Quotes

Writing is not like dancing or modeling; it’s not something where – if you missed it by age 19 – you’re finished. It’s never too late. Your writing will only get better as you get older and wiser - Elizabeth Gilbert

If you write something beautiful and important, and the right person somehow discovers it, they will clear room for you on the bookshelves of the world – at any age. At least try - Elizabeth Gilbert

I never promised the universe that I would write brilliantly; I only promised the universe that I would write. So I put my head down and sweated through it, as per my vows - Elizabeth Gilbert

I believe that – if you are serious about a life of writing, or indeed about any creative form of expression – that you should take on this work like a holy calling - Elizabeth Gilbert

The most beautiful things are those that madness prompts and reason writes - Andre Gide

I always start writing with a clean piece of paper and a dirty mind - Patrick Dennis

It is for this, partly, that I write. How can I know what I think unless I see what I write? - Erica Jong

When I say "work" I only mean writing. everything else is just odd jobs - Margaret Laurence

Writing is a way of talking without being interrupted - Jules Renard

When writing a novel a writer should create living people; people not characters. A character is a caricature - Ernest Hemingway

If writing is honest it cannot be separated from the man who wrote it - Tennessee Williams

I can shake off everything if I write; my sorrows disappear, my courage is reborn - Anne Frank

Anybody can write three-volume novel. it merely requires a complete ignorance of both life and literature - Oscar Wilde

Wednesday, March 14, 2012

The Delusion (3)

3

Dengan perasaan yang masih kesal karena pertengkarannya dengan Spencer barusan, Judy kembali ke meja kerjanya. Dari sana dia bisa melihat Spencer langsung menuju lift untuk pergi ke TKP bersama teman-teman yang tadi dia ajak untuk pergi.

Judy memang sering bertemu dengan orang-orang brengsek (apalagi kalau dia sedang bekerja), tapi tidak seperti Spencer. Bagi Judy, Spencer menyusahkan dan dia harus bersikap baik padanya atau dia tidak akan bisa bekerja sama sekali.

Judy mendengus kesal dan menghempaskan dirinya ke kursi meja kerjanya. Rasanya malas dia membuka file kasus yang tadi dia bawa dari ruang rapat untuk dia pelajari. Setidaknya, dia harus menenangkan dirinya dulu sebelum dia bekerja.

Sebagai profiler, Judy tentunya ingin tahu kenapa Spencer seperti itu. Judy yakin sekali Spencer pasti pernah mengalami sesuatu yang membuatnya menjadi orang brengsek dan meremehkan orang lain.

Karena dorongan dari rasa penasarannya, dia berdiri lagi dan mengintip ke meja Spencer melalui bagian atas sekat. Tentu saja meja itu kosong karena pemiliknya sedang keluar. Dan Judy memanfaatkan kesempatan itu.

Dia mengendap-endap berjalan menuju meja itu dan memeriksanya. Dia membuka laci-laci meja satu persatu tanpa mengacak-acak isinya. Karena dia merasa dia tidak menemukan apapun yang membantunya, dia menutup semua laci itu kembali. Lalu dia beralih ke atas meja. Tidak ada satupun yang menarik perhatiannya kecuali sebuah foto berbingkai kecil di sudut meja. Foto itu nyaris tidak terlihat karena terhalang oleh tempat alat-alat tulis yang berupa cangkir yang cukup tinggi. Judy mengambil foto itu. Foto yang dibingkai adalah foto Spencer bersama seorang wanita. Mereka terlihat sangat mesra di foto itu. Spencer merangkul wanita berambut pirang dan berwajah nyaris sempurna itu.

Sebelum Judy mengambil kesimpulan, sebuah suara di belakangnya membuat pikirannya teralihkan. Judy menoleh dan melihat Hailey tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya.

“wanita itu mantan pacar Spencer. Aku pernah bertemu dengannya sekali saat kami minum-minum bersama di bar.” Kata Hailey. 

“dia masih mencintai wanita ini, ya? Spencer masih menaruh fotonya. Sebagai tanda kalau dia masih sangat mengenang masa-masa ketika mereka masih bersama.” Judy menaruh foto itu ke tempatnya semula. “kenapa mereka putus?”

“Samantha, nama wanita itu, dijodohkan oleh orang tuanya yang cukup kaya karena perjanjiannya pada orang tuanya kalau dia diizinkan menjadi polisi, dia harus menikah dengan pria pilihan mereka. Orang tua mereka juga tidak terlalu menyukai Spencer karena Spencer bukan dari keluarga yang berlatar belakang sama dengan mereka. Sakitnya, Spencer dan Sam masih cukup sering bertemu saat menangani kasus. Makanya Spencer menjadi semakin merasa sulit untuk melupakannya. Ditambah lagi Spencer selalu mencari alasan untuk bertemu Sam. Aku yakin, mereka pasti akan bertemu di TKP nanti. Samantha bekerja di bagian fotografer TKP.”

Judy mengerti. Spencer terluka dan masih mengharapkan Samantha, tapi disaat yang sama, dia harus kuat demi pekerjaannya. Semakin dia merasa kuat, dia menjadi brengsek agar dia bisa merasa mudah untuk melupakan. Tetapi tanpa dia sadari, kalau dia semakin terlihat baik-baik saja dan kuat, saat dia jatuh, rasanya akan semakin sakit.

Dan Spencer tidak akan bisa tenang kalau dia tidak melupakan Samantha. Tapi Judy tahu Spencer tidak akan melakukannya.

Tidak akan bisa kalau dia terus memajang foto ini dan terus menatap wanita yang terlihat nyaris sempurna dan semakin sempurna dengan momen yang terabadikan di dalam foto itu.

Yang membuat Judy juga mengetahui satu hal lagi. Spencer ingin diselamatkan…

---

“mengaku saja, Yoriko…” Aya mencecar Yoriko pagi itu dengan pertanyaannya. Aya berdiri di depan pintu kamar mandi apartemennya yang terbuka. Yoriko sedang menyikat giginya di depan wastafel.

‘’mengaku apa?’’ tanya Yoriko setelah ia berkumur-kumur dan menaruh sikat giginya ke tempatnya semula, di dalam cangkir yang tadi ia gunakan untuk kumur-kumur.

‘’aku melihatnya semalam.’’ Perkataan Aya terdengar semakin misterius karena dia mengatakannya sepotong-sepotong.

‘’melihat apa atau siapa?’’ Yoriko tidak mengerti. ‘’tolong lebih jelas lagi, Aya…’’

‘’kau berkali-kali memperhatikan Shou-kun! Dan pandanganmu tidak bisa lepas darinya!” dengan heboh Aya menjawab. ‘’kau menyukainya, kan? Ayo mengaku saja!”

Reaksi Yoriko hanyalah diam. Dia malah mengambil handuk kecil yang digantung di hanger dekat wastafel untuk mengelap sekitar bibirnya yang basah terkena air dan bersikap seolah tidak ada apa-apa.

“tidak. aku tidak menyukainya.” Yoriko menyangkal.

“tidak mungkin.” Aya tidak percaya. “karena dari caramu menatapnya, kau seperti melihat seorang pangeran tampan dan matamu berkilat-kilat.” Aya sedikit melebih-lebihkan.

Yoriko tertawa pelan. “kau mau tahu kenapa aku begitu memperhatikannya?”

Yoriko bisa menduga Aya pasti akan bersikap seperti yang ia lihat sekarang, menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat dan rasa ingin tahu.

Yoriko melangkah untuk mendekati Aya dan merangkul sahabatnya itu. “ayo, ikut aku.”

Yoriko membimbing Aya ke kamar Yoriko. Begitu mereka sampai, Yoriko meminta Aya untuk mengambil buku sketsa ukuran A3 yang diletakkan di samping futon. Aya belum pernah melihat buku sketsa itu karena kemarin Yoriko belum mengeluarkannya dari koper. Setelah buku sketsa itu ada di tangan Aya, Yoriko meminta Aya membuka buku sketsa itu dan memperlihatkan lembaran ketiga buku itu. Ketika melihatnya, Aya terperangah.

Sketsa itu adalah gambar seorang pria yang persis sekali dengan Shou. Awalnya Aya mengira orang yang ada di gambar itu adalah Shou Kohara, sahabat yang ia kenal. Tapi begitu Aya melihat tanggal yang dibubuhkan di dekat tanda tangan Yoriko di pojok bawah sketsa, Aya langsung yakin kalau ini bukan Shou.

“ini adalah Spencer Williams yang aku gambar beberapa minggu sebelum aku berangkat ke Jepang. Benar-benar kebetulan yang aneh.”

“kau serius kalau ini benar-benar Spencer Williams? Karena mereka… benar-benar nyaris sama!” kata Aya.

“aku tahu. Makanya seperti yang kau bilang tadi, aku tidak bisa berhenti menatapnya. Karena, bagaimana perasaanmu kalau tokoh khayalan yang kau buat terasa menjadi hidup di dalam sosok orang lain yang sama persis? Jujur, aku jadi tidak tahu harus bagaimana kalau bertemu dengan Shou Kohara itu lagi.”

“padahal kau sendiri juga tidak dapat menahan diri untuk tidak bertemu dengannya, kan?” Aya menebak dengan sangat tepat.

“aku benar-benar heran, kenapa mereka bisa sama persis?” Yoriko mengelus gambar buatannya itu, memperhatikan mata Spencer yang seakan menatapnya dengan tatapannya yang dingin itu.

“katakan padaku. Kau mendapatkan inspirasi Spencer darimana?”

Yoriko jadi teringat mimpi yang dia alami beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum dia mulai membuat novelnya dan bertemu dengan Aya. “aku bertemu Spencer beberapa tahun yang lalu di mimpiku. Dia juga seorang polisi disana. Di mimpiku aku menjadi Judy. Kalau di adegan novelku, mimpiku baru sampai di bagian saat aku mengetahui rahasia Spencer yang membuatnya menjadi brengsek. Dan sebelum mimpiku selesai, aku sudah terbangun lebih dulu.’’ Cerita Yoriko.

‘’apa kau percaya kalau ini takdir? Kau sudah bertemu Shou-kun jauh sebelum ini. Hanya namanya saja yang berbeda. Mungkin Shou-kun adalah belahan jiwamu! Siapa tahu suatu malam nanti mimpimu akan ada lanjutannya lagi!’’

Yoriko jelas saja tidak percaya dengan kata-kata Aya barusan. Dia tertawa sarkastik sebelum menanggapi, “yang benar saja. aku baru bertemu dengannya semalam dan dia sama sekali tidak menganggapku ada. Bagaimana bisa orang seperti itu bisa menjadi belahan jiwaku hanya karena kebetulan aneh ini?”

“tapi ini terlalu aneh untuk disebut kebetulan, Yoriko. Kau memimpikannya, kau menggambarkannya dengan sangat persis di buku sketsamu, dan kau bertemu dengannya. Lalu kau menyukainya…” Aya tersenyum jahil.

“aku tidak menyukainya. Aku hanya merasa dia mirip dengan Spencer.” Sanggah Yoriko.

“baiklah…” Aya mengerti. “tapi aku yakin suatu hari nanti kau akan jatuh cinta dengannya, cepat atau lambat.”

“aku tidak bisa jatuh cinta dengannya, Aya… tidak tanpa merasa dia mirip sekali dengan Spencer.”

“tapi nyatanya sekarang kau tidak bisa lepas darinya, kan? Dengan atau tanpa merasa dia mirip sekali dengan Spencer?” Aya menatapnya dalam-dalam untuk mencari jawaban. Mau tidak mau Yoriko harus mengakuinya.

“sekarang begini saja.” Aya memberi saran. “kau dekati saja dia. Kalau kalian mengobrol atau menghabiskan waktu bersama, kau bisa tahu apa kau menyukainya sebagai Spencer atau sebagai dirinya sendiri.”

Yoriko mencibir. “bagaimana bisa aku mendekati orang yang bahkan nyaris tidak pernah keluar dari studionya dan punya kehidupan yang lebih tinggi daripada aku?”

Aya langsung lemas. “iya, benar juga…” tapi tiba-tiba dia kembali bersemangat. “tapi kalau kalian benar-benar belahan jiwa, kalian pasti akan bertemu lagi. apapun caranya.” Aya berkata dengan sangat yakin, seakan-akan dia seperti sudah sangat berpengalaman dengan hal seperti ini.

“kalau kami bertemu dan ternyata sikapnya tidak seperti yang kita harapkan? Kau tahulah, dia kan dingin pada orang asing dan aneh seperti aku.”

“Yoriko…” Aya memberikan sebuah senyuman keyakinan untuk Yoriko. “siapa bilang kalau kisah cinta selalu berawal dan berjalan dengan mulus? Siapa tahu, di balik sikapnya yang dingin itu dia akan menaruh perhatian padamu. Sedingin dan sekejam apapun orang, kalau dia sudah bertemu dengan belahan jiwanya, dia tidak akan bisa lepas darinya, walaupun dia berusaha mengabaikan, membenci, dan memperlakukan orang itu dengan dingin sekalipun.”

 ---

Aya mengantar Yoriko menuju petshop milik Avaron. Letak petshop itu ternyata tidak terlalu jauh dari apartemen. Di bagian luar petshop, terdapat papan nama petshop dengan anjing chihuahua berbulu hitam lembut berpose sangat lucu di sebelah tulisan nama petshop. Papan nama itu ada di bagian atas toko. Aya bilang, anjing itu adalah milik teman Avaron juga Kai. Dia seorang vokalis band Gazette.

Tidak banyak hiasan di bagian luar petshop. Hanya rak tempat ditaruhnya collar atau kalung untuk anjing dan kucing untuk dijual. Kebanyakan yang dipajang disana diberi diskon 20%-50%. Yoriko tersenyum, orang-orang di Jepang sangat jujur, tidak akan ada satupun yang akan mengambil barang dagangan yang tidak diawasi itu tanpa membayarnya. Mereka pasti akan masuk ke dalam dengan membawa barang yang mereka inginkan untuk dibayar. Salah satu alasan Yoriko kenapa dia bangga menjadi orang Jepang.

Jendela petshop diberi banyak boneka hewan-hewan lucu sebagai hiasan. Boneka-boneka itu tidak dijual, tapi malah sering dimainkan oleh Yukio yang kadang-kadang dibawa Avaron ke petshop.

“waw… hebat…” puji Yoriko ketika dia masuk ke dalam. Tidak banyak yang berubah dari petshop ini walaupun tempat ini sudah hampir 5 tahun berdiri. Rak display berbahan besi dilapis cat berwarna putih yang senada dengan warna dinding petshop masih awet (tapi orang-orang selalu mengira warna dindingnya adalah kuning karena lampu kuning seperti lampu-lampu yang ada di mal menyinari toko), meja kasir kayu yang tidak pernah diganti, dan barang-barang yang dijual diatur dengan sangat rapi.

“terima kasih…” Avaron keluar dari meja kasirnya. Baru saja dia selesai mencatat pengeluaran dan pemasukan petshop untuk bulan ini di buku catatannya. Yoriko memperhatikan penampilan Avaron hari ini. Penampilannya memang terlihat muda, tapi tetap mencerminkan kalau dia adalah seorang ibu. Kemeja putih polos berbahan katun, celana straight jeans hitam panjang, sepatu sandal yang bisa didapatkan di departement store kelas menengah, rambut hitamnya yang dia biarkan terurai begitu saja, dia memberikan bedak tipis di wajahnya dan lipstik pink natural seperti yang melekat di bibir Yoriko.

Penampilannya membuat Yoriko teringat pada Samantha Force, mantan pacar Spencer Williams di novelnya sendiri.

‘’tidak, harusnya aku yang berterima kasih karena anda sudah mempekerjakanku disini…” Yoriko merendah. “aku bisa mulai sekarang.”

“kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Satu jam lagi kelas kuliahku sudah akan dimulai.” Aya berpamitan pada mereka berdua. Setelah bertukar salam, Aya keluar dari petshop.

“aku akan menunjukkanmu seluruh isi dari petshop ini sekaligus memberitahumu tugas apa saja yang akan kau lakukan.” Avaron memberi isyarat pada Yoriko untuk mengikutinya berkeliling petshop.

Mula-mula Avaron membawa Yoriko ke rak display bagian depan toko di tingkat tengah yang berisi 3 buah akuarium berukuran sedang lengkap dengan aliran udara yang dihubungkan dari listrik. Akuarium itu di dalamnya terdapat ikan-ikan mas. Di bagian bawah rak dipajang pakan untuk ikan dari berbagai merk yang sudah ditata dengan rapi. Avaron memberitahu Yoriko kalau tugasnya sederhana di bagian akuarium ini. Dia hanya perlu memberi makan ikan-ikan itu saja. Karena yang bertugas membersihkan akuariumnya adalah Aya.

Di sebelah rak display untuk ikan terdapat rak display untuk kandang-kandang kecil untuk hamster. Yoriko langsung tahu kalau petshop ini memelihara hamster jenis Siria, Campbel, Winter White, dan Roborovski. Masing-masing jenis jumlahnya sepasang. Dan seperti formasi rak display sebelumnya, di bagian bawah kandang ditaruh pakan, permainan seperti roda putar, dan peralatan lainnya seperti botol minum, kotak untuk pasir, dan rumah-rumahan dengan bentuk dan warnanya yang lucu-lucu.

Lalu, di bagian tengah petshop berjajar 2 buah kandang berukuran besar untuk anjing jenis Akita dan Chihuahua. Avaron tersenyum pada Yoriko saat mereka melihat anjing Akita berbulu putih itu menggonggong ke arah mereka.

“lihat, dia Alen.” Avaron menunjuk ke arah anjing itu. “tampaknya dia menyukaimu.”

Yoriko mendekati Alen dan berlutut di depan kandangnya. Bagian atas kandang terbuka sehingga Yoriko bisa meraih kepala Alen untuk membelainya. Alen terlihat sangat nyaman saat menerima perlakuan dari Yoriko itu.

“dan di sebelahnya, dia kuberi nama Boo.” Avaron memperkenalkan anjing satunya. Yoriko melihat ke arah Boo. Anjing itu sedang tidur nyenyak sekali.

“hahaha... dia memang biasa tidur di jam-jam seperti sekarang.” Avaron membungkuk untuk membelai punggung Boo.

“anda mempunyai hewan-hewan yang luar biasa.” Yoriko memuji Avaron tanpa dibuat-buat. “harus kuakui, petshop ini juga sangat bagus interiornya.”

“yah, aku bersyukur setelah 4 tahun petshop ini berdiri aku bisa mendesain toko ini lebih baik lagi. Dulu saat toko ini buka pertama kali, keadaannya masih belum sebagus sekarang.” Sambil berjalan kembali, Avaron sedikit bercerita tentang petshopnya. “kau tahu Shou-kun yang semalam datang ke pesta ulang tahun Yukio? Dia dulu pernah bekerja disini, sebelum dia menjadi artis.”

Yoriko sedikit kaget dengan cerita Avaron. “oh ya? Apa para fansnya tahu dia pernah bekerja disini?”

“tidak. Tapi kalau tidak salah dia pernah bercerita kalau dia sempat bekerja di sebuah petshop saat dia diwawancarai di sebuah majalah. Namun kurasa beberapa fans tahu petshop yang dimaksud adalah petshop ini karena aku pernah menerima pengunjung yang berbisik-bisik kalau disini tempat kerja Shou-kun dulu.”

Yoriko mengangguk paham. Dia jadi teringat Spencer Williams lagi. Dia membuat tokohnya itu pernah bekerja di sebuah minimarket sewaktu masih seusia Shou 4 tahun yang lalu. Spencer tipe karyawan yang hampir tidak pernah serius dalam bekerja. Walaupun begitu, hasil pekerjaannya tetap rapi dan bagus sehingga atasannya tidak bisa memarahinya. Spencer juga tipe yang selalu membawa keceriaan di tempat kerja. Teman-temannya merasa kalau dengan kehadiran Spencer, tempat kerja mereka serasa lebih ramai walaupun minimarket itu tidak didatangi pengunjung.

“Shou-kun dulu hampir tidak pernah serius kalau sedang bekerja. Tapi dia selalu membawa keceriaan di petshop ini. aku bisa merasakan kesepian yang amat sangat kalau dia tidak bekerja atau pulang bekerja.” Avaron mengenang Shou.

Karena penasaran, Yoriko akhirnya bertanya, “kalau boleh tahu, bagaimana Shou-san sewaktu bekerja disini, selain dari yang anda tadi ceritakan?”

Avaron lalu bercerita kisah awal dari Shou pertama kali melamar kerja di petshop. Sikapnya yang sok dan menyebalkan saat pertemuan pertama malah membuat dirinya menjadi menarik di mata Avaron. Karena Avaron menghargai usaha Shou yang ingin membiayai bandnya yang dulu masih indie dengan bekerja di petshop, Avaron langsung menerimanya. Namun Shou tidak pernah menganggap Avaron sebagai atasannya. Shou sama seperti Aya, memandang Avaron sebagai temannya sendiri, begitu juga dengan Avaron.

“kenangan kami bersama Shou... lebih dari itu. Dia tidak hanya sekedar anak buah dan atasan bagiku secara pribadi...” Avaron tersenyum. Senyumannya itu seperti dia menyimpan sesuatu dari masa lalunya bersama Shou.

Yoriko tidak kaget mendengarnya. Dia seperti sudah menduga Avaron akan mengatakan itu sebelumnya. Seakan dia sudah mengenal wanita ini dan Yoriko juga bisa menebak dengan mudah bagaimana perasaan Avaron terhadap Shou sekarang.

“maksudku, saat aku bertemu dengannya pertama kali, aku sedang di masa sulit. Shou yang selalu menemaniku waktu itu.” Avaron langsung menjelaskan maksudnya. “dia seperti... badut kelas disini.”

“apa yang anda ceritakan tentangnya sekarang jauh berbeda dari Shou-san yang kulihat kemarin.” Kata Yoriko. Dia ingin tahu penyebab kenapa Shou bisa berbeda 180 derajat dari Shou yang Avaron ceritakan. Jangan-jangan...

“entahlah. Sejak dia masuk ke manajemen menyebalkan itu dia menjadi berubah. Dia lebih sibuk, lebih dingin, dan lebih monoton daripada Shou yang dulu.” Avaron tidak tahu penyebabnya.

“semua hanya untuk kerja kerasnya di band bernama alice in wonderland atau semacamnya itu...” Yoriko menanggapi walaupun dia salah menyebutkan nama bandnya.

“Alice Nine.” Avaron membenarkan. “aku mengerti dia mencintai bandnya. Aku bisa melihat suamiku juga seperti itu. Tapi aku masih merindukannya. Aku selalu merasa dirinya yang sebenarnya sedang pergi berkelana tanpa tujuan, mencari sesuatu yang hanya dia tahu, dan entah kapan dia akan kembali.”

“sepertinya ucapan dari sahabat terdengar seperti sebuah kenyataan...” Yoriko sedikit menyindir.

“hm... kita yang mengenalnya hanya bisa berharap dia kembali suatu hari nanti. Bukankah begitu, Yoriko?” Avaron tersenyum tipis. “ayo, masih banyak yang harus kutunjukkan dan kujelaskan padamu. Kau juga belum melihat ruang praktek dokter Inoue, bukan?” Avaron memberikan isyarat tangannya ke Yoriko untuk terus mengikutinya.

 ---

Tugas pertama Yoriko hari ini adalah membersihkan lantai petshop. Tugas yang mudah menurutnya. Dia sudah biasa membersihkan ruangannya sendiri di setiap apartemen yang dia tinggali saat dia bepergian ke negara lain. Apartemen kelas menengahnya di Perancis, Inggris, dan New York, apartemen sewanya yang sangat murah di Indonesia adalah sebagian contoh. Apalagi saat dia dulu masih tinggal di panti asuhan.

Setelah menyedot debu dengan vaccum cleaner, Yoriko menaruh mesin itu kembali ke dalam kloset di bagian belakang petshop. Gantinya ia mengambil pengepel dan ember plastik. Dia mengisi ember itu dengan air dari keran toilet lalu memberinya cairan pembersih lantai. Dia memasukkan tongkat pel ke dalam ember, mengeluarkannya dan memerasnya kemudian memulai pekerjaan keduanya itu.

Dia memulai dari bagian belakang petshop. Dari ujung pintu gudang lalu ke ujung belakang lorong-lorong yang dibuat dari rak display. Dia mengerjakan pekerjaannya dalam diam, sambil mendengarkan musik dari iPodnya. Sesekali berhenti untuk beristirahat selama beberapa detik, lalu kembali mengepel.

Pandangan matanya masih terus tertuju pada lantai yang sekarang semakin terlihat bersih setelah dipel. Tidak lupa dia juga membersihkan sudut-sudut yang terlupakan seperti di bawah rak display, atau di pojokan ruangan. Semuanya dia lakukan dengan tenang sampai ada sepasang kaki mengenakan sepatu Adidas berwarna hitam putih menghalangi jalannya.

Yoriko mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pemilik kaki itu. Ternyata seorang pria, yang sudah sangat tidak asing lagi baginya, berdiri di hadapannya. Pria itu mengenakan kaus oblong hitam, dan celana jeans gelap yang nyaris menutupi ujung belakang sepatunya. Dia memakai kacamata berbingkai kotak hitam penuh. Rambutnya berwarna cokelat terang terlihat berantakan seperti habis tertiup angin. Wajah tampannya tersenyum gagah di pada Yoriko.

“tega sekali kau meninggalkanku di Indonesia.” Kata pria itu.

Yoriko hanya mendengus pelan dan kembali meneruskan pekerjaannya. “kupikir kau tidak ingin pergi dari sana.”

“ayolah, di Jakarta sangat panas hawanya. Lebih baik aku disini saja, menikmati hawa musim semi yang hangat...” pria itu sekarang berdiri di sebelah Yoriko. “bagaimana kalau kita jalan-jalan? Aku ingin tahu bagaimana Jepang, Yoriko-chan...”

“tidak bisa. Aku sedang bekerja sekarang. Bagaimana kalau kau jalan-jalan sendiri saja? kau merusak lantai yang baru saja kupel dengan sepatumu.” Jawab Yoriko sambil terus mengepel.

“aku bisa tersesat, Yoriko-chan. Tokyo kan kota yang sangat besar. Kumohon...” si pria bersikap seperti anak kecil, terus-menerus merengek pada Yoriko agar wanita itu mau menemaninya jalan-jalan.

“sudah kubilang tidak, bisa. Ini hari pertamaku bekerja dan aku tidak ingin merusaknya dengan pergi begitu saja denganmu, tahu. Atasanku bisa marah.” Yoriko menolak lagi.

“huh. Baiklah. Kau menjadi tidak seru sekarang. Aku bermain dengan para hamster saja. kulihat tadi disana mereka sangat imut. Aku juga sudah melihat anjing jenis Akita yang kau namai tadi. Alen. Lucu sekali namanya.” Pria itu kembali mengoceh sambil berlalu dari hadapan Yoriko ke lorong sebelah untuk melihat binatang-binatang yang tadi dia sebutkan.

Untuk sesaat suasana kembali tenang dan Yoriko terus melanjutkan mengepelnya. Namun, dia tiba-tiba mendengar suara teman prianya itu memanggil namanya dari lorong sebelah. Suara lengkingannya sangat kencang sekali sampai-sampai Yoriko kaget dan berlari kecil menghampirinya.

“jangan berisik! Nanti atasanku bisa menegurmu!” Yoriko memperingatkan temannya yang kini sedang menatap meja kasir dekat pintu masuk dengan wajah tertegun dan matanya membulat.

“lihat dia. Dia mirip sekali denganku!” seru sang pria seraya menunjuk seseorang yang sedang berdiri di depan meja kasir. Yoriko tahu yang temannya maksud adalah Shou Kohara, pria dari band yang namanya Yoriko hampir tidak ingat. Dan pria yang memegang posisi vokalis di bandnya itu sekarang terlihat sedang berbincang-bincang dengan Avaron Yutaka.

“kenapa dia bisa mirip sekali denganku, sih!?” Yoriko kembali mendengar temannya menggerutu. Dia menghentakkan kakinya dan bibirnya yang lucu itu cemberut karena kesal. “tapi kurasa dia tidak lebih seru daripadaku.”

“kau bisa tahu darimana?” tanya Yoriko.

“aku tahu saja. dia seperti orang yang tidak punya hidup. Lihat, ada lingkaran hitam di matanya. Itu berarti dia kurang tidur. Lalu rambutnya juga berantakan. Dan aku yakin dia mengambil pakaiannya itu asal-asalan sampai dia tidak sadar kalau celana jeansnya mengatung sampai betisnya.” Temannya mengritik penampilan Shou Kohara.

“terdengar seperti dirimu...” komentar Yoriko.

“tapi bedanya, aku lebih tampan dan keren darinya.” Temannya yang sok itu menyibakkan rambutnya.

“hah... sudahlah. Kalau kau bersikap seperti itu lagi, aku akan menendangmu keluar dari petshop.” Yoriko mulai jengah dengan kehadiran temannya itu.

“kau tidak bisa seenaknya melakukan itu, Yoriko-chan. Lagipula, tampaknya mereka sedang membicarakan hal serius. Coba kau dengarkan.” Kata si pria.

Yoriko melepaskan headset iPodnya dan mulai mendengarkan apa yang kedua sahabat lama itu bicarakan di depan. Yoriko tahu benar apa yang dia lakukan sangat tidak baik, menguping pembicaraan orang lain. Tapi karena dia sangat penasaran, dan sepertinya temannya mempunyai alasan bagus untuk meminta Yoriko mendengarkan apa yang mereka bicarakan, dia akhirnya melakukannya.

Sambil memperhatikan gerak tubuh mereka selama berbicara, Yoriko bisa mendengar sangat jelas karena petshop ini sepi.

“jadi kau menyempatkan waktumu yang sangat padat kemari hanya untuk memesan kucing persia berbulu putih, Shou?” Avaron mengangkat alisnya.

Shou dengan dingin menjawab, “memangnya kenapa?”

“tidak. Tidak kenapa-kenapa. Tapi aku bisa menyediakan kucing yang kau inginkan kira-kira besok pagi. Apa tidak apa-apa?” tanya Avaron.

Shou hanya mengangkat bahunya, tidak sedikitpun merubah sikapnya yang sedingin kutub utara itu. “tidak apa-apa. Tapi kurasa aku tidak bisa menjemputnya besok kesini. Aku sibuk.” Jawab Shou seadanya saja.

“aku bisa meminta tolong karyawanku untuk membawakannya ke rumahmu. Kau hanya tinggal membayar biaya tambahan untuk jasa pengantaran saja. kau bisa langsung memilikinya sedangkan aku akan mengurus surat adopsinya. Bagaimana?” tawar Avaron.

“’karyawan’? tidak biasanya kau menyebut Aya dengan kata itu.” Shou tidak menjawab tawaran dari Avaron.

“aku baru saja menerima karyawan baru hari ini. dia Yoriko Ishihara. Kau masih ingat, bukan? Dia kemarin juga datang di pesta ulang tahun Yukio-chan. Kurasa dia tidak akan keberatan mengantar kucingmu ke apartemenmu.” Avaron menjelaskan.

“oh.” Jawab Shou datar. “ya sudah. Urus saja semuanya.”

“aku akan mengurus semuanya tanpa bertanya apapun lagi karena aku tahu kau sangat sangat sibuk. Tapi ada syaratnya.” Avaron tersenyum sedikit menggoda. Dia mencondongkan tubuhnya yang ada di balik meja kasir ke arah Shou. “tolong beri nama yang imut dan kreatif untuk kucing barumu.”

“itu bisa diatur.” Shou masih saja memasang wajah tanpa ekspresinya. “ya sudah. Aku tidak bisa lama-lama disini. Aku harus segera kembali ke studio.”

“Shou, tunggu.” Avaron menahan Shou dengan memegang lengan sahabatnya. “hanya itu saja? kau hanya datang, memesan kucing, lalu pergi begitu saja? kau sama sekali tidak menjelaskan alasan kenapa kau ingin memelihara kucing. Bahkan kau juga tidak menyinggung soal diskon atau semacamnya saat aku memberitahumu tentang biaya tambahan untuk pengiriman.”

“oh ya?” Shou tidak menyadari apa maksud Avaron. “memangnya itu aneh, ya?”

“tidak. Hanya saja, Shou yang dulu kukenal dia pasti akan menjelaskan kenapa dia ingin memelihara kucing tanpa diminta. Dan aku yakin, penjelasannya itu pasti lebih dari 2 halaman kertas kalau ditulis. Lalu Shou yang dulu kukenal juga sering menyinggung soal diskon, kenaikan gaji, taruhan kecil-kecilan. Tapi sekarang?”

“tidak ada ‘Shou yang dulu kukenal’, Avaron... yang ada hanya Shou ini.” dia menunjuk dirinya sendiri. “dan aku sudah berubah.”

“kau juga tidak memanggilku ‘Ava’ lagi seperti dulu...” Avaron berkata lirih.

“aku tidak berhak memanggilmu dengan panggilan itu, Avaron. Hanya orang itu saja yang berhak.” Jawab Shou. “kau tidak usah terlalu memikirkan aku lagi. Kau sudah mempunyai keluarga dan sekarang perhatian utamamu adalah mereka, bukan aku.”

“Shou... tidak hanya aku saja yang merasa kehilangan. Masih ada yang lain... apa kau lupa masa-masa dulu?” tanya Avaron.

Shou melihat mata Avaron berkaca-kaca. Nanar matanya terlihat sedih dan kehilangan. Shou dulu pernah melihat ekspresi itu, tapi saat itu kedua mata sedih milik wanita yang diam-diam masih dia cintai itu untuk orang lain. Bukan dirinya.

Shou sebenarnya ingin sekali melepaskan beban yang dia simpan selama bertahun-tahun. Berusaha melupakan dukanya dengan mengerahkan tubuhnya untuk hal yang dia cintai, yaitu musik. Tuhan atau alam semesta sudah mengabulkan keinginannya, yaitu menjadi sukses bersama bandnya. Namun dia selalu sadar kalau Tuhan tidak akan mengabulkan keinginannya untuk bisa memiliki wanita di depannya ini. Dia selalu menertawakan dirinya sendiri. Dia mendapatkan segalanya, kecuali wanita sederhana dan tidak terlalu mempedulikan hal-hal berlebihan seperti Avaron Kobayashi. Oh tidak, Shou dengan berat hati harus memanggilnya dengan nama barunya, Avaron Yutaka.

Lucunya, tidak ada yang tahu perasaannya sekarang. Semuanya tertutupi oleh sikap dingin dan ketidakpeduliannya terhadap masa lalunya. Berimbas pada Avaron dan Aya, orang-orang yang merupakan bagian dari masa lalu itu. Dan kini, kedua orang itu hanya mengritik permukaannya, tanpa tahu apa yang Shou simpan di dasar hatinya.

“masa lalu tetaplah masa lalu, Avaron...” kata Shou sebelum dia melepaskan lengannya dari Avaron dan keluar dari petshop. “kau tidak bisa melanjutkan hidup kalau kau terus terpaku pada masa lalu...”

Avaron hanya bisa memandang pedih sosok sahabat yang dulu sangat dia sayangi menghilang di kerumunan orang-orang yang memadati trotoar. Bertanya-tanya apa yang membuat Shou bisa berubah seperti orang asing, tanpa tahu kalau dirinyalah penyebabnya...

 ---

Hanya dengan mendengar perbincangan mereka dan membaca wajah kedua orang itu Yoriko langsung tahu bagaimana kejadian sebenarnya di masa lalu yang terjadi di antara sepasang sahabat yang retak itu. Yoriko masih tetap berdiri di ujung lorong, bersembunyi di balik rak display, bersama teman prianya yang masih berisik di sebelahnya.

“pria itu menyedihkan.” Komentar temannya. Namun Yoriko tidak menanggapi.

“sudah kubilang, bukan. Dia lebih menyedihkan daripada aku.” Kata temannya lagi. Tapi Yoriko masih tidak mengindahkannya.

“aku berani bertaruh 1000 yen kalau pria itu masih mencintai si wanita.” Si pria masih belum berhenti mengoceh.

“tapi kenapa seleraku dan seleranya bisa sama? Aku juga menyukai kucing persia. Apalagi kalau mereka mempunyai mata berwarna biru.”

“ssh! Bisa diam, tidak!?” Yoriko memarahi temannya.

“kau kenapa, Yoriko-chan? Apa kau cemburu? Apa kau menyukai pria itu?” tebak temannya. Yoriko tidak menjawab. Wanita bergaya gothic itu kini tidak sanggup berdiri lagi. Tubuhnya yang bersandar dinding di dekat rak display kini merosot, membuatnya berjongkok di lantai.

Sahabat setia Yoriko juga ikut duduk di sebelahnya dan lalu berkata dengan penuh rasa percaya diri, seakan dia mengetahui segalanya, “tidak mungkin kau menyukai dia, Yoriko-chan. Dia menyebalkan, selalu menggerutu, bersikap dingin, dan mungkin saja dia tidak akan melihatmu. Kau mungkin jadi memperhatikannya karena dia mirip sekali denganku. Iya, kan?”

“maksudmu apa?” tanya Yoriko tidak mengerti.

“masa kau tidak sadar?” temannya menyandarkan tubuhnya di dinding, lalu mengintip sosok Avaron Yutaka dari kejauhan. “hanya sekedar informasi. Tapi entah kenapa, aku merasa sangat kenal pada wanita yang ada di meja kasir itu. Dia atasanmu, bukan? Siapa dia? Dia cantik sekali... kau mau mengenalkannya padaku?”

Mendengar itu, Yoriko menggeram pelan. Dia menutup kedua telinganya dan sekali lagi mengancam temannya itu kalau Yoriko benar-benar akan menendangnya keluar kalau temannya mengucapkan satu kata lagi.

No comments:

Post a Comment