigitan di lehernya saja.” Nao mengeluarkan tangan kanan mayat gadis itu dari balik kain putih itu. Terlihatlah bekas luka sayatan yang sangat dalam dan berpola rapi di urat nadinya. Kai semakin merasakan kejanggalan dari mayat Haruna. “dia tidak menghisap darahnya lewat gigitan itu, tapi melalui ini. Seakan gigitan itu hanyalah simbol kalau yang melakukan ini adalah vampir atau sebagai identitasnya saja.”

Tanpa diberitahu, Nao sudah bisa membaca wajah Kai yang kebingungan itu. “ya, Kai. Dia korban seorang vampir psikopat. Mayat kedua masih belum kuperiksa. Tapi aku yakin aku akan menemukan keganjalan yang sama pada mayat kedua itu. Kuperkirakan, pembunuhan berantai ini masih akan berlanjut.”

 ---

Di bar markas PF, Emily duduk di counter bar menikmati segelas orange juice yang disediakan Rena. Wanita cantik itu kini duduk di sebelah Emily, menikmati segelas Moet and Chandon Rose Imperial di gelas champagne. Mereka mengobrol bersama sembari menunggu Saki menyiapkan sarapan untuk Emily.

“bisa kulihat kau sudah lebih ceria dari kemarin, Em. Tapi, apa yang mengganggumu? Kau keluar dari lift sambil cemberut tadi.” Kata Rena.

“ya. Kai menceritakanku tentang ayahku semalam dan aku merasa harus berterima kasih pada kalian. Sewaktu aku menemukan ibuku sekarat, pesan terakhirnya adalah menyuruhku berlari. Mungkin maksudnya dia memintaku untuk tinggal disini bersama kalian. Dan alasan kenapa aku keluar dari lift sambil cemberut adalah karena Kai. Dia menghancurkan iPhoneku berkeping-keping. Benar-benar sampai berkeping-keping!” Emily memukul counter karena masih merasa emosi.

Rena tertawa kecil. “dia hanya melakukan kewajibannya untuk melindungimu, Em. Sinyal iPhonemu bisa dijadikan acuan untuk mencari jejakmu.”

“memang... tapi...” Emily masih belum bisa merelakan.

“lagipula kau kan sebentar lagi akan menjadi pemimpin terbesar di dunia. Kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan, Em. Atau, kau tidak tertarik dengan tawaran itu?” Rena menatap kedua mata Emily dalam-dalam, mencari sebuah jawaban.

“entahlah. Di balik semua itu pasti ada tugas yang sangat berat, bukan? Masa depan jutaan vampir ada di tanganku, dan aku harus bertanggung jawab pada mereka.” Jawab Emily apa adanya.

“ayahku sangat mengenal Damian. Dia sangat menghormati pria berkarisma itu. Persekutuan ini menjadi erat karena didasarkan persahabatan dan kasih sayang di antara mereka, bukannya keuntungan dan tipu muslihat.” Kata Rena.

“kurasa kemampuan Damian masih jauh lebih tinggi dari apa yang dia perlihatkan. Tapi dia menyembunyikannya, menggunakannya hanya untuk dirinya sendiri. Mungkin karena dia tahu kalau kemampuannya itu akan menjadi sangat fatal kalau diketahui orang lain. Namun ada seseorang yang mengetahui itu, yaitu orang yang membunuhnya.”

“apakah ayahku seagung itu sampai kalian semua menghormatinya?” tanya Emily yang sangat mengagumi kesetiaan para vampir ini.

“aku tidak tahu bagaimana pendapat orang lain untuk itu, tapi menurutku secara pribadi, dia pernah menyelamatkan nyawaku, makanya aku sangat menghormatinya...” jawab Rena.

Kemudian sebuah bayangan dari masa lalu terlintas di benak Rena. Kejadian itu terjadi sekitar 10 tahun yang lalu, di Perancis saat dia terancam bahaya. Di sebuah pesta dansa yang diadakan oleh salah satu pemimpin klan vampir terbesar di Perancis. Seseorang yang identitasnya sangat ingin dia lupakan membawanya pergi sebagai sandera dari sebuah misi yang dia berharap tidak pernah dia lakukan kalau seandainya dia tahu akan berakibat apa. Masih mengenakan gaun mewah ala victoriannya itu, dia dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil Rolls Royce hitam. Mereka hendak membawanya ke markas mereka untuk diinterogasi dan disiksa. Tapi saat baru setengah perjalanan, seseorang menghentikan mobil mereka di tengah padang rumput yang sepi. Seorang vampir berdiri di depan mobil mewah itu.  Topi, topeng klasik berdetail ukiran emas, dan jubah yang semuanya berwarna hitam menutupi jati dirinya. Sekejap mata seluruh penjahat yang menyanderanya tergeletak dengan darah mengalir dari leher mereka.

Dia pun menghampiri Rena yang masih ketakutan di dalam mobil. Dia mengulurkan tangannya untuk Rena dan membuka topengnya. Wajah tampan Damian yang disinari cahaya bulan membuat Rena melupakan rasa takutnya. Setelah Rena mengetahui siapa yang telah menyelamatkannya, dia langsung membungkuk memberi hormat. Namun Damian menyuruhnya berdiri dan berkata, “aku adalah sahabat dan sekutu ayahmu. Aku diberi amanat olehnya untuk menjagamu seperti anakku sendiri disini. Dan aku dengan senang hati melakukannya tanpa diminta.”

“sepertinya ayahku pernah melakukan sesuatu yang sangat luar biasa padamu, Rena...” Emily menyadarkan Rena dari lamunan masa lalunya.

“ya, kau benar...” Rena tersenyum misterius sambil meneguk Chandonnya lagi.

“kalau bukan karena Damian, aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan kakakku sekarang...” Saki datang membawa sarapan untuk Emily, sepiring tuna sandwich besar dengan roti perancis.

“kelihatannya enak, Saki...” Emily menjilat ujung bibirnya. “oh ya, maaf kalau semalam aku meninggalkan bar dan tidak memakan masakanmu, Saki...”

“tidak apa. Sudah ada Aoi dan Ruki yang memakannya. Mereka berebutan seperti anak kecil.” Saki sama sekali tidak marah. “semoga kau suka dengan sandwichnya, Emily.”

Saki juga membawa sorbet lemon blueberry sebagai makanan penutup. Emily langsung mengambil pisau dan garpu yang juga dibawa Saki sebelum dia memakan semua itu dengan rakus.

“ya sudah. Selamat menikmati, Emily...” Rena menepuk pundak Emily seraya berpamitan pergi. “aku dan Saki ada pemotretan nanti sore. Taruh saja piringnya disini, nanti akan ada yang membersihkan. Oke?”

Emily membalas salam dari Rena dan Saki dengan tersenyum sekilas. Kakak beradik itu pun pergi meninggalkan bar.

---

Kai masih membahas kasus pembunuhan Haruna Fujimoto bersama Nao saat Emily datang ke laboratorium. Mereka menghentikan diskusi ketika Emily terpaku melihat jenazah Haruna yang ditutupi kain putih.

“apa... jasad itu...” Emily bertanya takut-takut. “ibuku...?”

“bukan, Emily, dia bukan Nara-san.” Kai berdiri menghampiri Emily. “dia mayat korban penghisapan darah oleh vampir pembunuh berantai...”

“kapan kalian akan mengambil jasad ibuku dari mereka?” tanya Emily. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “dimana dia sekarang? Apa kalian sudah mendapat info tentangnya?”

“kami sedang berusaha Emily. Orang-orang dari divisiku sekarang sedang berada di markas kepolisian Tokyo untuk memroses kasusnya.” Kai menenangkan Emily. “jangan khawatir, kami pastikan beliau tidak akan ternodai oleh mereka.”

Emily ingin sekali melihat jasad ibunya sebelum dimakamkan dengan layak. Tapi dia tahu kemungkinan dia tidak akan bisa menghadiri acara pemakaman yang dia rencanakan. Semua media pasti akan ada disana untuk meliput berita kematian ibunya, dan kehadiran Emily disana akan sangat mencolok perhatian.

Kai bisa merasakan ketidakyakinan pada diri Emily. Dia lalu berkata, “bagaimana kalau kau ikut aku ke divisi investigasi setelah kau diperiksa Nao?”

“dimana itu?” tapi Kai tidak menjawab pertanyaan Emily. Dia malah menyuruh Nao melakukan proses pemeriksaan rutin pada Emily. Emily hanya bisa menurut ketika Nao memintanya ikut ke ruang medis di sebelah.

---

Setengah jam kemudian, Kai dan Emily pergi ke lantai 8, bagian investigasi di markas PF. Saat mereka keluar dari lift, mereka disambut lorong panjang tidak begitu lebar dan memiliki beberapa pintu. Lantai ini terkesan suram dan menakutkan. Dindingnya berwarna abu-abu kusam, pintu-pintu dari besi dan baja seluruhnya memiliki kunci elektronik. Selagi mereka menyusuri lorong, Kai menjelaskan masing-masing isi di balik pintu-pintu itu. Mereka memiliki ruang interogasi dan ruang pengamatan. Ruang interogasi memiliki cermin tembus pandang yang kalau dilihat dari ruang pengamatan adalah jendela yang membantu para penyelidik mengamati tersangka mereka ketika diinterogasi. Selain kedua ruangan itu, ada ruang video conference. Orang-orang di markas ini berhubungan dengan siapapun yang bersangkutan dengan urusan PF lewat video yang disambungkan via satelit disana. Dan terakhir ruang penyelidikan. Ruang penyelidikan merupakan ruangan yang paling luas. Di dalamnya masih ada ruang kerja khusus untuk penyelidik. Ruangan-ruangan khusus itu dipisah oleh sekat di sisi ruang. Di tengah-tengah terdapat meja bundar sebagai tempat para penyelidik berkumpul untuk membahas kasus. Kesanalah Kai dan Emily menuju.

Di ruang penyelidikan sudah menunggu 3 orang anak buah Kai. Mereka semua vampir yang memiliki keahlian masing-masing dalam menyelidiki kasus. Pertama Kaei. Dia berpenampilan sangat rapi dengan jas dan rambut hitamnya. Dia sebagai pengumpul data dan menganalisisnya. Kedua Yuya, pria berpenampilan misterius dengan mata sipit yang menusuk. Menurut Emily, dia tampan juga. Wajahnya terlihat galak dan seperti ingin menantang orang lain. Dia bertugas terjun ke lapangan atau TKP sebagai wakil dari PF. Ketiga Hibiki, dia seorang profiler. Dia mampu memperkirakan gerak-gerik penjahat yang mereka selidiki. Bersama Kai, keempat orang ini meringkus penjahat, pengkhianat, dan siapapun yang menghalangi jalan mereka.

Saat mereka melihat Emily masuk ke ruangan, mereka langsung berdiri membungkukkan badannya, memberi hormat pada Emily.

“tidak kami sangka anda akan bergabung ke dalam rapat ini, Emily-sama...” kata Yuya menyambut Emily.

“tolong...” Emily mengangkat tangannya. “jangan panggil aku Emily-sama. Cukup Emily atau Em.”

“wah, kerendahan hati anda sama seperti almarhum Damian. Dia tidak ingin dipanggil dengan nama panggilan yang lebih tinggi dari kami.” Sahut Kaei.

“kita mulai rapat ini. Ada perkembangan dari kasus penembakan Nara Akibara?” Kai duduk dan memulai rapat.

“aku mendapatkan nama senjata yang digunakan untuk menembak beliau. Glock 26 berkaliber 9mm.” Yuya mengeluarkan selembar foto berisi senjata yang dimaksud dan kantong barang bukti berisi peluru yang diambil dari tubuh Nara. Emily menghela nafasnya dengan berat saat foto dan kantong itu tergeletak di tengah meja.

“aku baru saja mengontak orang-orang yang mempunyai kemungkinan dan kemampuan untuk membunuh Nara-san. Hasilnya nihil. Mereka semua mempunyai alibi atau tidak mempunyai kemampuan untuk membunuh.” Hibiki menambahi.

“aku memeriksa jejak sepatu pelaku yang dipotret Yuya dari TKP. Sepatu pelaku kita ternyata mewah juga. Sepatu merk Alexander McQueen edisi terbatas. Kurasa pelakunya seorang pembunuh yang pandai bergaul.” Timpal Kaei. Dia mengeluarkan foto jejak kaki berdarah dari rumah Emily yang menjadi TKP. “akan kucari siapa saja yang membeli sepatu itu dari seluruh dunia. Karena edisi terbatas, bisa membantuku memudahkan pencarian.”

“bagus. Perluas lagi penyelidikan kalian. Cari tahu apakah pembunuhan ini adalah bagian dari kasus Damian.” Kata Kai. “Emily, ada yang ingin kau sampaikan mengenai kasus ini?”

“coba kalian hubungi Rena dan Saki untuk membantu kalian menyusupi wilayah entertainment. Kalian mungkin menemui kesulitan karena orang-orang disana biasanya mempunyai privasi yang sangat tinggi, bukan? Kau tahulah, orang-orang kelas atas macam mereka pasti sering menyewa bodyguard atau semacamnya untuk melindungi diri mereka sendiri. Rena dan Saki bisa membantu kalian menembus pertahanan itu.” Emily memberi saran.

“benar juga. Kalau pelaku kita ternyata benar mengamati anda dan Nara-san dari jauh, dia pasti punya akses untuk menyusup ke wilayah seperti itu.” Yuya membenarkan.

“persempit pencarian terhadap para vampir yang mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan dan organisasi-organisasi yang berhubungan dengan kita. Kalau dia mengamatiku dan ibuku dari jauh, dia pasti tahu kalau aku mempunyai hubungan dengan organisasi ini.” Emily menambahkan.

“saran yang bagus, Em... aku belum terpikirkan soal itu.” Kai tersenyum kagum. Emily hanya mengangkat bahunya.

“apa kalian juga mempunyai perkembangan perihal kasus penghisapan darah terhadap 2 gadis malang itu?” Kai mengganti topik kasus. “Nao sudah mengautopsi korban pertama. Dia menemukan gas butan di organ pernafasannya dan diduga itulah penyebab kematiannya.”

“aneh...” Kaei berpendapat. “kalau dia membunuh hanya untuk darah mereka, kenapa harus repot-repot meracuni mereka segala?”

“tipikal psycho. Dia pasti sangat menikmati apa yang dilakukannya.” Hibiki membawa tumpukan kasus penghisapan darah yang sudah terjadi beberapa hari yang lalu. “mayat pertama dibuang di bar dekat gedung markas ini. Mayat kedua dibuang di bekas pusat pertokoan yang jaraknya hanya 1 kilo dari sini juga. Seakan pembunuh ingin mengejek kita.”

“apa aku boleh menduga seperti ini? Kenapa pembunuhan berantai itu dan pembunuhan ibuku terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan?” tanya Emily.

“aku sedikit meragukannya karena modus kejahatannya berbeda. Pembunuhan terhadap Nara-san terkesan terburu-buru sampai meninggalkan kerusakan di TKP. Tetapi pembunuhan berantai ini jauh lebih rapi. Kedua korban diculik saat mereka baru pulang dari bekerja pada tengah malam. Korban pertama, Haruna Fujimoto bekerja di sebuah bar di daerah Roppongi dan korban kedua, Harumi Shimizu di sebuah departemen store.” Hibiki sedikit menentang pendapat Emily.

“tunggu... kita berhadapan dengan seorang pembunuh profesional, teman-teman. Bagaimana kalau... dia sengaja membuat rumah Emily berantakan untuk mengaburkan jejaknya?” Kai menyadari sesuatu.

“benar juga... atau mungkin lebih tepatnya, dia ingin menyampaikan pesan untuk Emily.” Kaei sedikit menambahi. “dia meninggalkan jejaknya di TKP. Bukankah itu menantang kita untuk mencari siapa dirinya? Dia mengincar Emily, dia pasti ingin Emily menemukannya.”

“kenapa begitu?” Emily tidak mengerti.

“itu bagian dari permainannya. Banyak yang menginginkan kematianmu, Em. Hampir semua orang berkuasa yang menentang kita berharap sama.” Kata Kai. “baiklah. Sekarang kita ke rumah Emily lagi. Kita cari petunjuk yang belum ditemukan oleh polisi-polisi menyusahkan itu.”

Ketiga anak buah Kai langsung berdiri dan bersiap-siap. Emily juga, dia ikut berdiri dan beranjak keluar dari ruang penyelidikan. Namun Kai menahannya dengan berkata, “kau tidak boleh ikut.”

“eh? Kenapa? Itu kan rumahku. Aku bisa membantu kalian mencari petunjuk.” Emily protes.

“tadi tidak dengar aku berkata apa?” Kai berdiri dan menatap Emily. “pembunuh itu sedang mempermainkanmu. Kita tidak tahu bagaimana jadinya kalau dia tahu kau ikut kami ke TKP. Aku juga tidak yakin kau bisa mengontrol dirimu saat berada disana.”

“ibuku korbannya, Kai. Aku ingin kasus ini cepat-cepat menemukan titik terang. Aku tadi sudah membantu kalian dengan memberi salah satu jalan keluar. Mungkin disana aku bisa memberikan lebih.” Emily meyakinkan Kai.

Namun Kai tetap tidak berubah pikiran dan membalas. “sebelum kau bisa terjun ke lapangan, lebih baik kau pelajari dulu gedung ini. Sebelum aku pergi aku akan memberimu kode akses ke seluruh lantai gedung ini. Kunjungi seluruh bagian markas dan pelajari juga aturan-aturan PF. Kau mengerti?”

Aku tidak ingin kau terluka disana, Em. Nara-san sudah cukup menjadi bukti dari kegagalanku.

“tapi...” Emily tidak bisa meneruskan kata-katanya karena mendengar suara itu lagi. Apa maksudnya dengan tidak ingin dirinya terluka? Apakah dia baru saja mendengar suara hati Kai?

“akan kuberikan seluruh data, berkas, dan foto-foto TKP untuk kau pelajari disini. Bagaimana?”

Emily akhirnya mengangguk. “tapi gantinya kalau kau mendapatkan petunjuk baru, cepat laporkan padaku. Kau mengerti?”

Kai hanya tersenyum penuh arti dan menjawab. “bukankah itu sudah menjadi kewajibanku, Emily-sama? Oh ya, satu hal lagi. Tadi pagi aku mendapat perintah dari Akito. Dia memintaku menyampaikan pesan untukmu.”

“apa?” tanya Emily.

“dia ingin kau menemuinya hari ini di ruang direktur.” Jawab Kai.

No comments:

Post a Comment