Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Friday, December 2, 2011

New World (5)

5

Yuki terbangun dari tidurnya pada jam 4 pagi. Kali ini bukan karena mimpi buruk itu, karena dia sudah terbiasa dengan mimpi itu dan berusaha untuk menerimanya dengan menganggap semua kejadian di mimpi itu adalah bagian dari masa lalunya. Dia terbangun karena dia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kejadian semalam sebelum dia pergi bersama ibunya ke studio pemotretan itu.

Seseorang kembali memasuki kamarnya. Kali ini meninggalkan jejak yang sangat terlihat. Instingnya yang tajam itu membuat Yuki terbangun ketika merasakan seseorang datang lagi ke kamarnya. Tapi seperti ‘kunjungan’ sebelumnya, orang itu menghilang begitu saja bagaikan angin saat Yuki membuka matanya.

Jejak yang ditinggalkannya adalah jendela kamar Yuki terbuka lebar dan tirai jendela mengembang karena diterpa oleh angin malam. Ketika menyadarinya, tubuh Yuki bergetar. Seakan-akan orang itu benar-benar ingin memberitahunya kalau dia datang dan menginginkan Yuki. Tapi ketika dia bangun, dia bisa melihat sedikit sosok yang samar-samar itu. Dia berpenampilan hitam dari atas sampai bawah, dia mengenakan topi untuk menutupi wajahnya. Dan Yuki bisa merasakan orang itu menatapnya tidur, dan saat itu Yuki sama sekali tidak merasakan bahaya apapun dari orang itu.

Entah kenapa Yuki merasa kalau kedatangan orang itu adalah untuk menjaganya, bukan untuk menyakitinya. Karena kalau memang begitu, dia seharusnya sudah melukai Yuki dari awal, bukan? Orang itu mengunjunginya seperti ingin menanyakan bagaimana kabar Yuki, dan dia tidak bisa melakukannya terang-terangan karena Yuki sama sekali tidak mengenalnya.

Saat ia berusaha bangkit dari posisi tidurnya, dia sedikit berharap jendela kamarnya akan terbuka lagi seperti malam sebelumnya. Yang berarti orang itu tadi datang kemari lagi untuk melihat keadaannya.

Tapi tidak, jendela itu masih tertutup dan terkunci rapat ketika Yuki melihatnya.

Yuki mendesah kecewa. Kenapa orang itu sama sekali tidak memberinya kesempatan pada Yuki untuk melihatnya? Kenapa orang itu harus pergi saat Yuki membuka matanya? Kenapa dia bisa mengenal Yuki disaat Yuki sama sekali tidak tahu siapa dirinya?

Yuki berjalan menuju jendela dan membuka tirainya selebar mungkin. Baru pertama kalinya dia membuka tirai yang kalau diperhatikan ternyata sudah sangat kotor karena lama tidak dicuci itu. Yuki membuka jendela selebar tirainya.

Ketika dia melihat ke arah langit, dia melihat langit malam yang penuh dengan bintang itu digantikan oleh langit terang yang disinari cahaya matahari. Hari sudah mulai terang walaupun cahaya matahari belum nampak.

Karena Yuki menyukai pemandangan pagi seperti ini, dia memutuskan untuk lari pagi. Dia mengganti piyama hitam motif tengkoraknya dengan kaus dan celana ¾ berwarna hitam. Dia mengenakan sepatu Puma kesayangannya itu sebelum keluar kamar.

Dia berjalan mengendap-ngendap turun dari lantai atas agar tidak membangunkan ibunya yang masih tertidur lelap di kamarnya. Saat dia sampai di teras rumahnya, dia menutup pintu rumahnya dengan sangat pelan.

Yuki menghela nafasnya dalam-dalam sebelum dia melesat cepat keluar dari rumah. Rute larinya adalah dari rumahnya sendiri mengelilingi komplek perumahannya yang luas dan elit itu. Selain rumah-rumah bergaya Eropa yang besar dan mewah di sekeliling Yuki, jalanan perumahan benar-benar mulus dan tidak ada hambatan sama sekali, membuat Yuki semakin kencang saja berlari. Dia tidak sadar dia sudah mengitari daerah perumahannya sebanyak 2 kali dalam waktu 10 menit saja. padahal biasanya kalau para tetangganya yang melakukan ini mungkin akan membutuhkan waktu setengah jam sampai sejam.

Yuki bisa mendengar deru angin yang mengenai telinganya saat dia berlari. Angin pagi yang segar dan dingin, dia tadi sempat menjumpai truk sampah besar yang bertugas mengambil sampah-sampah di tempat pembuangan akhir setiap rumah. Para petugas yang menjalankan truk itu sama sekali tidak menyadari kalau Yuki baru saja meloncati bagian atas truk mereka. Yuki juga mempunyai kekuatan melompat yang sangat hebat, walaupun dia hampir tidak pernah menunjukkannya di depan orang banyak.

Yuki bisa merasakan nafsu itu, nafsu yang membuatnya ingin terus berlari dan berlari sampai puas. Dia nyaris tidak merasakan lelah, baru saja dia meloncati atap mobil Audi tetangganya sendiri yang jarak rumahnya hanya beberapa rumah dari milik Yuki. Yang bisa didengar oleh pemilik rumah yang sedang menyetir itu hanyalah suara benturan yang sangat keras.

Karena sudah bosan mengitari komplek perumahannya sendiri, dia keluar dari komplek itu menuju jalan raya besar. Tokyo memang kota yang tidak pernah tidur, Yuki melihat trotoar di sisi jalan sudah mulai ramai oleh para pejalan kaki yang umumnya ingin pergi ke arah stasiun kereta. Dengan gesit Yuki melewati mereka semua tanpa mereka ketahui. Mereka hanya bisa merasakan hembusan angin yang sangat kencang dan sebuah kilasan sosok seorang gadis berpakaian hitam dari atas sampai bawah melewati mereka.

Yuki sudah tidak tahan dengan cara berjalan orang-orang yang menurutnya sangat lamban. Dia berbelok ke arah kanan, ke sebuah gang kecil antara 2 pertokoan di trotoar tersebut. Jalanan yang becek dan membuat celana dan sepatu Yuki menjadi basah tidak menghalangi Yuki untuk terus berlari dengan kencang. Malah, dia meloncati bak sampah besi yang sangat besar dengan gaya lompatnya yang sangat indah. Yuki tertawa sendiri karena dia mempunyai kelebihan ini, ini pasti bakatnya dari lahir dan tidak semua orang mempunyainya.

Gang itu menuntunnya ke jalan tembus menuju sebuah jalanan yang tidak sebesar dan tidak seramai tadi. Jalanan itu memiliki 2 jalur dan dibatasi oleh sebuah sungai besar. Sungai yang namanya Yuki tidak ingat padahal dia pernah melakukan penelitian biologi mencari makhluk-makhluk mikroskopik sungai untuk diteliti saat SMA dulu di sungai itu.

Sambil terus berlari dan dia semakin mendekati sungai itu, dia memperhatikan sungai yang akan dia lalui kalau dia tidak berbelok ke arah jembatan. Sungai yang alirannya deras dan dalam itu seakan menantang Yuki untuk meloncatinya. Yuki tersenyum seakan dia menerima tantangan dari sungai itu. Saat dia sudah mencapai ujung gang, dia mengambil ancang-ancang. Dan ketika timingnya sudah dirasa tepat, dia mengangkat dirinya ke udara dan melalui sungai yang lebarnya 10 meter itu.

Dan dia mendarat dengan mulus tanpa lecet sedikit pun. Padahal tadi Yuki berpikir mungkin dia akan terjatuh di tengah-tengah dan sudah siap berenang di arus sungai yang menghanyutkan itu. Tapi ternyata dia sedang beruntung pagi ini.

Karena terlalu senang, dia berlari semakin kencang memasuki gang kecil lagi untuk kembali ke rumahnya. Ibunya pasti sudah bangun sekarang, dan mungkin akan mencari-cari Yuki. Namun begitu dia sudah sampai di ujung gang, dia tidak memperhatikan keadaan jalan raya yang akan dia seberangi, sehingga sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan normal yang tidak sadar kalau Yuki melewati mobilnya menabrak Yuki yang masih terus berlari.

Yuki pun terpelanting ke udara, dan mendarat 5 meter jauh dari tempat ia ditabrak, tepat di atas beberapa tong sampah yang isinya kosong yang berada di bahu jalan. Untung saja jalanan sepi makanya tidak ada satupun yang mendengar suara bantingan keras dari tong sampah yang sudah penyok karena berbenturan dengan Yuki itu.

Yuki meringis kesakitan. Dia berbaring selama beberapa lama di dekat tong-tong sampah itu. Dia pun berdiri, dan memeriksa dirinya. Yuki heran, kenapa dirinya tidak terluka parah seperti orang-orang pada umumnya? Bukankah walaupun dengan kecepatan mobil seperti itu dirinya akan terluka parah? Kenapa yang dirasakan tubuhnya hanyalah lecet-lecet ringan di kedua kaki dan tangannya? Dia menyentuh pipinya dan kembali meringis karena di wajahnya juga terdapat lecet yang sama.

Hal itu membuat Yuki menjadi kapok untuk berlari secepat itu lagi, dia pun menepis kotoran-kotoran dan debu yang menempel di pakaiannya sebelum dia meneruskan perjalanannya lagi. Kali ini dengan kecepatan yang normal.

 ---

“kau darimana, Yuki? Kenapa kau lecet-lecet seperti itu? Kau tidak apa-apa?” ibunya memberondong Yuki dengan banyak pertanyaan saat Yuki muncul di pintu rumahnya.

“aku tidak apa-apa ibu. Tadi aku hanya pergi lari pagi sebentar, dan aku tersandung lalu jatuh...” Yuki sedikit berbohong soal luka lecetnya.

“astaga... kau ini ada-ada saja...” ibunya yang masih mengenakan piyama tidurnya mendekati Yuki dan memperhatikan luka-luka di sekujur tubuh putrinya. “lebih baik cepat bersihkan seluruh lukamu dengan antiseptik lalu berikan obat merah. Kau mengerti, Yuki?”

“iya, bu...” Yuki menurut dan langsung berjalan ke toilet untuk mengobati lukanya. Sedangkan Nara pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

Toilet milik keluarga Akibara memang tidak bisa dibilang besar. Tapi sangat rapi dan klasik, membuat toilet itu terlihat mewah. Lantai keramik dan kloset porcelain duduk dengan penghangat yang tidak pernah basah kena air. Wastafelnya dari merk Toto itu bernuansa klasik modern. Semuanya berwarna cokelat.

Yuki membuka pintu lemari obat kecil yang menempel di dinding. Dia mengambil kapas, plester, antiseptik, mangkuk plastik kecil dan obat merah dari dalamnya. Dengan mangkuk kecil itu Yuki menampung air hangat yang ia keluarkan dari keran wastafel. Kemudian dia duduk di kloset yang sudah ditutup dan memberi beberapa tetes antiseptik ke dalam airnya. Dia lalu merendam kapas ke dalam air sebelum dia tempelkan ke area kulitnya yang lecet.

Setelah semuanya beres, Yuki meneteskan obat merah di atas lukanya itu dan menutupinya dengan plester. Dia juga menempelkan plester cokelat itu di atas pipinya, tidak terlalu peduli kalau nanti ibunya akan mengomelinya karena menempelkan benda perekat itu di tempat yang tidak wajar.

Keluar dari toilet, Yuki berlari kecil ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya. Dia bersiap-siap pergi kuliah pagi ini karena cutinya sudah berakhir. Dia keluar dari kamar siap dengan tas ransel di bahunya, dan penampilannya yang seperti biasa, kaus dilapisi jaket hitam dan celana jeans panjang dengan sepatu Puma kesayangannya lagi.

“sarapan sudah siap!” seru ibu Yuki dari ruang makan. Yuki langsung melesat ke ruang makan dan mencium wangi pancake dan roti bakar.

Ketika Yuki sudah duduk, ibunya membuka piring Yuki yang sudah disiapkan dan menaruh 10 tumpuk pancake untuknya. “kalau kau ingin menambah makanannya, kau bisa ambil sendiri di dapur. Oke?” kata ibunya seraya menaruh pancake porsinya sendiri ke atas piringnya.

“terima kasih, ibu... itadakimasu...” Yuki mengambil sendok makan dari sebelah piring dan langsung melahap seluruh pancake itu dalam waktu kurang dari 5 menit.

“ibu hari ini pergi ke butik?” tanya Yuki sambil terus mengunyah makanannya.

Ibunya yang bersikap lebih sopan di meja makan daripada Yuki menelan makanannya terlebih dulu sebelum menjawab, “tidak, ibu tidak ke butik hari ini. Ibu ingin beristirahat di rumah setelah pemotretan kemarin.”

“oh... kalau begitu bagaimana kalau nanti malam kita pergi ke restoran perancis kesukaan ibu? Kita menikmati makan malam bersama.” Ajak Yuki.

Ibunya tersenyum lembut ke arah Yuki. “tentu saja, sayang. Tapi ada syaratnya. Kau harus berpakaian sedikit lebih feminin nanti malam.”

“kalau hanya itu, tidak apa-apa...” Yuki tidak keberatan.

“dan mengenakan high heels...” ibunya menambahkan.

Yuki cemberut. “kenapa? Aku benci memakai high heels. Kemarin saja sepulang dari pemotretan kakiku pegal-pegal karena mengenakan sepatu mengerikan itu.”

“tidak boleh membantah. Kau harus mengenakannya...” ibunya sama sekali tidak mengindahkan protes Yuki.

“huh... baiklah...” Yuki mengalah. “tapi kalau kakiku pegal-pegal lagi, ibu yang bertanggung jawab.”

“jangan bersikap seperti anak kecil lagi, Yuki... kau sudah 21 tahun...” ibunya menasehati Yuki. Dia mengambil cangkir yang berisi english breakfast tea dari sebelah piringnya dan dia meminumnya dengan cara yang sangat anggun.

“ya, ya...” Yuki menjawab dengan enggan sambil menatap ibunya.

Saat ia menatap ibunya yang sekarang sedang mengaduk-aduk tehnya karena gula tehnya belum terlalu larut, Yuki merasakan firasat aneh, seakan-akan pemandangan ibunya yang sekarang akan menjadi pemandangan terakhir yang akan dia lihat...

“kau kenapa, Yuki?” ibunya melihat ekspresi wajah Yuki yang berubah ketakutan.

“eh, tidak. Tidak apa-apa...” Yuki berusaha tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa padanya.

“jangan memperlihatkan wajah itu lagi. Wajahmu menakutkan sekali, Yuki...” ibunya tetap bersikap seperti biasanya. Karena itulah Yuki mulai melupakan firasatnya itu. Ibunya baik-baik saja. beliau tidak sakit atau terluka. Nara masih tetap mengomel atas penampilan Yuki yang cuek seperti biasanya. Contohnya seperti ini,

“ibu sudah merancang satu topi musim gugur khusus untukmu. Ibu tidak ingin melihatmu memakai topi ala laki-laki itu... topi ini harus kau pakai saat kau berangkat kuliah nanti.” ibunya tahu-tahu mengeluarkan sebuah beanie hat rajutan tangannya sendiri khusus untuk Yuki. Topi itu berwarna biru langit, bermotif awan putih yang sangat manis. Tapi bagi Yuki, model topi itu terlihat kekanakan. Tapi karena Yuki tahu ibunya telah susah payah membuat topi ini dengan tangannya sendiri, Yuki menerimanya dengan senang hati dan mengucapkan terima kasih.

“lihat, kau cocok mengenakan topi itu, Yuki...” ibunya tersenyum puas saat Yuki memakai topi itu di depannya.

Dan firasat buruk itu tiba-tiba datang kembali, firasat yang mengatakan bahwa senyuman itulah adalah senyuman terakhir yang akan dilihat Yuki dari wajah ibunya...

 ---

Walaupun firasat buruk itu terus menghantui Yuki sepanjang perjalanannya ke kampus, Yuki sama sekali tidak berniat berbalik arah dan pulang. Yuki meyakinkan dirinya kalau ibunya akan baik-baik saja. mereka kan tinggal di komplek perumahan yang aman, tembok tinggi dan tebal mengelilingi komplek perumahan tempat tinggal orang-orang terkenal dan para pejabat itu dan para satpam menjaga pintu masuk 24 jam penuh. Yuki masih ingat mereka pernah menangkap penguntit berbahaya artis Namie Amuro yang rumahnya hanya 2 blok dari rumah Yuki.

Yuki terus menerus meyakinkan dirinya sendiri di dalam bus umum yang membawanya ke kampusnya. Karena terlalu berkonsentrasi meyakinkan dirinya sendiri, halte yang menjadi tempat dia turun nyaris terlewat.

Yuki turun dari bus dengan sikap biasa saja sampai dia melihat beberapa mahasiswa yang ikut turun dari bus juga mereka yang melalui trotoar halte itu menatapnya dengan tatapan aneh. Beberapa dari mereka yang membawa teman berbisik pada satu sama lain tanpa melepaskan pandangan mereka sedikit pun dari Yuki.

Dengan pendengaran Yuki yang super, Yuki bisa menangkap dengan jelas apa yang mereka bicarakan diam-diam di depannya itu.

Kupikir dia sudah dikeluarkan. Aku tidak melihat dia seminggu ini

Hey, itu kan si Akibara, yang menyerang Yoshiko seminggu yang lalu

Seminggu yang lalu juga aku melihat wanita yang sangat mirip sekali dengan perancang merk Nara datang ke kampus kita. Dia mengaku sebagai ibu Yuki. Apa jangan-jangan dia benar-benar Nara si desainer?

Tidak mungkin, mereka pasti hanya mirip. Mana mungkin Yuki adalah anak dari perancang favoritku itu?

Mendengar semua itu, tanpa disadari oleh Yuki, setetes air mata mengalir dari matanya. Cepat-cepat dia mengusap air yang pantang dan nyaris tidak pernah keluar dari matanya itu. Dia tahu dia orang aneh di kampus, tidak banyak yang tahu dirinya siapa, dia hanyalah kerikil kecil di antara mutiara yang bertebaran. Tapi kalau dia mendengar semua ini dari depan orang-orang yang membicarakannya tanpa tahu Yuki mendengar seluruhnya, Yuki tidak sanggup. Dia mengancingkan jaketnya rapat-rapat lalu memasang tudung kepalanya. Dia berjalan tertunduk menuju ke kelasnya.

Dia terus melangkah melintasi lapangan kampus ke arah gedung utama dan masuk ke dalam. Dengan tangga dia naik ke lantai 3 dimana kelasnya berada. Semua itu dia lakukan dengan kecepatan larinya yang luar biasa, dia tidak peduli bahwa tadi dia nyaris tersandung di tangga, yang dia inginkan hanyalah ke kelas, duduk di barisan paling belakang, mendengarkan dosen mengoceh, mengumpulkan seluruh tugasnya kepada para dosen (Yuki bahkan tidak bisa membayangkan para dosen itu akan membicarakan apa tentang dirinya), dan langsung pulang.

Saat dia sampai di depan pintu kelas, membuka pintu ruangan yang sangat monoton karena hanya ada bangku untuk para mahasiswa, meja untuk dosen, papan tulis, layar OHP dan mesinnya, kelas masih kosong. Hanya ada beberapa orang disana, dan melakukan hal yang berbeda-beda. Pemuda yang Yuki kenal bernama Hajime, yang mengenakan kemeja kotak-kotak merah sedang duduk di barisan paling depan, berkutat dengan laptop kesayangannya. Tiga orang gadis berpenampilan glamor (dan salah satu dari mereka mengenakan pakaian rancangan Nara dari ujung rambut sampai ujung kaki) yang terkenal di kampus karena mereka satu geng yang duduk tepat di belakang Hajime bahkan tidak berani mengejek Yuki lagi seperti biasanya karena mereka takut Yuki akan menyerang mereka.

Dan gadis yang ibu Yuki maksudkan waktu itu, yang diserang oleh Yuki, sudah ada di kelas sedang duduk di bangku tengah-tengah kelas, sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Ketika dia melihat Yuki masuk ke kelas, ekspresinya berubah menjadi ketakutan. Ekspresinya itu semakin terlihat dengan jelas saat Yuki mendekatinya, berdiri di depan meja gadis itu.

“ngg... kau Yoshiko, kan?” Yuki menyapanya dengan penuh keyakinan kalau gadis ini akan lari darinya beberapa detik lagi.

“y...ya... kau mau apa, Akibara? Apa aku mempunyai salah padamu sampai kau menyerangku seperti binatang liar waktu itu!?” Yoshiko memperlihatkan bekas luka memar di leher bagian kanannya. “lihat, ini yang sudah kau perbuat padaku!”

“ma... maaf, Yoshiko... aku bahkan tidak ingat aku menyerangmu waktu itu. Yang aku tahu hanyalah aku terbangun di kamarku dan tidak ingat apa-apa...” Yuki merasa sangat bersalah pada gadis ini.

“simpan saja ceritamu itu, orang aneh! Pantas saja mereka tidak mendekatimu, karena kau jalang!” Yoshiko memakinya.

“ya, aku memang jalang. Aku tahu itu...” Yuki merasa kalau dia tidak perlu seseorang untuk mengingatkannya lagi soal itu.

“sudahlah, Akibara. Jangan dekati dia lagi, nanti kau menjadi gila kembali...” ejek para geng gadis yang tadi Yuki lihat.

“ya, kenapa mereka tidak mengeluarkanmu, huh? Ibumu pasti membayar mahal untuk mempertahankanmu disini...” tambah mereka.

Yuki melihat ke arah mereka dengan tatapan sinis dan tangan yang mengepal dengan kencang. Ingin rasanya dia menerjang lalu melukai mereka seperti yang dia lakukan pada Yoshiko, setidaknya mereka pantas menerimanya.

“tenang saja, Tamako-chan...” balas Yuki sarkastik pada leader geng itu. “kalau aku kumat lagi, aku pastikan aku akan berada di sebelahmu, untuk menerkammu...”

Dan tampaknya mereka menanggapi sarkasme Yuki dengan serius sehingga mereka langsung diam, menganggap sarkasme itu adalah sebuah ancaman yang mengerikan.

Yuki kembali melihat Yoshiko dengan tatapan menyesal dan berkata dengan lirih, “maafkan aku...” Yuki membungkukkan badannya dalam-dalam untuk gadis yang paranoid dengannya itu.

Yuki berjalan menuju meja favoritnya di belakang, dan seperti dugaannya, saat kelas sudah mulai ramai, tidak ada seorang pun yang mau duduk di dekatnya. Bangku di depan, belakang, samping kiri kanan Yuki kosong. Beberapa dari mereka bahkan tidak mau menengok untuk melihat ke arahnya.

Dia pun melalui mata kuliah sistem informasi ini dalam diam, berharap kalau dia bisa menghilang saja dari sini.

 ---

Yuki pulang dari kampus sesegera mungkin. Dia tidak tahan terhadap tatapan orang-orang yang menatapnya dengan jijik di kantin kampus saat Yuki membawa nampan makanan yang berisi 3 tangkup tuna sandwhich, 2 botol susu, 2 kantung french fries, dan sepiring besar salmon sushi. Mereka sudah benar-benar berpikir Yuki adalah orang yang sangat-sangat aneh dengan porsi makanan yang bagi mereka kelewat batas itu.

Dia tidak pulang menaiki bus lagi karena dia pasti akan menemui tatapan yang tidak mengenakkan itu lagi. Dia berlari sekencang-kencangnya dengan perasaan sakit hati, berusaha menahan air matanya untuk tidak mengalir kembali. Seharusnya dia kuat untuk menahan hal yang sepele ini. Seharusnya begitu. Bukankah orang lain sudah dari dulu menganggapnya aneh dan kasat mata? Tapi itu tidak masalah, karena mereka hanya menganggapnya aneh dan mereka tidak takut padanya. Tidak seperti sekarang.

Yuki jadi mempertanyakan dirinya sendiri. Siapa dirinya sebenarnya? Kenapa dia mempunyai karunia bodoh ini pada dirinya? Kekuatan yang membuat orang berlari ketakutan, kecepatan yang nyaris membuatnya terbunuh, pendengaran yang membuatnya sakit hati, tubuh yang tidak bisa rapuh padahal hatinya tidak sekuat fisiknya.

Oh, semua itu tidak seberapa, Yuki menertawai dirinya sendiri selagi dia terus berlari. Tidak hanya itu. Dia mempunyai nafsu makan yang mengerikan, sampai orang lain terluka karena itu. Dia sudah membuat ibunya nyaris khawatir setengah mati karena dirinya. Disaat yang sama, ada orang aneh yang menguntitnya tanpa alasan yang jelas.

Dia sampai di rumahnya hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, menemukan rumahnya dalam keadaan pintu pagarnya terbuka. Yuki mengambil nafas dalam-dalam karena tadi dia sudah berlari sejauh 16 km lebih sebelum dia masuk.

Awalnya dia biasa-biasa saja saat masuk ke dalam, sebelum dia menemukan pintu depan rumahnya dalam keadaan terbuka lebar, kenop pintunya rusak karena bekas dobrakan. Yuki langsung panik dan melesat ke dalam rumah, mendapati seluruh ruangan rumahnya yang selalu tertata rapi itu berantakan.

Banyak perabotan kaca terjatuh dan pecah dari tempatnya, bahkan pajangan keramik berbentuk malaikat kesayangan ibu Yuki hancur berkeping-keping. Tirai-tirai jendelanya robek karena sesuatu yang tidak Yuki tahu, beberapa jendela rumahnya juga pecah tanpa alasan yang jelas. Seluruh rumahnya benar-benar seperti kapal pecah. Dan yang paling membuat Yuki ngeri, saat dia melihat jejak darah dari sebuah jejak sepatu yang mengarah ke arah pintu depan. Yuki berlari mengikuti jejak sepatu itu tanpa merusaknya, karena Yuki tahu jejak itu akan menjadi bukti kalau dia menghubungi polisi nanti.

Jejak itu membawanya ke arah kamar ibu Yuki. Dengan kalut Yuki masuk ke kamar ibunya, berharap ibunya baik-baik saja. tapi harapan itu jelas-jelas tidak mungkin karena dia melihat ibunya sekarat di tempat tidur, dengan darah yang mengalir dengan deras dari perutnya.

“ibu!!” jerit Yuki di sela tangisannya yang tiba-tiba karena melihat ibunya dalam keadaan persis yang dikatakan firasat buruk Yuki tadi pagi. Dia naik ke tempat tidur ibunya yang bersprei satin yang bersimbah darah. Dia mendekap tubuh ibunya yang merasakan sakit yang amat luar biasa itu dengan erat.

“Yu... Yuki...” ibunya berusaha memanggil namanya.

“sebentar ibu, aku akan memanggil ambulans. Ibu bertahan, ya!” kata Yuki seraya mengambil telepon rumah yang ada di nightstand sebelah tempat tidur, menekan nomor darurat. Setelah operator menanyakan dimana alamatnya, Yuki dengan terburu-buru menceritakan situasinya. Setelah operator itu berjanji akan mengirim bantuan sesegera mungkin Yuki menutup teleponnya dan beralih ke ibunya lagi.

“ibu... siapa yang telah melakukan ini pada ibu? Siapa?” tanya Yuki sambil terisak. Dia menyesal. Seharusnya dia tidak pergi hari ini, kalau dia tidak pergi, keadaan ibunya tidak akan seperti ini.

“Yuki...” dengan lirih ibunya kembali memanggil namanya.

“tenang saja ibu, aku terus disini. Ibu jangan pergi! Kumohon! Aku membutuhkanmu, ibu!” pinta Yuki agar ibunya terus terjaga. Tapi Yuki tahu hal itu tidak bisa beliau lakukan, karena pandangan mata ibunya sudah tidak terlihat fokus lagi. Kedua mata itu bisa menutup kapan saja, dan kalau saat itu terjadi, bisa jadi ibunya akan...

“tolong ibu, jangan pergi...” air mata Yuki menetes di atas wajah Nara yang penuh dengan darahnya sendiri. Yuki tidak peduli kalau seluruh tubuh dan pakaiannya juga ikut bersimbah darah.

“Yuki...” ibunya berusaha memanggilnya lagi untuk mengatakan sebuah pesan yang tidak dapat Yuki mengerti. “cepat pergi... dari sini... lari... sejauh yang kau bisa...”

 “bagaimana bisa aku pergi kalau ibu seperti ini!?” Yuki tidak percaya dengan kata-kata ibunya.

“kumohon, Yuki...” pinta ibunya lagi sebelum dia terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya.

Walaupun dia tidak sanggup melihatnya, dia melihat ke arah luka di perut ibunya. Ibunya terluka karena tembakan yang mengarah tepat ke perutnya, mengakibatkan luka yang sangat fatal dan darah yang mengalir keluar dengan deras. Pasti ibunya sudah seperti ini dalam waktu yang cukup lama. Kalau tidak segera dibawa ke rumah sakit, ibunya akan mati karena kehabisan darah.

Disaat dia terus mendekap ibunya, menghibur ibunya dan dirinya sendiri bahwa ibunya akan baik-baik saja, tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya dari belakang. Sebuah tangan yang sangat kuat sampai menarik Yuki dari ibunya dan jatuh dari tempat tidur. Tangan itu berusaha menyeret Yuki untuk keluar dari kamar.

Yuki menjerit tertahan berusah melawan cengkraman tangan yang kekuatannya nyaris sama dengan kekuatan Yuki itu. Tangan Yuki meraih tangan yang berada di mulutnya itu, berusaha membalik telapak tangan putih pucat yang merupakan milik seorang pria dan menekannya. Membuat pria itu mengerang kesakitan, dan Yuki memanfaatkan kesempatan itu dengan melepaskan dirinya dan memuntir lengan pria itu lalu membantingnya ke tanah.

Saat Yuki berbalik untuk melihat siapa yang melakukan hal itu padanya, dia melihat seorang pria berpakaian serba hitam dari atas sampai bawah, topinya, jasnya, sepatunya, semuanya persis sama yang dipakai oleh pria yang pernah Yuki lihat di kafe waktu itu.

Pria itu bangkit lagi dan menerjang Yuki. Yuki dengan senang hati melawan. Dia menendang perut pria itu dan pria itu kembali terjengkang, tapi dia tidak bertahan lama di tanah karena pria itu kembali menerjang Yuki dan kali ini berhasil. Yuki yang berada di tanah dengan tubuh pria itu di atasnya berusaha melawan lagi dengan memukul wajahnya yang memakai kacamata hitam itu. Pria itu tersungkur di sebelahnya dan Yuki duduk di atasnya.

“apa yang kau lakukan pada ibuku, hah!?” tanya Yuki dengan penuh amarah. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher pria yang Yuki tidak peduli siapa dirinya karena Yuki yakin dialah yang telah mencoba untuk membunuh ibunya.

Pria itu tidak menjawab. Tanpa merasa takut dia membenturkan dahinya ke dahi Yuki dengan kencang, membuat Yuki menjerit kesakitan dan tersungkur lagi sambil memegangi kepalanya. Dengan paksa pria itu mencengkram kedua tangannya dan menariknya ke sisi kepala Yuki agar Yuki tidak melawan.

Tapi Yuki tidak menyerah. Dia menendang selangkangan si pria dengan lututnya. Jurus itu berhasil, dan sekarang pria itu mengaduh kesakitan di lantai. Yuki langsung berdiri dan berlari ke arah dapur, mencari pisau untuk membela dirinya. Saat dia menemukannya di counter dapur, dia mengacungkannya di depan pria yang sudah berdiri lagi dan mengejarnya.

“aku mempunyai pisau. Aku berjanji rasa sakitnya akan terasa dua kali lebih hebat saat aku menusukkannya padamu...” ancam Yuki.

Pria itu tetap diam. Dia berjalan dengan tenang ke arah Yuki dan dengan tangkas juga cepat pria itu menendang tangan Yuki yang sedang menggenggam pisau itu erat-erat. Pisau itu begitu saja terlempar ke udara, jauh dari jangkauan Yuki.

“aaah!” Yuki menjerit kesakitan sambil memegangi tangannya yang memar karena tendangan itu. Sekarang giliran pria itu yang memanfaatkan kesempatan. Dia menampar wajah Yuki dengan kencang membuat Yuki kehilangan keseimbangannya dan nyaris jatuh. Pria itu tidak membiarkannya jatuh karena dia memukul perut Yuki lagi tanpa ampun. Dia memutar tubuh Yuki dan menarik kedua lengannya ke belakang.

Tapi tubuh Yuki belum selemah itu untuk bisa menurut padanya. Yuki menarik tubuhnya ke belakang, membenturkan kepala belakangnya ke dahi pria itu dan dengan cepat ia berbalik. Pria itu mengangkat kakinya untuk menendang Yuki lagi namun Yuki dengan gesit menghindar sebelum dia menangkap kaki pria yang gagal menendangnya lalu melemparkan kaki pria itu begitu saja dengan kencang dan pria itu jatuh membentur counter dapur dan rusak karena tubuh pria yang kekuatannya luar biasa itu.

Pria itu tidak bergerak sama sekali. Dengan hati-hati Yuki mendekati pria itu lalu membalikkan tubuhnya. Karena lemparan dan benturan tadi, membuat topi dan kacamata hitam yang menyembunyikan pria itu terlepas dari tubuhnya. Memperlihatkan apa yang selama ini pria itu sembunyikan dari Yuki, sebuah wajah yang sangat tampan khas vampir, matanya yang tertutup itu pasti menyembunyikan tatapan indah yang Yuki diam-diam yakini akan menghipnotis semua orang, bibirnya yang tipis yang sedikit terbuka itu memperlihatkan taring yang tajam, rambut brunettenya yang seperti rambut artis-artis yang Yuki tidak ingat nama alirannya itu berantakan dan menutupi wajahnya.

Bahkan saat pria itu tidak sadar dia masih bisa menghipnotis Yuki sehingga Yuki langsung merasa kaku dan tidak ingat apa yang harus dia lakukan selanjutnya, yaitu menghabisi pria ini. Dia malah menyibakkan rambut pria tampan itu dengan tangannya dengan lembut, seolah menyesal karena dia sudah melukai pria ini.

Tapi sebelum dia bisa meraih wajahnya, pria itu membuka matanya lebar-lebar dan mendorong Yuki jatuh lalu menahan tubuhnya di bawahnya. Dengan paksa dan tanpa ampun lagi, dia memaksa Yuki untuk berbaring dengan dadanya menyentuh lantai. Karena Yuki masih melawan, pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah jarum suntik berisi obat bius untuk disuntikkan ke dalam tubuh Yuki.

Saat Yuki sudah mulai melemah dan tidak melawan lagi, pria itu mengangkat tubuh Yuki lalu membawa Yuki dengan kedua lengannya yang kuat itu. Kali ini dengan lemah lembut, pria itu membawa Yuki keluar rumah.

“sudah saatnya, Emily-sama... kau harus pulang...” bisik pria itu di telinga Yuki sebelum dia memasukkan tubuh Yuki ke dalam mobil Mazda RX-8 hitam miliknya.

No comments:

Post a Comment