Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Wednesday, March 14, 2012

New World (13)

13

“tidak biasanya aku dibutuhkan di ruang medis.” Kata Aoi penasaran saat bersama Emily dan Kai di lift menuju lab.

Sebagai ketua divisi narkotika, kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan di ruang medis karena Shou sudah sangat tahu jenis obat-obatan dan dosisnya. Lagipula cara mereka menggunakan obat-obatan itu jauh berbeda. Shou untuk tujuan yang baik, dengan menggunakan dosis yang benar, dan untuk dipelajari. Sedangkan Aoi menggunakannya untuk... yah, bersenang-senang.

Emily dan Kai tidak menanggapi perkataan Aoi. Mereka juga tidak tahu kenapa Aoi turut dipanggil oleh Shou ke lab. Aoi adalah tipe vampir yang sangat jarang mengunjungi ruang kesehatan. Dia hanya bertemu Shou dan Nao saat kedua dokter itu melepaskan jas putih mereka, biasanya di bar atau di tempat lain.

Merasa tidak ditanggapi, Aoi memerhatikan dua orang di depannya ini. Sang ketua divisi investigasi dan sang calon pemimpin half-blood. Rasanya ada sesuatu yang sedang terjadi di antara mereka berdua. Entah sadar atau tidak, sedari tadi Emily masih terus melingkarkan lengannya di lengan Kai sejak Kai membawa wanita cantik itu keluar dari ruang rapat.

Pandangan mata mereka tidak terarah. Sesekali Emily menundukkan kepalanya, seolah dia menghindari tatapan mata Kai yang sedang menerawang ke atas. Aoi bisa melihat sekilas pandangan mata Emily kosong, seperti dia sedang memikirkan sesuatu.

Sepertinya akan terjadi sebuah kisah cinta baru di markas ini...

Begitu pintu lift terbuka dengan cepat mereka berjalan memasuki lab. Shou sudah menanti mereka dengan mengangkat alisnya karena melihat sikap Emily dan Kai yang aneh.

“ngg... aku baru tahu kalau kalian sudah cukup dekat...”

Emily langsung menarik lengannya dari Kai setelah disadarkan oleh Shou. Emily membisikkan kata maaf pada Kai sebelum dia bertanya pada Shou kenapa dokter muda itu memanggil mereka.

“maaf mengganggu rapat kalian. Tapi kurasa sebagai gantinya aku bisa memberikan informasi ini.” Shou mengajak mereka ke jasad 2 korban pengisapan yang terbaring di meja autopsi.

“dimana ibuku?” tanya Emily.

“oh... beliau disana...” Nao menunjuk sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari kaca di sudut ruang medis. Disana jasad Nara Akibara terbaring dengan selimut putih menutupi seluruh tubuhnya. Mereka sengaja menaruh beliau disana sebagai rasa hormat mereka kepada beliau.

“untuk memastikan apakah pembunuh Nara-san dan pelaku pengisapan 2 gadis ini adalah vampir yang sama, aku mengecek racun yang ada di jasad mereka...” Shou memulai penjelasannya. Namun penjelasan itu dipotong oleh Kai yang sudah mengerti arah situasi sekarang.

“pelakunya adalah orang yang sama. Lalu, Shou?”

“mungkin kau juga tidak akan kaget soal ini. saat aku mengeceknya dan melacak database racun para vampir, hasilnya tidak ada yang cocok. Hasilnya nol.” Wajah Shou menunjukkan kebingungan yang sangat jelas. Dia mengharapkan Kai supaya bisa memberikan penjelasan logis kenapa klan terbesar sekaligus pemimpin dari seluruh klan tidak bisa menemukan identitas racun dari database mereka.

Demi keamanan, seluruh vampir baik dari kelas atas sampai bawah harus menyerahkan sampel racun mereka kepada rumah sakit milik PF atau cabang-cabangnya yang tersebar di seluruh dunia. Lalu rumah sakit itu memasukkan data-data racun itu ke dalam komputer agar bisa diakses dengan mudah dan cepat. Tentu saja yang memiliki akses untuk memasuki data base yang mempunyai sistem keamanan yang sangat ketat itu hanyalah orang-orang tertentu saja dari PF sehingga tidak mungkin orang lain menyusupinya.

“dia benar-benar tidak terlihat” entah Kai harus kagum atau kesal karena kejeniusan vampir ini.

Nao juga menyatakan kebingungannya “vampir ini juga tidak meninggalkan bekas lainnya selain racunnya. Tapi tidak mungkin kita tidak memiliki data racunnya. Seluruh vampir menaati peraturan kita, karena kalau tidak...”

“mereka akan dibunuh karena dianggap melanggar sebagai hukumannya...” Emily meneruskan. “lalu, selain ini apalagi yang kalian temukan?”

“ya, saat aku memeriksa kembali jasad mereka, tanpa sengaja aku menemukan sesuatu...” Shou membimbing mereka menuju monitor komputer lab yang menampilkan sebuah foto hasil x-ray. “khususnya untuk Aoi, kau melihat sesuatu?”

Foto hasil x-ray itu adalah foto dari tubuh kedua korban pengisapan. Foto x-ray itu diambil di bagian perut mereka. Butuh beberapa saat untuk Aoi mengamati foto itu secara seksama sebelum ia terperangah.

“jangan katakan padaku kalau itu...” Aoi menunjuk satu bagian di dekat tulang rusuk yang terdiri dari bulatan-bulatan putih yang cukup besar. “adalah kokain?”

“tepat sekali...” Shou membenarkan.

“tidak mungkin. Mereka adalah mule?” Aoi melihat ke arah dua mayat gadis di dekatnya seakan kedua gadis yang terbujur kaku itu bisa memberikannya jawaban. Dan jawaban yang diinginkan akhirnya terungkap setelah Aoi membuka kain yang menutupi wajah mereka.

“kau tahu mereka, Aoi?” tanya Kai.

“tentu saja. mereka pernah menjadi kurirku beberapa tahun lalu. Mereka menyelundupkan kokain-kokain yang kuekspor ke Amerika. Kalau kau mau, aku bisa memberikan data mereka.” jawab Aoi. “kenapa mereka bisa menjadi korban pengisapan? Ini tidak mungkin sebuah kebetulan, Kai.”

“sekarang faktanya berubah. Mereka bukan korban acak, melainkan korban yang sudah ditargetkan. Dan cara si pembunuh menangkap mereka seolah-olah mereka adalah korban dari vampir yang kehausan darah dan memburu korbannya secara acak...” Kai menarik kesimpulan dari fakta yang baru saja mereka terima.

“tunggu... apa itu mule yang baru saja kau katakan tadi, Aoi?” Emily tidak mengerti.

mule adalah seseorang yang menyelundupkan narkotika di diri mereka menyebrangi perbatasan, baik nasional maupun internasional. Mereka membawanya dalam jumlah kecil untuk organisasi penyelundupan. Mereka dibayar dengan jumlah yang sangat kecil, tapi bagi mereka jumlah bayaran itu cukup besar sehingga mereka menganggap pekerjaan itu adalah cara cepat untuk mendapatkan uang.” Kai menjelaskan.

“terkadang narkotika itu dimasukkan ke dalam tas atau bagasi mobil milik orang yang tidak tahu apa-apa dengan tujuan mengirimkan benda itu ke tempat lain. Selain itu mereka juga bisa menyembunyikannya di balik pakaian, koper, atau dalam kasus ini... mereka menelannya ke dalam tubuh mereka...” Aoi menambahkan.

“menelannya? Bagaimana caranya? Bagaimana caranya mereka bisa memberikannya dalam keadaan utuh jika mereka menelannya?”

“sebelumnya narkotika itu dimasukkan ke dalam kondom atau sarung tangan latex sebelum mereka telan. Mereka mengeluarkannya lewat...” Aoi sedikit bingung menentukan kata yang tepat untuk meneruskan.

“anus...” Kai tahu-tahu memotong. “mereka mengeluarkannya lewat lubang pembuangan. Jika tidak, perut mereka akan dipaksa dibedah oleh atasan mereka kalau waktunya mendesak.”

Entah Emily harus merasa jijik atau ngeri saat membayangkannya.

“disini...” Shou menunjuk ke hasil x-ray lagi. “sebagian kokain yang mereka bawa sedikit bocor. Dan dari hasil autopsi, aku menemukan luka-luka di sekitar bagian perut mereka akibat kebocoran tersebut.”

“hidup mereka tidak akan bertahan lama...” Nao melipat tangannya di dada. “setelah mereka melakukan tugas akhirnya, mereka langsung dihabisi...”

“pembunuh itu pasti akan sangat merasa narsis karena berpikir dia telah menyelamatkan mereka dari penderitaan...”

“kalau begitu, lacak jejak mereka. cari tahu siapa saja organisasi atau klan yang terakhir mereka layani. Itu tugasmu, Aoi...” Emily melirik Aoi. “jangan lupa ajak Caz untuk membantumu.”

Aoi yang diajak bicara kini diam saja. “Aoi?”

Kai yang merasakan sesuatu pada diri Aoi yang masih terus menatap jasad kedua gadis itu bertanya, “kau mengenal mereka secara pribadi?”

“ya...” jawab Aoi lirih. “mereka adalah dua dari teman Caz... sebelum perang darah terjadi...”

 ---

Saat waktu makan malam tiba, Emily pergi ke bar markas sendirian. Selagi menunggu makan malamnya tiba, Emily meneguk sebotol besar Jack Daniel’s. Meskipun sudah tersisa setengah botol, Emily tidak merasa mabuk sedikit pun. Emily tertawa dalam hati, inilah salah satu kelebihan menjadi seorang vampir, atau half-blood.

Seteguk demi seteguk ia telan bersama pikiran-pikirannya tentang kasus yang sedikit menemui titik terang. Dia menyadari, semakin jauh ia menyelidiki kasus ini, semakin dalam ia terperosok ke dalam jeratan sang pembunuh. Tapi disaat yang sama, dia juga terjebak ke dalam sesuatu. Sesuatu yang ia rasakan dan ia belum ketahui apa namanya. Manusia menyebutnya cinta, tapi bagaimana vampir menyebutnya? Apakah orang-orang di markas ini percaya pada hal tabu itu? Emily ragu. Mana mungkin mereka percaya. Hampir setiap hari mereka membunuh orang, mengonsumsi barang-barang yang akan membuat mereka tidak peduli pada dunia, hidup mereka terlalu sibuk untuk mengurusi ‘cinta’.

Ya... bisa jadi itulah penyebab mengapa ayah dan ibunya berpisah...

Emily dibesarkan oleh ibunya seorang diri, jadi dia merasa cukup mengerti apa itu cinta dan kasih sayang. Dia bisa melihatnya dari curahan kasih sayang dan cinta ibunya kepadanya. Dari luar dia memang terlihat cuek dan tidak peduli, yang membuatnya cukup mudah beradaptasi di lingkungan markas ini, tapi rasa kelembutan itu masih ada. Jika kalau tidak ada, dia tidak akan merasakan perasaan aneh itu.

Bisa jadi perasaan aneh itu akan lebih berbahaya daripada sesuatu yang mengancam kehidupannya.

“tolong bawakan sebotol bir untukku.” Emily mendengar seseorang berbicara pada bartender asisten Rena yang selalu menggantikan vampir model itu jika dia sedang ada pemotretan atau kegiatan modelling lainnya.

“hai, Em...” sapa Caz.

“hai...” balas Emily. “bagaimana kabarmu?”

Tidak lama kemudian Caz mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa menunggu lagi, Caz langsung menenggak bir itu sekaligus lewat botolnya. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu juga sama seperti Emily.

“tidak begitu baik...” jawab Caz. Dia menaruh botol birnya dengan kasar ke atas counter bar.

“aku turut berduka soal temanmu...” Emily mengusap punggung Caz yang duduk di sebelahnya.

“terima kasih, Em...” Caz tertawa pahit. “tidak kusangka si brengsek itu sudah menyentuh kedua temanku.”

Emily tidak berkata lebih jauh. Dia mengerti rasa duka yang Caz rasakan. Dia juga akan melakukan hal yang sama jika dia kehilangan temannya. Hanya saja dia tidak pernah merasakannya karena dia tidak pernah memiliki teman.

“mereka berdua teman seperjuanganku. Orang lain menganggap kami sampah, termasuk orang tuaku, tapi mereka tidak akan pernah mengerti bagaimana perjuangan kami untuk bertahan...” Caz terisak pelan meskipun dia tidak mengeluarkan air mata.

Emily yang belum tahu kisah hidup sepupunya masih diam saja.

“maaf, kau belum tahu diriku yang sebenarnya...” Caz mengusap hidungnya. “tapi lebih baik kau tidak usah tahu...”

“aku ingin tahu, Cassie...” sela Emily. “kau keluargaku. Tentu saja aku ingin tahu...”

“kisah hidupku dan Andrea tidak seindah kisahmu...”

“ayah dan ibuku tidak pernah menikah, aku tidak pernah bertemu ayahku, semua orang tidak mau berteman denganku karena menganggapku aneh, dan kini dalam waktu kurang dari seminggu aku mendapati ibuku sudah dibunuh dan aku adalah pewaris klan vampir terbesar di dunia dan sebuah fashion line ternama. Dan aku sama sekali belum siap. Maaf, rasanya aku tidak bisa menyebut semua itu sebagai kisah hidupku yang indah.”

“maaf, Emily...” Caz mulai menangis. “kita benar-benar menjadi kacau gara-gara pembunuh itu...”

“kita pasti bisa menangkap dia. Tenang saja...” Emily mencoba menghibur sepupunya yang sangat bersedih itu.

Caz menghapus setetes air mata yang pantang keluar dari mata kuningnya yang indah itu. “nama yang tercantum di data mereka adalah nama setelah mereka mengganti identitas. Maka dari itu aku tidak mengenali mereka sebelum Aoi memerlihatkan foto mereka kepadaku.”

“mereka siapa, Caz? Mereka bisa jadi salah satu petunjuk kita yang sedikit...”

“mereka teman satu gengku dulu sewaktu SMA. Kami melakukan apa saja, dari merokok, memakai narkotika, menggencet anak-anak di sekolah kami, apa saja. Tapi aku berpisah dari mereka setelah aku bertemu Aoi sewaktu kami lulus. Aku bergabung ke dalam kawanan geng Aoi yang merupakan para bandar narkoba dan yakuza.”

“lalu apa yang membuat kalian bertemu lagi? Aoi tadi sempat bercerita kalau mereka pernah menjadi kurir kalian...” tanya Emily.

“aku mencari mereka yang ternyata sedang dalam keadaan putus asa. Mereka sudah tidak menggunakan narkoba lagi, tapi mereka membutuhkan uang untuk meneruskan hidup. Setelah perang darah, masa-masa menjadi sangat sulit dan uang yang mereka dapatkan dari bekerja tidak cukup untuk membiayai mereka. Apalagi mereka terus-menerus harus bersembunyi dari kejaran polisi atas kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu. Belum lagi ancaman-ancaman dari orang-orang jahat yang dulu pernah terlibat bersama mereka...”

“kau menawarkan kekebalan hukum untuk mereka, meskipun mereka manusia...” Emily menebak. “tapi sebagai gantinya, mereka bekerja untukmu...”

Caz mengangguk sebagai tanda bahwa Emily benar. “hasil dari menjadi seorang mule memang tidak seberapa, tapi itu cukup banyak bagi mereka. setidaknya untuk makan dan berobat...”

“Shou dan Kai mungkin berpikir mereka adalah seorang wanita biasa, tapi percayalah padaku, mereka sangat ahli dalam menyamarkan diri mereka yang sebenarnya...” Caz meneguk birnya lagi sampai habis.

Caz benar. Mereka sangat ahli. Sampai Shou harus mengoyak isi perut mereka untuk menguak identitas mereka yang sebenarnya. “apa mereka pernah bekerja pada orang lain selain kau, Caz?” tanya Emily.

“setahuku tidak. Mungkin pernah, tapi mereka tidak menceritakannya padaku. Setelah mereka bekerja untukku mereka pasti mendapat koneksi ke klan lain yang memiliki bisnis sama sepertiku dan Aoi.”

“bisnis kalian ilegal, pasti klan lain juga bersifat sama, bukan? Kalian sembunyi-sembunyi.”

“kalaupun kalian mencari tahu di data base, kalian tidak akan menemukannya. Sudah kubilang tadi, mereka sangat ahli dalam menyembunyikan identitas mereka.”

“tapi aku meragukan itu...” Emily tersenyum misterius. “kalau kita bertanya pada seseorang yang akan kita kunjungi setelah makan malam...”

“siapa?” Caz penasaran.

“tenang saja. kau mengenalnya juga kok...” Emily mengedipkan mata kirinya seraya tersenyum lagi.

 ---

“hai!!” Airi langsung menyambut Emily dan Caz ke dalam pelukannya saat kedua wanita itu datang mengunjungi labnya. “sesuai permintaanmu, Emily. Aku sudah menemukan mereka!”

“sudah kubilang, bukan?” Emily mengerling manis ke arah Caz. “Airi pasti menemukan mereka.”

“dengan foto Haruna Fujimoto dan Harumi Shimizu, aku berhasil melacak masa lalu mereka. meskipun mereka sering mengubah identitas dan hampir tidak pernah meninggalkan sidik jari mereka, tapi dari Aoi-kun, aku bisa mendapatkan semua itu juga.” Airi kembali mengutak-atik komputernya.

Di layar, muncullah foto Haruna Fujimoto beserta seluruh data dirinya dari kelulusan SMAnya. “jadi, Cassie mengenal Haruna saat masih SMA dan identitas lamanya masih bernama Aiko Takeda. Karena kabur dari kejaran kawanan yakuza yang dulu pernah ia khianati, dia mengubah identitasnya menjadi Chinatsu Takaki. Dia tetap bertahan di Tokyo karena merupakan bagian dari penyamaran, para yakuza itu pasti berpikir Aiko-chan pergi keluar kota untuk menghilangkan jejaknya, bukan?”

Lalu Airi membuka data diri Aiko Takeda setelah menjadi Chinatsu Takaki. “dia merubah hidupnya. Mulanya dia bekerja di sebuah toko buku namun hanya bertahan selama beberapa tahun karena revolusi terjadi. Masa kekacauan itu mendatangkan keuntungan baginya yang dengan mudah mengubah identitasnya kembali menjadi Haruna Fujimoto. Saat masa revolusi terjadi, klan yakuza yang mengincar Aiko sudah hancur sehingga Aiko-chan bisa bernafas lega untuk sesaat.”

“tapi sayangnya dia malah menjadi korban pengisapan secara tragis...” kata Emily. Caz diam saja. Di benaknya sedang ada bayangan Aiko Takeda saat gadis itu menghabiskan waktu bersamanya. Caz ingin meminta maaf, tapi dia tahu dia tidak akan mendapatkan kesempatan itu.

“lalu bagaimana dengan Harumi Shimizu?” tanya Emily.

“kisah hidupnya tidak jauh berbeda. Dia bertemu Aiko Takeda beberapa kali karena mereka sama-sama sedang melalui masa sulit. Mereka saling membantu dalam masalah finansial.” Airi menunjukkan jejak rekening dari akun bank milik Aiko dan Chie Ojima, nama asli Harumi Shimizu. Disitu terlihat bahwa Aiko beberapa kali mentransfer uang dalam jumlah cukup untuk Chie, begitu juga sebaliknya.

“dan menurut catatan milik Aoi, Aiko dan Chie tidak lama kemudian bergabung menjadi anak buah kalian. Dengan menggunakan paspor palsu, mereka menyebrangi samudra pasifik untuk mengantarkan barang dagangan kalian. Benar begitu?” Airi memastikan kepada Caz. Sebenarnya dia tidak membutuhkan itu, tapi ketika Airi melihat kesedihan yang sangat mendalam di wajah Caz, Airi memanggil namanya agar ia sedikit melupakan kesedihannya.

“y... ya, benar, Airi...” butuh beberapa lama untuk Caz merespon panggilan Airi.

“selama mereka menggunakan identitas baru mereka, apakah mereka benar-benar aman dari apapun yang mengejar mereka?” tanya Emily.

“tidak. Aku mendeteksi penyadap di saluran telepon mereka. seseorang menyadap telepon mereka, menguping pembicaraan mereka di telepon. Termasuk pembicaraan mereka dengan kalian tentang bisnis itu...” jawab Airi.

Mendengar informasi itu, Caz langsung merasa tertarik, “selama telepon mereka disadap, apakah ada sesuatu yang menyerang mereka?”

Airi menggelengkan kepala. “anehnya tidak. Sepertinya yang menyadap telepon mereka hanya ingin tahu gerak-gerik mereka, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Saat penyadapan telepon itu terjadi sampai pembunuhan ini, jarak waktunya sekitar 5 tahunan.”

“sejak awal mereka sudah diincar. Tapi kenapa? Kalau seandainya yang memasang penyadap itu adalah anggota yakuza yang pernah mengejar Aiko, kenapa mereka tidak menangkapnya saja sekalian? Kenapa harus menunggu?” Emily bingung.

“kalian tahu tidak?” Airi mengeluarkan sebuah senyum khasnya. Senyuman yang biasa ia perlihatkan jika ia mendapatkan sebuah petunjuk kasus yang sangat penting. “klan yakuza itu tidak benar-benar hancur...”

“maksudnya?” tanya Emily dan Caz bersamaan.

“klan yakuza itu sekarang sudah berubah menjadi sebuah klan vampir besar. Lareine! Kalian semua pasti tahu nama klan itu, bukan?” Airi tersenyum lebar. “klan itulah yang kau cari, Emily. Mereka berdua juga pernah bekerja disana. Tapi Aiko sama sekali tidak tahu kalau klan itu adalah klan yang dulu pernah mengincarnya.”

“Lareine?” Caz mengangkat alisnya. “kau yakin mereka pernah bekerja disana?”

“yap...” Airi menganggukkan kepalanya berkali-kali seperti anak kecil.

“kenapa... kenapa mereka bekerja disana?” Caz menggigit bibirnya karena takut. “mereka kan...”

“mereka adalah musuh bebuyutan kita...” sebuah suara berat memotong perkataan Caz. “hubungan kita dengan klan itu tidak pernah baik, hanya karena formalitas saja kita masih berkomunikasi dengan klan itu saat ini...”

“Akito...” ujar Emily lirih saat dia menengok ke belakang. Tidak menduga sosok vampir tampan ini akan hadir bersama mereka bertiga.

“hai, Akito!” sapa Airi. “bagaimana kabarmu?”

Akito memberikan senyuman ramah untuk Airi. “aku baik-baik saja, Airi-chan. Aku membawa ini untukmu.” Akito memberikan beberapa kotak kecil berisi darah. Darah sintetis yang dikemas seperti susu kotak. “agar kau tidak usah turun ke bar lagi untuk mencari darah.”

“aw...” Airi tersentuh begitu dia menerima bingkisan darah sintetis itu dari Akito. “terima kasih, Akito-kun.”

“kalian pasti baru mendapatkan perkembangan baru. Ya, kan?” Akito menebak apa yang sedang terjadi di antara mereka bertiga.

“tunggu, biar kucetak terlebih dulu hasil laporannya...” Airi menyalakan tombol printer di sebelah komputernya untuk mencetak data-data yang tadi dia bahas bersama Emily dan Caz. Hanya butuh waktu semenit untuk semua laporan itu selesai dicetak.

“hm... Aiko Takeda dan Chie Ojima...” Akito membaca dengan cepat. “apa? Klan Lareine?” mata Akito melebar begitu dia mengetahui keterlibatan klan musuh mereka dari laporan itu.

“lihat? Setidaknya kita sudah mempersempit pencarian kita. Kita hanya tinggal mencari siapa dalang di balik semuanya.” Emily tersenyum puas.

“memang. Tapi...” Akito memerlihatkan keraguannya. “posisi kita tidak ada apa-apanya bila kita tidak mempunyai pemimpin. Klan Lareine pasti akan mengejek kita terlebih dulu sebelum kita bisa mengorek informasi dari mereka.”

“masih ada cara lain untuk mengorek informasi dari mereka. entah secara baik-baik atau sampai harus mengoyak dulu jantung mereka, aku tidak masalah.” Ujar Caz geram. “mereka harus membayar karena sudah membunuh kedua sahabatku.”

“sepertinya seseorang harus menenangkan diri saat ini...” Akito berubah menjadi lembut. “Caz, mungkin kau harus beristirahat. Berita ini pasti sangat mengejutkanmu, bukan? Aku yakin segelas darah asli manusia atau waktu berkualitas bersama Aoi bisa membuatmu lebih baik. Bagaimana?”

“sekarang kau berubah menjadi ibu peri...” Caz tersenyum kecut. “dasar...”

Akito hanya memberikan beberapa kali tepukan di pundak Caz. Tapi tepukan itu mampu memberikan rasa kehangatan dan ketenangan untuk Caz.

Caz mengambil nafas berkali-kali dengan pelan, “baiklah... kau benar, Akito. Aku harus beristirahat. Aku akan mencari Aoi. Siapa tahu dia sudah menungguku di kamar...” Caz pun meninggalkan lab setelah dia berpamitan pada mereka.

“sepertinya kau juga harus beristirahat, Emily...” Airi memerhatikan Emily dari atas sampai bawah. “kondisimu masih rapuh untuk terlalu banyak beraktifitas...”

“aku tidak apa-apa...” Emily mengibaskan tangannya. “tenang saja.”

“Airi benar, Emily. Kau mungkin sekarang merasa baik-baik saja. Tapi virus vampir di dalam tubuhmu sedang bergejolak, kami tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu.” Akito menimpali.

“tapi aku sedang tidak mengantuk. Lagipula seharian ini aku tidak melakukan apapun!” Emily masih protes.

“baiklah...” Akito mengalah. “bagaimana kalau kau temani aku menikmati segelas teh hangat? Kau mau?”

“boleh saja. Bagaimana kalau kita menikmatinya di kamarku saja?” Emily setuju.

“tidak masalah” Akito tersenyum senang.

 ---

Acara menikmati teh berdua bersama Akito cukup menyenangkan. Akito membuatkan mereka seteko teh Earl Grey manis. Teh nikmat itu disajikan dengan teko dan 2 buah cangkir dari porselain putih. Seputih kulit Akito.

Emily tidak menyangka Akito yang terlihat sangat maskulin dan tegas bisa pandai membuat teh yang sangat menenangkan hatinya. Vampir berambut hitam itu adalah salah satu vampir terindah yang pernah dia lihat. Sekarang dia mengenakan setelan jas hitam dengan sepatu kulit berwarna sama. Mereka kini duduk di depan perapian, Emily tidak bisa melepaskan pandangannya dari rambut legam Akito yang berkilauan terkena cahaya api.

Akito meminum tehnya dengan cara yang sangat anggun dan berkelas meskipun mereka duduk di lantai yang berkarpet beludru.

“apa anda sedang terkesan olehku, Emily-sama?” Akito menyadari bahwa Emily sedang mengaguminya.

Emily tersipu malu. Untuk menutupi salah tingkahnya, dia mengambil lagi cangkir teh yang baru saja dia taruh. Earl Grey miliknya sudah tersisa setengah. “ya, kurasa...”

“pasti anda kaget karena pria sepertiku bisa menikmati secangkir teh...”

Emily bingung. Kenapa setiap orang disini selalu bisa menebak jalan pikirannya?

“ya, kau benar...” jawab Emily. “aku pikir sebagian dari kalian pasti terlalu sibuk melakukan hal-hal kejam daripada menikmati secangkir teh bersamaku.”

“Damian sering mengajak kami menikmati teh seperti ini. Kebiasaannya sebagai orang Inggris tidak pernah ia tinggalkan meskipun dia sudah lama tinggal di Jepang. Kata beliau, ini bisa membantu kita menenangkan diri dan menjernihkan pikiran.”

“apa kebiasaan menikmati teh itu juga diiringi dengan mengonsumsi darah? Kudengar, darah bisa membuat kalian tenang juga sampai mabuk kepayang.”

Akito tertawa pelan. “tidak, kami hampir tidak pernah mencampur darah ke dalam teh kami. Rasanya akan sedikit aneh. Dan ya, darah juga bisa membuat kami tenang sampai mabuk. Tapi itu untuk kondisi yang lain...”

“apa kalian cukup puas dengan hanya menikmati darah sintetis? Apa kalian tidak pernah memburu manusia?”

“Emily-sama, berburu adalah salah satu kesenangan kami sebagai vampir. Tapi kalau kami sering melakukannya, manusia bisa punah.”

“jadi, kalian pernah berburu manusia?”

“ya. Tapi kami hanya melakukannya setiap tahun. Tapi beberapa tahun ini kami belum melaksanakannya lagi karena Damian tidak ada. Tapi jika kau mau, Emily, kita bisa melakukannya.” Akito menatap Emily lekat-lekat. Seolah dia ingin sekali Emily mau menerima tawarannya.

“hmm... bagaimana kalau seandainya kita sedang berburu, manusia buruan kita sedang membawa bawang putih? Menurut legenda, kalian membenci bawang putih, kan?” Emily bertanya dengan sangat polos.

Pertanyaan itu membuat Akito tertawa terbahak-bahak. Tapi tawa itu dibuat sesopan mungkin olehnya supaya tidak menyinggung Emily. “tentu saja itu tidak akan membawa pengaruh kepada kita, Emily. Kau tahu legenda antara bawang putih dan vampir di jaman dulu? Menurut legenda, vampir mengincar darah para perawan muda. Dan bawang putih yang dibawa para perawan itu akan menutupi wangi darah mereka sehingga vampir tidak tertarik lagi untuk memangsa mereka.”

“jadi para vampir tidak akan mati karena bawang putih? Dan kalian juga tidak membenci bau dari bawang putih?”

“untuk kedua pertanyaan itu, jawabannya tidak, Emily. Memangnya kau sendiri takut pada bawang putih?” Akito bertanya balik.

“tidak. Aku sangat menyukai onion rings yang biasa disajikan di restoran-restoran jepang.” Emily menggelengkan kepala.

“nah, kau sudah mendapatkan jawabannya. Dan Emily...” Akito mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Emily. Membuat jarak mereka hanya beberapa centi sehingga Emily mencium wangi tajam dari tubuh Akito. Jika mereka tidak sedang duduk, Emily pasti akan jatuh lemas karena tersihir oleh ketampanan pria ini. Matanya berkilat penuh nafsu laksana jilatan-jilatan api yang menari di perapian. Emily sampai harus menahan diri untuk tidak menarik wajah sempurna itu untuk bisa segera menciumnya.

“bagaimana rasanya saat pertama kali kau meminum darah?” bisik Akito di telinganya.

Lidah Emily kelu. Jawaban sederhana yang sudah ia pikirkan tertahan di lidahnya. Oh Tuhan, dia pasti terlihat sangat bodoh sekarang di depan Akito.

“ra... rasanya...” jawab Emily canggung. “enak... ya, ya... sangat enak.”

Akito menyunggingkan senyum mematikan itu untuk Emily sebelum dia menarik tubuhnya menjauh dari Emily yang sedikit kecewa karena itu.

“sepertinya darah vampir sudah mulai menguasaimu, Emily. Itu berarti kau harus berhati-hati.” Bisikan lembut Akito lebih terdengar seperti sebuah peringatan yang keras.

“ke... kenapa?”

“karena semua yang kau miliki...” Akito menyentuh wajah Emily dan mengelus pipinya perlahan lalu bergerak ke leher dan rambutnya. “kecantikanmu, kekuatanmu, dan kemampuanmu yang nyaris tidak terbatas, bisa membuat silau lawan-lawanmu. Tidak hanya lawan, siapapun yang kau kehendaki bisa kau buat luluh dan menjadi budakmu. Tapi kau harus berhati-hati juga. Karena bisa saja, kekuatanmu itu... malah akan menjadi bumerang yang akan kembali lagi padamu...”

Tapi Emily tidak sepenuhnya mendengarkan nasihat dan peringatan dari Akito. Karena dia terlalu menikmati setiap sentuhan tangan Akito yang menjalar di tubuhnya. Karena terlalu luluh, ia menyandarkan kepalanya di kaki sofa, sambil memejamkan mata dan menggumam pelan, berpikir bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan sentuhan itu lagi... secepatnya.

No comments:

Post a Comment