Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Sunday, March 18, 2012

New World (14)

14

Tidur Emily yang nyenyak terganggu oleh suara teriakan Kai yang membangunkannya. Sial, pikir Emily. Padahal dia baru saja bermimpi tentang semalam, bagaimana Akito menyentuhnya dengan lembut dan berhasil membuatnya melayang hanya dengan sentuhan tangannya. Dia dan Emily mengobrol hampir semalaman sampai Emily lupa waktu untuk harus tidur.

Tapi sekarang waktu tidurnya yang hanya 3 jam jadi terganggu karena suara berisik ini.

“iya, iya... aku akan bangun...” Emily malah menarik selimutnya lebih tinggi ke badannya agar dia bisa tidur lagi. “15 menit lagi...”

“tidakkah kau puas tidur semalaman, huh? Ayo bangun! Bukankah kau sendiri yang bilang kemarin kalau kau ingin latihan bertarung bersamaku?” Kai menyibak selimut Emily sehingga wanita mengantuk itu kehilangan rasa hangat dari selimutnya.

Argh, seandainya Kai tahu apa yang Emily lakukan semalam bersama Akito.

Mau tidak mau Emily bangun sebelum vampir ini merusak ranjangnya hanya untuk membuka matanya.

“lihat, kau bisa bangun kan? Tenang saja, vampir tidak butuh banyak tidur, kok.” Kai menyeringai jahil.

“kau lupa satu hal...” Emily menarik telinga Kai. Kai langsung menjerit kesakitan karena Emily menariknya kencang sekali. “aku masih manusia...”

“se... setidaknya kau kan juga memiliki darah vampir, Em...” ujar Kai sambil meringis kesakitan. “le... lepaskan aku...”

Sebelumnya mata Emily yang masih setengah terbuka karena mengantuk tiba-tiba melebar karena sadar dia baru saja menarik wajah Kai mendekat ke arahnya. Tubuh Emily langsung kaku dalam sesaat dan nyaris lupa untuk melepaskan tangannya dari telinga Kai.

Tapi sesaat itu terjadi cukup lama sampai Kai menarik tangan Emily secara paksa dari telinganya. “sudah kubilang, lepaskan.”

Sekarang giliran Kai yang lupa melepaskan tangan Emily dari cengkramannya karena menyadari wanita sempurna itu berdiri sangat dekat di depannya. Sangat dekat sehingga ia bisa merengkuhnya dan memeluknya erat dengan kedua lengannya yang kuat.

Sebenarnya Kai sengaja membangunkan dia secara kasar agar ia tidak terhipnotis oleh suara dengkuran pelan Emily dan menjadi bergairah karena melihat posisi tidur Emily yang sangat mengundangnya untuk melakukan sesuatu terhadap sosok yang dia anggap tercantik di dunia ini. Bagaimana tidak mengundang? Sekarang saja meskipun piyama hitam yang melekat di tubuh Emily sangat rapat menutupi sebagian tubuhnya, itu masih saja membuatnya menahan nafsu untuk tidak mendorong Emily kembali ke ranjang dan menindih tubuhnya, membayangkan bagaimana rasanya jika Kai berada di antara kedua kakinya...

Ya Tuhan, Kai. Demi apapun di dunia ini jangan pernah membayangkan itu. Setidaknya sekarang masih terlalu pagi untuk itu, Kai mengingatkan dirinya sendiri untuk ribuan kalinya.

“ada apa, Kai? Ada sesuatu yang salah?” tanya Emily lembut. Kai tidak menjawab karena sedang membayangkan bagaimana rasanya jika ia membelai rambut ikal Emily yang terurai berantakan dengan lembut, selembut ketika suara gadis itu memanggil namanya.

“ngg... tidak...” Kai berusaha menguasai dirinya. “kau bersiap-siap saja. setelah sarapan, kita akan mulai latihan...”

Di sisi lain, Emily hanya bisa termangu ketika melihat Kai keluar dari kamarnya. Entah kenapa dia bingung kenapa secara tanpa sadar dia tidak menginginkan Kai keluar. Emily kemudian menyadari hal lainnya juga.

Hanya vampir perkasa itulah yang hampir setiap hari keluar masuk kamarnya hanya untuk membangunkan Emily. Fakta itu membuat kaki Emily bergetar.

Sepertinya Emily harus berhenti menjadi pemalas dan belajar untuk bangun sendiri lebih pagi sebelum Kai membangunkannya. Karena kalau tidak, sesuatu bisa terjadi di antara mereka. Sesuatu yang mungkin salah, dan belum saatnya untuk terjadi sekarang.

---

Setelah puas menghabiskan setengah stok bahan dapur bar markas yang tersaji menjadi berbagai macam masakan kesukaan Emily, dia diajak oleh Kai ke kamarnya. Emily baru tahu dan cukup kaget ketika tahu bahwa kamar Kai ternyata masih satu lantai dengan kamarnya dan jaraknya tidak terlalu jauh.

“ngomong-ngomong, kenapa kita ke kamarmu?” tanya Emily ketika mereka sudah sampai di depan pintu kamar Kai.

“karena aku ingin menunjukkanmu sesuatu.” Jawab Kai sambil memasukkan kode kunci pintunya.

“sesuatu apa?” Emily penasaran.

“sesuatu dari Damian yang beliau wariskan kepadamu...”

Saat pintu sudah terbuka, Kai mengizinkan Emily masuk ke dalam terlebih dulu, membiarkan Emily mengagumi isi kamarnya. Kamar ini didesain khusus untuk mafia dan vampir. Kamar ini tidak memiliki jendela sama sekali dan kedap suara. Meskipun tidak seluas dan semewah kamar Emily, tapi kamar ini sangat nyaman. Ada TV LED 20 inch lengkap dengan home theaternya. Tidak banyak yang mencolok di kamar Kai karena sepertinya pria itu tidak terlalu tertarik untuk menaruh banyak perabotan disini kecuali sebuah double bed besar yang menarik perhatian Emily. Double bed itu berlapis sprei dan sarung bantal satin berwarna hitam.

“aku baru tahu kalau vampir bisa tidur...” komentar Emily saat memerhatikan ranjang itu. Sebuah bayangan nakal terlintas di benak Emily, tubuh Kai yang sempurna dan berkulit putih pucat pasti akan sangat pas dan kontras ketika ia berbaring disana.

Berbaring dengan ekspresi pasrah, menanti Emily untuk menyentuhnya dan membuat pria itu mendesah penuh nafsu karena sentuhannya.

Ya Tuhan, Emily. Dia bukan tipe pria seperti itu, yang mudah pasrah dan menerima. Emily nyaris saja menampar dirinya sendiri.

“kami tidak membutuhkan banyak tidur. Tapi seperti legenda, ada saatnya vampir harus bersembunyi di balik peti matinya, bukan?” jawab Kai. “kami tidak harus memerlihatkan kepada orang lain kalau kami membutuhkan tidur.”

“oh... biasanya kapan kalian membutuhkan tidur?” tanya Emily.

“sebagai mafia, kami hanya membutuhkan tidur setelah kami menyelesaikan pertarungan yang telah menguras tenaga kami, saat kami sakau karena narkotika dan terlalu banyak mengonsumsi darah, dan...” ujung bibir Kai sedikit terangkat ke atas karena tersenyum nakal. “setelah kami bercinta...”

Jawaban ketiga membuat perut Emily serasa seperti dihantam dengan martil. Baru saja dia membayangkan Kai berbaring di tempat tidur itu dengan pasrah di bawah kendalinya, sekarang dia terpaksa membayangkan bagaimana Kai berbaring pasrah di sana bersama orang lain dalam keadaan terengah-engah. Pasti banyak wanita di luar sana baik vampir maupun bukan yang menginginkan Kai bersama mereka. Tidak terkecuali Emily, yang sedikit berharap tubuh mereka akan terlihat sempurna dan cocok ketika sedang menyatu.

“tenang saja, aku tidak pernah bercinta. Aku terlalu sibuk untuk itu.” Kai tergelak pelan.

Emily menghela nafas lega. Sudah bisa ditebak, Emily. Harga diri Kai terlalu tinggi untuk diajak bercinta dengan sembarang wanita, tenang saja.

Tunggu dulu... ‘tenang saja’?

“tadi kau bilang apa? ‘tenang saja’? memangnya kau pikir aku peduli jika kau sudah bercinta atau belum?” kata Emily sewot.

“di wajahmu tertulis jelas sekali, Emily. Apalagi sekarang kita berada di kamar yang sepi dan kita berdua saja. Kau tidak akan memikirkan hal lain selain itu.” gelak tawa Kai semakin kencang. Berani sekali pria ini mengejeknya.

“aku tidak heran jika kau belum pernah melakukannya. Semua wanita pasti sudah langsung tidak bernafsu lagi jika mereka mengetahui kesombonganmu.” Emily bersedekap dan membuang muka.

Tiba-tiba, sebuah kekuatan mendorongnya dengan sangat kuat ke arah tempat tidur. Emily terbaring di atas kasur Kai dengan kedua tangannya ditahan di sisi kepalanya. Tubuh Kai yang perkasa menindih tubuh Emily sampai wanita itu tidak sanggup menggerakkan kakinya sendiri. Wajah Kai yang tampan dan menggoda kini lagi-lagi hanya berjarak beberapa centi dari Emily.

Sekarang Emily bisa menikmati kesempurnaan itu lebih dekat. Kedua lengan Kai yang besar dan keras tersembunyi di balik kemeja abu-abunya, tapi kancing kemejanya yang tidak terkancing beberapa nyaris saja memerlihatkan dada bidangnya yang selembut sutra saat Emily menyentuhnya dengan ujung jarinya. Mata kuning Kai berkilat dan menyiratkan kilau kemarahan sekaligus gairah, hidungnya yang manis mengeluarkan nafas yang memburu, bibir tipisnya yang seksi memerlihatkan taring tajamnya yang sudah memanjang sempurna. Ekspresi marahnya membuat Emily kebingungan antara vampir ini ingin menerkamnya sampai tersiksa seperti berada di neraka atau malah membawanya ke surga kenikmatan.

“jika aku menginginkan wanita berbaring disini, di bawah tubuhku, aku akan pastikan dia tidak akan bisa melawan lagi dan menyerah di bawah kendaliku, Emily-sama...” bisik Kai dengan nada membahayakan.

“bagaimana kau bisa sangat yakin dengan itu, Kai?” tantang Emily. Dia jadi semakin ingin mengusik keangkuhan dan harga diri vampir ini.

“karena saat ini, seorang calon pemimpin klan vampir terbesar di dunia sedang tidak berkutik dan tidak bisa berhenti menatap mataku dari tadi. Bisa kukatakan itu adalah sesuatu yang hebat...” Kai menyeringai. “padahal dia bisa saja melawan atau melemparku ke arah mana pun ia inginkan.”

Emily tertawa sejenak sebelum dia dengan sangat cepat melempar tubuh Kai hanya dengan kedua tangannya sampai Kai membentur dinding sebelum jatuh ke lantai. “baru saja kulakukan, Kai.” Kata Emily sambil menepuk pelan kedua tangannya. Dia turun dari tempat tidur dan menatap Kai yang mengusap punggungnya yang kesakitan di lantai.

Tapi bagi Kai, rasa sakit itu tidak seberapa. Harga yang cukup pantas untuk dibayar hanya demi bisa merasakan Emily berada di atas tempat tidurnya, mendengarkan nafas Emily yang tidak teratur, kilau mata hitam indahnya yang takut tapi juga menginginkan lebih, dia sampai harus menahan diri untuk tidak mengoyak kaos dan celana jins hitam Emily agar dia bisa menikmati keindahan tubuhnya.

Kai yakin dia tadi sempat melihat sekilas ekspresi wajah Emily yang juga sedang menahan diri untuk tidak menarik rambut cokelat Kai agar Emily bisa menautkan bibirnya dengannya.

Oh, dia sangat menginginkan lagi kesempatan untuk bisa melihat Emily seperti itu lagi. Dia juga sudah tidak tahan untuk membelai rambut ikal panjang Emily memenuhi bantalnya seperti tadi.

“nah, Kai. Aku yakin tadi bukanlah sesuatu dari ayahku yang ingin kau tunjukkan, bukan?” Emily mengingatkannya pada tujuan sebenarnya kenapa Kai membawanya ke kamar ini.

Kai bangkit dari lantai untuk memerlihatkan apa yang diminta Emily tadi. Dia berjalan menuju sebuah lemari buku di sudut kamarnya. Dia menggeser lemari buku itu beberapa meter. Di baliknya terdapat sebuah pintu rahasia. Pintu rahasia yang membawa mereka menuju ruang koleksi senjata milik Kai.

“wow! Ini luar biasa!” Emily berteriak kagum saat mereka sudah masuk dan melihat seluruh koleksi senjata Kai. Sepertinya Kai mendesain sendiri sistem keamanan ruang senjata yang terbuat dindingnya terbuat dari besi dan baja ini. Menurut Kai, jika ada seseorang yang sampai salah memasukkan kode keamanannya, sebuah sinar laser akan muncul dan siap memotong tangan siapapun yang membukanya dari mesin keamanan itu. Belum lagi sistem alarm markas akan diaktifkan, dan bisa jadi, satu pasukan markas akan mengepung kamar Kai hanya untuk menangkap pelakunya.

Kai sampai menatap Emily dengan ngeri karena belum ada 5 menit yang lalu wanita yang baru saja melemparnya ke lantai sekarang malah berubah riang seperti anak kecil. Koleksi senjata yang dimiliki ruang rahasia yang tidak terlalu besar ini memang sangat luar biasa. Kai mengoleksi berbagai senjata dari beberapa dekade. Berbagai machine gun, assault riffle, shotgun, pistol, sniper, sampai granat dan peledak juga berbagai jenis pedang dan belati berjejer rapi di rak penyimpanan yang menempel di dinding.

“darimana kau mendapatkan semua ini, Kai? Pasti harganya sangat mahal...” Emily tidak bisa berhenti berdecak kagum.

“sebagian dari Ruki dan sebagian lagi dibuat oleh Airi. Sisanya aku kumpulkan sendiri. Beberapa dari hasil sitaan perang. Jadi mungkin beberapa senjata di antaranya menyimpan kenangan tersendiri...” Kai menjawab dengan bangga.

“kau mengambil senjata milik korban peperangan?” Emily menoleh ke Kai. “rasanya terdengar sedikit keterlaluan...”

“Emily, mereka sudah mati. Mereka tidak membutuhkannya lagi.”

Emily tahu itu. Tapi darah manusia masih mengalir di tubuhnya. Membuatnya masih merasakan rasa kasihan karena membayangkan ketidak adilan menimpa seluruh korban-korban peperangan yang malang, berjuang hanya demi memertahankan hidup mereka.

Sebuah senjata menarik perhatiannya. Dia lalu mengambil senjata itu kemudian mengamatinya baik-baik. Senjata hitam ini cukup panjang sehingga dia mengambil kesimpulan kalau senjata ini pasti adalah submachine gun. Modelnya yang cukup kuno daripada model-model senjata masa kini membuatnya tertarik darimana Kai mendapatkan ini.

“itu The Halcon M-1943 tipe 2B-P-25 dari Rusia.” Kai menerangkan tanpa diminta. “senjata itu sudah berusia puluhan tahun. Aku tidak perlu memeringatkanmu untuk berhati-hati memegangnya, Emily...”

“senjata ini lucu sekali...” Emily menimang senjata itu seperti bayi. “jadi, mana sesuatu yang ingin kau perlihatkan? Apa disimpan di ruangan ini?”

“tentu saja. ada disini.” Kai membelakangi Emily untuk membuka laci lemari penyimpanan yang memiliki berbagai amunisi dan perlengkapan lainnya dari seluruh senjata yang ada. Karena terlalu banyak, Kai membutuhkan waktu cukup lama untuk mencari kotak yang berisi sesuatu yang ingin ia perlihatkan ke Emily.

Sementara itu Emily masih belum bisa melepaskan kekaguman dari senjata ini. Emily pernah melihat tipe senjata ini sebelumnya saat dia menonton salah satu film action favoritnya di televisi. Kalau tidak salah ini adalah tipe light machine gun untuk lebih tepatnya. Karena tidak memiliki amunisi, Emily mengacungkan senjata itu layaknya dia sedang menembak sesuatu di udara. Dia bergaya seperti seorang pejuang atau tentara seperti di film yang ditontonnya.

Tapi karena dia terlalu kuat menarik pelatuk senjata itu (apalagi dia juga belum terlalu mampu mengendalikan kekuatan supernya sendiri), tanpa sengaja Emily mematahkan pelatuk tersebut. Mulut Emily langsung menganga panik.

Bagaimana ini? Dia baru saja merusak senjata milik seorang ketua divisi investigasi klan vampir terbesar di dunia. Dia pasti akan dibunuh oleh Kai!

“kenapa tidak ketemu juga, ya? Kalau tidak salah terakhir aku menyimpannya disini...” Kai menggumam sendiri, masih sibuk mencari di laci penyimpanan.

Menyadari Kai belum tahu Emily baru saja merusak senjatanya, Emily menaruh senjata itu di lantai dengan sangat perlahan dan nyaris tidak terdengar. Dan dengan kecepatannya yang seperti angin, dia langsung lari keluar dari kamar Kai tanpa sepengetahuannya.

“ah, ini dia!” Kai akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Kotak yang ia cari sudah berada di tangannya. Namun ketika ia berbalik, ia sudah tidak melihat Emily berada disana lagi.

Gantinya ia menemukan The Halcon miliknya berada di lantai, dengan pelatuknya dalam keadaan patah dan pecahannya berada tidak jauh darinya.

---

Emily melarikan diri ke ruang latihan yang berada di lantai 4. Ruang latihan yang dimaksud itu merupakan sebuah ruang fitness, kolam renang indoor, dan sebuah auditorium kecil untuk latihan bela diri dan jogging. Ruang latihan yang sangat besar ini nampak lengang dan hanya ada beberapa penjaga di pintu masuk ruang latihan menyapanya penuh hormat.

“Aoi-sama dan Ruki-sama sedang berlatih kendo di ruang auditorium, Emily-sama...” kata salah satu penjaga pria berjas dan earpiece untuk berkomunikasi di telinganya.

“ya, terima kasih...” jawab Emily terengah-engah karena baru saja berlari. Sudah lama dia tidak menggunakan kecepatan supernya seperti tadi.

Emily perlu melewati ruang fitness yang bernuansa putih dan kolam renang indoor. Saat melintasi pinggir kolam renang, Emily mengira-ngira kedalaman kolam renang tersebut. Mungkin kedalamannya sekitar 2 meter.

Aoi dan Ruki sedang asyik bertarung ketika Emily sampai. Tidak ingin mengganggu, Emily mengambil tempat duduk penonton di sisi kanan auditorium sambil terus mengamati mereka bermain. Tubuh dan wajah Aoi dan Ruki ditutupi oleh seragam dan topeng pelindung khusus untuk berlatih kendo. Mereka dengan cekatan dan lincah saling menyerang dan bertahan dengan pedang kayu sebagai senjata mereka.

Pertarungan sengit terjadi selama beberapa lama sebelum akhirnya Aoi mengakhirinya dengan lihai menggunakan trik sehingga Ruki kehilangan pedang kayunya. Ruki kalah telak ketika Aoi mengacungkan ujung pedangnya yang tumpul di leher pria bertubuh kecil itu.

“sudah kubilang bukan kau tidak akan bisa menang melawanku, lagi! Haha!” Aoi tertawa bangga seraya melepas topeng pelindungnya.

“bukan itu masalahnya, Aoi. Kau lebih lama menggeluti olahraga ini daripada aku. Lawanmu tidak seimbang.” Ruki membela diri.

“sudahlah, pokoknya berikan saja 5000 yen untukku karena sudah kalah bertarung denganku lagi.” Aoi terkekeh dan menepuk keras punggung Ruki.

“hei, Emily. Sedang apa kau disini?” Ruki menyapa Emily yang sedang memandang mereka kagum. Mereka terlihat sangat luar biasa dan keren meskipun mereka nampak kusut dan berantakan karena baru saja bertarung. Aoi tetap elegan dengan gayanya yang seperti rocker, lip piercing miliknya masih terpasang di ujung bibirnya. Sedangkan Ruki, meskipun kecil, dia tetap terlihat seperti seorang mesin pembunuh dan seorang mafia sejati.

“hei...” balas Emily. “aku kesini untuk latihan bertarung dengan Kai.”

“hoo... bertarung dengan Kai, ya...” Aoi merasa takjub.

“kenapa?”

“meskipun si brengsek ini bisa mengalahkanku, tapi dia tetap tidak bisa melawan Kai, sang petarung sejati.” Ruki menjelaskan.

“itu karena dia dari kepolisian dan sudah terlalu lama berlatih kekerasan. Aku bukan lawan yang seimbang untuknya.” Aoi mengikuti gaya bicara Ruki.

“maka dari itu Damian memilihnya menjadi penjagamu, Emily. Tidak ada yang bisa menembus pertahanan Kai.” Timpal Ruki.

Oh, jadi karena itu ayahnya memercayakan dirinya pada Kai. Pikir Emily. Entah kenapa rasanya Emily ingin meloncat riang karena kenyataan itu.

“tapi kalau seandainya Kai lengah dan tidak bisa melindungiku sepenuhnya, bagaimana?” Emily tidak ingin terlalu percaya diri dengan menganggap Kai akan selalu berada di sisinya. Pria itu ada di sampingnya karena amanat dari ayahnya. Tidak lebih.

“kami semua akan melindungimu dari bahaya. Tenang saja.” Aoi merangkul Ruki. “kau tidak usah takut.”

“ya. Kami tidak akan meninggalkanmu, Emily.” Ruki tersenyum tulus pada Emily. Sejenak Emily sedikit terharu pada ketulusan kedua vampir ceroboh ini. Vampir memang makhluk yang paling setia pada kawannya.

Kemudian terdengar suara raungan yang sangat kencang dari depan pintu masuk auditorium. Suara raungan itu benar-benar memecah keheningan ruang latihan ini.

“sepertinya itu suara Kai. Tidak biasanya dia mengamuk. Ada apa?” Aoi mengangkat alisnya.

“ngg...” Emily menggaruk kepalanya walaupun tidak gatal. Perutnya kembali seperti dihantam oleh martil. “tadi aku... merusak salah satu koleksi senjatanya. Makanya aku langsung kabur kemari...”

Setelah itu terdengar lagi raungan Kai memanggil nama Emily dengan penuh amarah. Emily semakin merasa ketakutan untuk menghadapi kemarahan Kai. Tapi dahinya mengernyit ketika dia melihat Aoi dan Ruki langsung membereskan barang mereka.

“kalian mau kemana?” tanya Emily bingung.

“kemana saja. asal bukan disini...” jawab Ruki sambil terus membereskan barangnya.

“katanya kalian akan melindungiku dari bahaya apapun.” Emily menagih janji mereka yang baru saja dilontarkan.

“kau merusak senjata milik ketua divisi investigasi klan vampir terbesar di dunia, Emily...” kata Aoi. “kau sendirian.”

“dasar pengkhianat.” Gerutu Emily.

Mereka langsung terbirit-birit saat Kai masuk dan berjalan menuju Emily dengan murka. Emily hampir tidak sadar dia bisa saja akan terlempar ke belakang dari duduknya saat Kai berdiri tepat di depannya.

“kenapa kau merusak senjataku?” tanya Kai geram.

“aku...” tubuh Emily bergetar ketakutan. “sepertinya aku sedikit berlebihan saat memainkannya... aku belum terbiasa menggunakan kekuatanku...”

“aku tahu kekuatanmu memang sangat luar biasa.” Kai mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Emily. “tapi bukan berarti senjata kesayanganku yang menjadi korbannya!”

“i... itu kan hanya light machine gun, Kai... jangan berlebihan...” Emily sedikit bercanda demi mencairkan suasana.

Kai menggeram lagi, “light machine gun itu kudapatkan susah payah dari Rusia dengan harga yang sangat mahal. Kau pikir itu bisa membuatku terhibur, hah?”

Sekarang Emily baru tahu harga diri seorang pria bisa disamakan dengan senjata yang ia miliki. Melihat Kai yang murka seperti ini, dia lebih baik mengalah. Toh itu juga kesalahannya.

“maaf, Kai...” Emily menundukkan kepalanya dan merasa bersalah. “aku tidak bermaksud merusaknya...”

Kai langsung diam. Dia tidak menggerutu, mengamuk, dan mencaci maki lagi. Apa yang baru saja ia lakukan sampai Emily dengan pasrah meminta maaf padanya? Sikap Emily yang menyesal itu membuat Kai luluh dan amarahnya hilang dalam sekejap.

Entah karena pemimpinnya dengan pasrah meminta maaf atau karena sesuatu lain sehingga Kai langsung memaafkan Emily begitu saja. dia tidak bisa benar-benar marah di depan wanita yang satu ini.

Emily benar-benar seorang wanita istimewa.

“lain kali jangan lakukan itu lagi.” Kai memberi peringatan. “lupakan saja. sekarang kita latihan.” Kai memerlihatkan sesuatu yang sedari tadi ia pegang kepada Emily. Sebuah kotak kayu berukuran cukup panjang berwarna hitam.

“apa itu, Kai?” tanya Emily.

Kai mengambil posisi duduk di sebelah Emily dan membuka kotak itu. Isinya adalah sebuah pedang perak yang sangat indah. Pedang itu bukan hiasan, melainkan pedang untuk bertarung. Pedang itu memiliki sebuah hiasan mutiara hitam di pegangannya yang berwarna hitam seperti malam yang pekat.

“ini warisan dari Damian. Beliau membuatkan ini khusus untukmu.” Kata Kai pelan.

Emily mengamati pedang itu sekali lagi seraya mengangkatnya. Pedang itu terasa berat, namun Emily mampu membawanya. Terdapat sebuah ukiran-ukiran klasik di sisi pedang yang bersinar penuh keagungan ketika Emily mengangkatnya ke arah cahaya.

Bila Emily menggunakan pedang ini untuk bertarung, mungkin lawannya akan ciut lebih dulu ketika melihat keindahan pedang ini.

“Kai, sekarang dunia persenjataan sudah sangat modern. Kenapa ayahku memberikan aku pedang ini?” Emily heran.

“beliau menganggap bertarung dengan pedang adalah cara bertarung yang adil dan memiliki nilai seni. Tidak hanya beliau saja, kami juga bisa memainkannya. Yah, walaupun kami tidak bisa menyamai kemampuan beliau...”

“kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita berlatih bermain pedang?” ajak Emily. “kutantang kau untuk melawanku.”

“memangnya kau yakin bisa mengalahkanku, Emily?” Kai tersenyum mengejek. “kau pasti sudah mendengar dari Aoi dan Ruki mengenai kehebatanku.”

Hah, lagi-lagi pria ini menyombongkan diri di depannya. Emily membalasnya dengan menyunggingkan senyum menantang.

“baiklah kalau begitu.” Kai tidak perlu berbasa-basi lagi. Dia mengeluarkan dua bilah pedang besi dari sarung pedang di kedua sisi pinggangnya. Salah satunya ia lemparkan kepada Emily yang kemudian ditangkap olehnya dengan sempurna. “jangan keluar dari ruangan ini dengan wajah terkesima karena kau terlalu silau dengan caraku mengalahkanmu”

Mereka mengambil posisi di tengah-tengah auditorium. Meskipun Emily tidak pernah bertarung dengan pedang sebelumnya, tapi entah kenapa ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya tidak canggung dalam memegang pedang di tangannya dan mengambil posisi yang benar.

Sepertinya dia memang didesain untuk menjadi seorang petarung.

Kai berdiri tepat di depan Emily, matanya berkilat waspada, menanti Emily untuk menyerangnya lebih dulu. Dan Emily tidak membuang waktu lagi. Dia langsung mengayunkan pedangnya dengan lihai dan lincah ke arah Kai yang bisa menangkis serangan itu dengan anggun. Tidak hanya menangkis, dia juga balik menyerang Emily. Dia mengincar bagian lehernya.

Emily sendiri tidak mau mengalah. Dengan berbagai taktik cepat, Emily juga berhasil menangkis serangan tersebut. Pedang mereka terus saling beradu, keadaan juga tidak pernah pasti. Ada saatnya dimana Kai menyerang dan Emily berhasil menghalaunya dan sebaliknya.

Emily memutuskan untuk menggunakan gerakan slot-shot yaitu dengan mengayunkan pedangnya secara vertikal ke sisi kepala Kai. Tapi Kai berhasil menghindar ke samping dan melakukan gerakangrass cutter, mengayunkan pedangnya seperti memotong rumput ke arah kedua kaki Emily. Karena instingnya yang tajam, Emily berhasil meloncat dari serangan itu dan melakukan gerakan wrap, menyerang sisi kanan Kai. Hasilnya, lengan Kai tergores dan sedikit mengeluarkan darah.

“hebat juga kau, Em...” Kai tertawa pelan.

“sekarang siapa yang akan keluar dari ruangan ini dengan terkesima, hah?” sindir Emily sambil tertawa sarkastik.

“pertarungan masih belum selesai.” Kai membalas Emily dengan gerakan yang sama seperti Emily menyerangnya tadi. Emily menunduk saat Kai menggunakan gerakan slot-shot. Disaat Emily menunduk, dia mengambil kesempatan itu untuk menggunakan gerakan grass cutter itu lagi. Sayangnya, ayunan gerakan yang sangat cepat itu mampu ditangkap oleh Kai. Seluruh gerakan mereka benar-benar penuh tenaga sampai pedang mereka menciptakan beberapa percikan api dari gesekannya. Kai menggunakan gerakan snap dan sedikit memutarkan pedangnya sehingga dia bisa mendekati Emily dan berhasil menempelkan sisi pedangnya yang sangat tajam ke leher wanita cantik itu.

Sayangnya, Emily juga melakukan hal sebaliknya. Pedang yang dipegang olehnya juga turut menyentuh lehernya. Karena wajah mereka yang sangat dekat, Kai bisa melihat kilatan dingin seperti seorang pembunuh profesional, rasanya benar-benar dingin, sedingin pedang milik Emily yang jika Emily mau, dengan sedikit kekuatannya, pedang itu mampu mengoyak urat lehernya.

Di sisi lain, Emily tersenyum penuh kemenangan. Keadaan mereka memang seri, tapi Emily melihat raut wajah Kai terlihat lemah dan tidak berdaya. Namun ekspresi itu tidak bertahan lama, Kai malah memberikan sebuah senyuman dingin tapi mampu meluluhkan dinding pertahanan Emily lagi. Kai mengangkat pedangnya untuk sekali lagi menyerang Emily. Kali ini pertahanan Emily tidak sekuat tadi, Emily menghalau serangannya dengan enggan, seakan dia sedang terhipnotis atau ada sesuatu yang telah memecahkan konsentrasinya sehingga ketika Kai menggunakan gerakan terakhirnya, Emily tanpa sengaja melemparkan pedangnya ke lantai, dan ia pun jatuh setelah mendapatkan sedikit tendangan dari Kai.

Agar Kai bisa mengumumkan kemenangannya, Kai menindih badan Emily dan kembali mengacungkan ujung pedangnya di leher Emily yang jenjang dan indah.

Mereka terengah-engah, Emily harus mengakui kalau dia kalah, dan Kai telah berhasil menguasainya untuk sekali lagi. Mereka berdua tersenyum puas.

“kau benar-benar lawan yang hebat, Kai.” Puji Emily. “ini baru pertama kalinya aku bertemu lawan yang setara denganku.”

“tidak.” Jawab Kai. “kau masih belum lihai memainkan pedang ini. kalau ya, kau pasti sudah  membunuhku tadi.”

“kalau begitu, kita bisa lakukan ini lain kali?” Emily tersenyum merayu.

“kalau kau mau...” Kai menyingkirkan pedangnya dari tubuh Emily. “kau bisa menggeretku kesini lain kali. Tapi ingat, pastilah aku yang akan menang...”

“kapan kepercayaan dirimu itu akan redup, Kai?” tanya Emily penasaran.

“selama aku bersamamu, Emily...” Kai berbisik lembut di telinganya. “rasa percaya diriku tidak akan pernah redup...”

Emily terkesiap. Sebelum dia bisa bertanya lebih jauh tentang apa maksud dari yang Kai katakan, dia mendengar suara tepuk tangan yang diiringi siulan dan tawa.

“sudah kubilang kan, Aoi. Pastilah Kai yang akan menang!” seru Ruki riang dari bangku penonton. “sekarang, berikan aku 10000 yen.”

Aoi yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum kering sambil mengeluarkan dompetnya dan memberikan Ruki uang sejumlah yang mereka pertaruhkan.

“tunggu, tunggu...” Kai baru sadar kedua orang bodoh itu ternyata ada disana. “sejak kapan kalian disini?”

“ya, sejak kapan kalian kembali lagi? Kupikir kalian mencari tempat perlindungan.” Timpal Emily.

“sejak kalian menghunuskan pedang kalian untuk pertama kali.” Jawab Aoi enteng. “kalian terlalu asyik bermain sampai kalian tidak menyadari kami datang dan menjadikan kalian sebagai objek taruhan kami.”

“apa? Kalian membuat kami menjadi bahan taruhan kalian?” Kai terkejut. Reaksi Kai malah disambut tawa lepas oleh Aoi dan Ruki.

“pertarungan kalian berdua benar-benar seru dan tidak bisa ditebak hasilnya. Kau pikir aku akan menghilangkan kesempatan emas untuk membuat Aoi memasang wajah memalukan karena kalah seperti tadi?” ujar Ruki.

“sepertinya aku juga harus menghunuskan pedangku ke kalian...” Kai geram. “kalau kau menjadikanku bahan taruhanmu, setidaknya berikan 50% hasil uang taruhanmu kepadaku” tiba-tiba ekspresi geram Kai berubah menjadi lucu dan sok serius.

“coba saja ambil kalau kau sudah mau melepaskan dirimu darinya.” Ruki tertawa lagi seraya menunjuk Emily dan Kai.

“maksudmu apa, Ruki?” Emily tidak mengerti.

“apa kau benar-benar tidak sadar atau hanya berpura-pura, Kai?” kata Aoi. Dia berusaha keras untuk menahan tawanya agar ia bisa meneruskan. “posisi kalian sekarang benar-benar menggoda...”

Saat Kai sadar sepenuhnya bahwa ia masih berada di atas tubuh Emily yang juga masih berbaring pasrah di lantai. Kai langsung beringsut dari tubuh Emily dengan wajah memerah. Emily juga tidak kalah canggung dari Kai. Emily dengan sangat cepat bangkit dan turut menyembunyikan wajah malunya dari hadapan 2 vampir pria yang masih menertawai mereka dan seorang vampir yang sekali lagi telah membuatnya silau entah oleh keangkuhan atau kesempurnaannya.

Rasanya dia benar-benar akan keluar dari ruangan ini dengan terkesima sesuai janji Kai kepadanya.

No comments:

Post a Comment