Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Wednesday, December 7, 2011

Amelia Draft

menurut urutan bab di novel Amelia, cerita ini seharusnya buat bab 3. tapi karena nemu ini dan jadi kesenengan sendiri waktu ngacak-ngacak draft, I decided to post it


maaf kalau tingkat kesadisannya kurang mantap... 
---



Ryuuji

Jam masih menunjukkan pukul 9 malam. Walaupun orang lain berkata sudah malam, aku berkata masih sore. Aku berada di sebuah daerah perumahan dengan sedan biru kesayanganku. Mengingat-ingat kembali saat aku membunuh Hana, pelacur yang kubunuh beberapa hari yang lalu.

Dia benar-benar bodoh. Dia datang begitu saja kepadaku, dan dia menawarkan dirinya agar aku bisa menikmati kenikmatan surga dunia darinya. Dia salah orang. Aku sudah mati rasa akan hal itu. Tidak ada gadis mana pun yang mampu merayuku.

Kalaupun ada, hanya seorang. Hanya dia yang bisa mengundang gairahku. Kalau aku harus menyerahkan diriku, aku akan menyerahkannya padanya. Dia duniaku, aku memujanya. Karena itulah aku selalu mengagumi setiap wanita yang menurutku mirip dengannya. Salah satunya Hana. Yang mempunyai kaki yang jenjang sama seperti dirinya. Dan 2 korban lainnya yang memiliki lengan dan tubuh yang mempesona seperti miliknya.

Aku tidak akan pernah bisa melupakan wangi tubuhnya, semangatnya yang selalu membara, dan senyumannya yang hanya untukku dan aku tidak ingin senyuman itu ditujukan untuk orang lain. Hanya untukku.

Disaat aku sedang melamunkan dirinya, dari kaca spion mobilku, aku melihat seseorang muncul dari ujung gang. Orang lain pasti berpikir dia hanyalah seorang gadis remaja biasa yang baru saja pulang dari sekolah. Dia mengenakan seragam sekolahnya. Dia berjalan dengan agak terburu-buru, ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya yang pasti jaraknya tidak jauh dari sini. Dia pasti habis bermain-main dulu ke suatu tempat karena tidak mungkin pelajar normal pulang di jam seperti ini.

Tidak banyak orang yang berlalu-lalang. Hanya dia sendiri saja. Dan aku memperhatikannya dari atas sampai bawah. Dia benar-benar memenuhi syarat. Rambutnya yang berwarna kecoklatan yang pasti karena dia memakai pewarna rambut itu melambai lembut karena angin dan aku menginginkannya.

Ketika dia melintasi mobilku, aku membuka kaca jendelaku dan memanggilnya. Dia menoleh ke arahku. Menatapku dengan tatapan yang aneh. Dia mengenakan lensa kontak. Berwarna abu-abu. Dan jujur, warna itu sangat tidak cocok untuk matanya yang sipit itu. Orang lain pasti berkata itu cantik. Tapi tidak, aku sudah pernah melihat hal yang lebih indah lagi. dan aku benci melihat orang lain mendandani diri mereka seperti itu.

“kau darimana?” tanyaku.

“maaf, aku tidak berbicara dengan orang asing.” Jawab gadis itu tak acuh dan dia mengacungkan jari tengahnya sambil berbalik dan terus berjalan.

Baiklah, kalau begitu…

Aku menyalakan mesin mobilku. Lampu mobil yang menyala membuatnya berbalik lagi dan dia melihatku dengan tatapan ketakutan. Karena dia melihat wajahku yang sangat dingin melajukan mobilku dengan kencang ke arahnya.

Dan menabraknya dengan cukup keras dan tepat sasaran. Dia jatuh dan tersungkur begitu saja di atas jalan. Dengan cepat aku keluar dari mobil, melihat gadis itu dalam keadaan tidak sadar di depan mobilku dengan dahi yang mengeluarkan darah yang cukup banyak.

Aku pun membawa gadis itu dengan lenganku hati-hati. Namun juga cepat karena aku tidak ingin orang lain yang tidak penting mengganggu pekerjaanku. Aku memasukkan dan membaringkan dia di dalam kursi belakang mobil lalu kembali ke kursiku sendiri kemudian menjalankan mobilku meninggalkan komplek perumahan yang sepi tersebut.

Di perjalanan, beberapa kali aku melihat gadis yang sedang terluka dalam keadaan tidak sadar itu melalui kaca spion mobilku. Dia terlihat seperti seorang gadis nakal, aku tahu itu. Aku tidak peduli lensa kontak yang ia kenakan itu akan melukai matanya karena dia tertidur seperti itu. Dia benar-benar membuatku merasa kalau dia memang harus diberi pelajaran sikap dariku.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ketika dia sadar, dia sudah berada di ruang kerjaku. Sebuah meja stainless steel yang cukup panjang dan mengkilat. Aku menidurkan dia di atas meja kerjaku dengan lampu sorot putih menyinari kepalanya. Sehingga matanya yang memerah karena iritasi itu merasakan silau. Dia langsung melihatku yang sedang melakukan sesuatu terhadap kepalanya.

‘’kau sudah bangun, ya ?’’ ujarku.

‘’si… siapa kau ?’’ dia langsung terlihat panik dan memberontak. Namun dia tidak bisa. Karena kedua kaki dan tangannya kurantai dengan borgol besi yang cukup kuat. Seakan dia adalah tikus percobaanku.

“aku Ryuuji…” jawabku. Dia kaget. Jarang sekali ada seorang psycho yang langsung menjawab ketika sang korban menanyakan siapa dirinya.

“kalau kau menyebutkan namamu, itu berarti…” suaranya bergetar. ‘’kau akan membunuhku, bukan ?’’

‘’entahlah… aku sangat ingin sekali mengambil matamu itu. Kita lihat saja nanti.’’ Aku menjawab seperti itu untuk membuat dia merasa kalau dia sudah tidak bisa apa-apa lagi, dan hidupnya berada di genggaman tanganku.

Dia mulai menunjukkan ketakutannya. ‘’apa yang kau lakukan padaku ?’’ aku sedang menyentuh dahinya. Dan melakukan sesuatu padanya. Dengan tenang, pelan, dan pasti aku menusukkan jarum yang sudah diberi benang itu ke daerah lukanya. Luka di dahinya yang berlubang itu. Dia menjerit kesakitan.

‘’apa yang kau lakukan !?!’’ dia menjerit lagi.

‘’diam. Atau kau akan merasakan hal yang lebih sakit dari ini.’’ Kataku tegas.

Dia mulai menangis. Aku sedang menjahit untuk menutupi lukanya. Karena aku tidak mau salah satu karyaku cacat. Aku ingin semuanya sempurna. Dengan teliti, aku menjahit luka itu. Dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Benang itu mulai menutupi lukanya. Tubuhnya yang memar-memar itu kubiarkan begitu saja. Dia mungkin juga mengalami luka dalam karena saat dia berusaha menggerakkan tubuhnya, dia merasakan sakit yang sangat hebat. Tapi aku tidak peduli.

“kau benar-benar gadis sombong. Aku tahu itu. Kau sudah mengencani berapa pria ? parfum pria yang menjijikkan itu tidak pernah lepas dari pakaian yang kau kenakan sekarang. Jadi aku membakar semuanya.’’

Dia mulai menyadari satu hal. Seragam sekolah yang tadi ia kenakan hilang dan digantikan oleh gaun satin berwarna biru dariku.

“kenapa kau melakukan ini? Kau tadi menabrakku. Kenapa kau sekarang malah menjahit lukaku ?’’ dia bertanya dengan takut.

‘’aku hanya tidak ingin karya seniku rusak. Aku ingin semuanya sempurna…”

“ma… maksudmu…”

Aku tidak menjawab. Aku masih terus menjahit lukanya yang cukup lebar itu. Dia meringis kesakitan. Wajahnya yang putih itu mulai berkeringat. Keringat itu bercampur dengan air matanya. Aku bisa membayangkan kedua cairan itu nanti akan bergabung dengan darah yang mengalir dari matanya. Sebuah pemandangan yang menyenangkan. Dan dia masih memberontak dari kekangan borgol dan membuatnya semakin kesakitan karena borgol itu menggoresi kedua tangan dan kakinya. Seakan borgol-borgol itu juga membenci dirinya. Ditambah lagi, luka dalamnya yang semakin menyiksa dirinya itu membuatnya semakin merasa terbakar.

“nah, selesai…” aku menggunting sisa benang sintetis dari jarumku dan menariknya kembali dari kepalanya.

Setelah aku selesai, tangisannya semakin kencang. Dia menjerit dan jeritannya penuh dengan kemalangan. Dia sepertinya menyesali sesuatu. Tapi di tempat ini, tidak ada yang harus disesali. Aku jamin itu.

‘’kenapa kau menangis ?’’ tanyaku.

‘’lepaskan aku…’’ katanya di sela-sela tangisannya.

Sambil mengambil sesuatu dari meja peralatanku yang berada di sebelah meja kerjaku, aku menjawab, ‘’melepaskan ? bukankah tadi kau yang bersikap sombong padaku ? sekarang kau malah memintaku untuk melepasmu. Tidak akan, nona… kau milikku sekarang…’’

‘’kalau kau ingin menyentuhku, silahkan. Tapi jangan bunuh aku. Kumohon…’’ pintanya. Aku malah tertawa. mudah sekali gadis ini menyerahkan dirinya.

“semudah itu kau menyerahkan dirimu? Aku tidak membutuhkannya, pelacur…” aku menarik rambutnya yang panjang dan terjuntai ke bawah itu. Tapi baginya, aku menjambaknya. Karena dia menjerit lagi.

Dia masih terus menangis dan menggigit bibir bawahnya. Matanya yang memuakkan itu menatapku, meminta belas kasihan dariku.

“kau tahu, tangisanmu, jeritanmu, dan kesakitanmu malah menambah semua kenikmatan yang kurasakan sekarang. Ya, membunuhmu jauh lebih menyenangkan daripada menyentuh tubuhmu!” aku menarik rambutnya semakin kencang. Jeritannya semakin kencang dan tangisannya semakin deras.

“kumohon jangan…” dia masih meratap.

“there’s no point of return…” jawabku pelan. Di tangan kiriku sudah ada sebuah senjata seperti pisau yang ujungnya kecil dan sangat runcing. Aku menempelkan ujungnya di bawah kelopak matanya. Tangisannya pun mereda dan dia diam. Bukan karena dia mulai tenang atau tidak takut padaku lagi. Tapi dia sudah tahu kalau sekarang saatnya. Dan aku senang sekali ‘memberitahu’ korban-korbanku kalau waktu mereka sudah habis. Seakan aku adalah malaikat pencabut nyawa mereka.

“ada kata terakhir, nona ?’’ aku menanyainya dengan tenang dan tersenyum ramah.

“ya. Fuck you…” dia menatapku tajam.

“baiklah kalau begitu.” Dengan cepat, pisau itu menembus matanya. Dan memuncratkan cairan yang merah pekat dan hangat. Seketika itu juga, nyawa gadis yang kuketahui bernama Michiko itu sudah hilang.

Aku meneruskannya ke mata sebelahnya. Darah semakin deras keluar dan mengalir.

Aku menyadari darah pekat itu juga mengenai wajah yang pakaianku. Aku tertawa puas. Inilah kenikmatan. Ingin sekali aku mengatakan kata itu pada Michiko yang kini terbaring dengan darah di sekitarnya.

Dan aku jadi tidak sabar untuk segera menikmati apa yang disebut kenikmatan di atas kenikmatan…

No comments:

Post a Comment